Pemanasan Global Ancam Keselamatan Pendaki Himalaya

Penulis : Aryo Bhawono

Perubahan Iklim

Rabu, 06 September 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Pemanasan global turut berdampak pada keselamatan pendaki Himalaya. Risiko longsoran salju kian meningkat selama musim pendakian.

Sebuah analisis penelitian berjudul ‘Snow and Ice Avalanches in High Mountain Asia: Scientific, Local, and Indigenous Knowledge’ mengungkapkan meski pendakian gunung di dataran tinggi memiliki risiko longsoran salju yang inheren, pemanasan global memperparah bahaya selama musim pendakian di pegunungan Himalaya.

Penelitian itu memaparkan setidaknya 564 orang kehilangan nyawa akibat longsoran salju saat mendaki puncak-puncak di atas 4.500 meter di Himalaya selama lima dekade terakhir. Pada 14 puncak di atas 8.000 meter dan beberapa puncak pendakian terkemuka lainnya di atas 6.000 meter di Himalaya, terdapat setidaknya 1.400 kematian pendaki gunung antara tahun 1895 hingga 2022, 33 persen di antaranya disebabkan oleh longsoran salju.

Alan Arnette, seorang pendaki gunung dan pencatat musim pendakian di Nepal, mengatakan longsoran salju yang fatal di puncak-puncak populer seperti Everest, Ama Dablam, Manaslu, dan Dhaulagiri bukanlah hal yang baru terjadi. 

Gunung Himalaya terlihat dari jarak 200km di India untuk pertama kalinya dalam 30 tahun pada 4 April 2020, bersamaan dengan lockdown di India yang menurunkan tingkat polusi udara. (ANTARA/Twitter/@khawajaks)

"Gunung-gunung akan longsor. Mereka telah melakukannya selama beberapa dekade," kata dia seperti dikutip dari Guardian.

Namun, frekuensi dan waktu longsoran salju baru-baru ini, mungkin merupakan pertanda apa yang akan terjadi di masa depan untuk pendakian gunung di Himalaya di dunia yang semakin memanas.

Musim pendakian di Himalaya tengah adalah ketika cuaca cerah dari bulan Maret hingga Mei, sebelum musim hujan, dan setelahnya dari bulan September hingga November. Hal ini bertepatan dengan musim angin topan di Samudra Hindia, dan sampai saat ini tidak terlalu mengkhawatirkan.

ilmuwan iklim di Pusat Internasional untuk Pengembangan Gunung Terpadu, Arun Bhakta Shrestha, menyebutkan dataran tinggi Himalaya pada umumnya terlindungi dari dampak siklon yang berasal dari Samudra Hindia. Siklon tersebut kehilangan energi ketika mereka melakukan perjalanan melintasi daratan.

“Namun kadang-kadang siklon berdampak pada bagian dalam dataran tinggi Himalaya yang menyebabkan hujan salju yang berlebihan dan bahkan menyebabkan hilangnya nyawa,” kata dia

Ilmuwan iklim di Institut Meteorologi Tropis India,Roxy Mathew Koll, mengatakan pemanasan yang cepat di Samudra Hindia menyebabkan musim hujan menjadi lebih tidak menentu. Hujan lebat yang singkat, periode kemarau yang panjang, serta topan di Laut Arab meningkat dalam hal frekuensi, intensitas, dan durasinya. Topan ini meningkat dengan cepat baik di Laut Arab maupun Teluk Benggala.

Dengan perubahan mencolok pada pola curah hujan monsun dan siklon yang terbentuk lebih sering dan dengan intensitas yang lebih besar di Samudra Hindia yang menghangat dengan cepat, musim pendakian yang dulunya dapat diprediksi menjadi lebih sering terganggu oleh sistem badai yang sangat kuat ini.

"Pada tahun 1996, ketika kami mengalami bencana di Everest (delapan pendaki tewas akibat badai salju), hal ini semakin menguatkan fakta bahwa Anda harus mempertimbangkan apa yang terjadi di Teluk Benggala. Jika ada topan di sana, anda harus mengawasinya," kata Chris Tomer, seorang ahli meteorologi dan peramal cuaca untuk ekspedisi pendakian gunung di Himalaya.

Dalam lima tahun terakhir selama empat dari lima tahun tersebut, kata Tomer, dirinya harus mengkhawatirkan sesuatu di Teluk Benggala selama musim pendakian puncak Everest.

Data menunjukkan musim hujan yang panjang mempengaruhi puncak-puncak populer di Himalaya tengah termasuk Annapurna dan Everest, dan puncak-puncak lain seperti Nanga Parbat di Himalaya barat. Risiko longsoran salju pun kian.

Hujan salju yang lebat adalah salah satu penyebab utama longsoran salju, dan ketika badai di luar musim terjadi di gunung-gunung ini, bahaya dengan risiko kematian juga meningkat.

"Bukan berarti cuaca tidak menantang 20 tahun yang lalu, tetapi benar-benar sesuatu yang luar biasa untuk melihat jumlah salju di Manaslu dan Dhaulagiri dalam beberapa tahun terakhir. Mereka menonjol dengan beberapa cuaca paling ekstrem selama beberapa tahun terakhir," ucap Tomer.

Risiko longsor salju juga diperburuk oleh meningkatnya suhu. Sebuah studi tahun 2018 yang menggunakan cincin pohon sebagai proksi, menyebutkan suhu yang lebih hangat di musim dingin dan awal musim semi telah menyebabkan peningkatan frekuensi longsoran salju.

Selain itu, sebuah studi tahun 2021 menemukan bahwa longsoran salju dapat menjadi lebih mematikan, dengan asfiksia dan trauma yang semakin menyebabkan kematian akibat longsoran salju dalam iklim yang berubah karena kepadatan salju yang lebih tinggi pada longsoran salju yang lebih basah dapat membatasi pernapasan korban yang tertimbun sepenuhnya. 

Pegunungan Himalaya memanas dua kali lebih cepat daripada rata-rata global dan para ahli berpendapat bahwa ketidakstabilan lapisan salju yang disebabkan oleh suhu, yang menyebabkan peningkatan aktivitas longsoran salju, diperkirakan akan terus berlanjut di masa depan.

Ahli hidrologi dari Konsorsium Universitas Himalaya dan Universitas Graz Austria, Jakob Steiner, mengungkapkan peningkatan jumlah korban jiwa akibat longsoran salju tidak dapat secara pasti dikaitkan dengan satu faktor. Hal ini karena kurangnya pengamatan jangka panjang, dokumentasi yang buruk, dan terbatasnya pemahaman tentang hubungan yang kompleks antara iklim.

"Ada begitu banyak hal lain yang terjadi, sehingga sulit untuk mengatakan bahwa ini hanyalah perubahan iklim. Namun, jejaknya dapat dilihat. Kami melakukan pekerjaan ini (menyiapkan catatan komprehensif tentang longsoran salju) karena pada akhirnya kami ingin melakukan pekerjaan atribusi," ucap dia.