Aktivitas Sejumlah Tambang Nikel di Sagea Dihentikan Sementara

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Tambang

Selasa, 05 September 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Pemerintah Provinsi (Pemprov) Maluku Utara (Malut) mengeluarkan rekomendasi penghentian sementara aktivitas sejumlah perusahaan tambang yang beroperasi di wilayah Sagea, Kabupaten Halmahera Tengah (Halteng). Rekomendasi dimaksud dikeluarkan sebagai tindak lanjut aspirasi warga Sagea, yang melakukan aksi demonstrasi di Kantor Perwakilan Pemprov Malut di Kota Ternate, Senin (4/9/2023).

Rekomendasi penghentian sementara aktivitas tambang itu diberlakukan kepada lima perusahaan, yakni PT Weda Bay Nikel (nikel), PT Halmahera Sukses Mineral (nikel), PT Tekindo Energi (nikel), PT First Pasific Mining (nikel), dan PT Karunia Sagea Mineral (batuan gamping).

“Menindaklanjuti tuntutan Front Selamatkan Kampung Sagea (SEKA) terkait Sungai Bokimaruru dan Pesisir dari Ancaman Tambang, maka dengan ini kami sampaikan bahwa terdapat dugaan pencemaran lingkungan berupa perubahan tingkat kekeruhan dan sedimentasi pada aliran Sungai Sagea yang diakibatkan aktivitas pertambangan,” demikian isi surat rekomendasi yang ditandatangani Kepala Dinas Lingkungan Hidup Malut, Fachruddin Tukuboya, Senin (4/9/2023), dilansir dari Penamalut.

Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Malut merekomendasikan kepada para pihak perusahaan itu untuk melakukan penghentian sementara seluruh aktivitas pertambangan, tujuannya untuk mencegah meluasnya dampak negatif lebih lanjut di Sungai Sagea sampai dengan adanya hasil investigasi dan evaluasi terhadap dugaan kasus tersebut.

Tampak dari ketinggian kondisi air Sungai Sagea yang diduga tercemar akibat aktivitas tambang di wilayah Sagea, Kecamatna Weda Utara, Halmahera Tengah, Maluku Utara, pada 24 Agustus 2023. Foto: Auriga Nusantara/Yudi Nofandi.

Dugaan pencemaran Sungai Sagea ini, memicu aksi demonstrasi damai yang dilakukan ratusan warga dan mahasiswa asal Sagea, di Kantor Perwakilan Pemprov Malut di Ternate, Senin (4/9/2023).

Dalam aksi itu, warga menuntut agar perusahaan yang beroperasi di wilayah daerah aliran sungai (DAS) Sagea menghentikan aktivitasnya sebelum ada hasil investigasi yang valid dari pihak berwenang. Selain itu, agar dilakukannya penyidikan dan penegakan hukum lingkungan oleh instansi yang berwenang terhadap pihak yang terbukti melakukan pencemaran.

“Pihak yang terbukti melakukan pencemaran harus melakukan pemulihan pada wilayah sungai dan mengganti kerugian yang dialami masyarakat,” ucap Alfian, koordinator aksi, di sela-sela demonstrasi.

Alfian mengatakan, pemerintah harus melakukan evaluasi terkait perizinan dan aktivitas pertambangan yang berada di kawasan DAS Sagea. Pemerintah juga diharuskan mendorong adanya kebijakan perlindungan kawasan karst DAS Sagea, mengingat keduanya adalah ekosistem yang memiliki fungsi ekologis penting bagi keberlangsungan hidup orang Sagea.

Dampak dari aktivitas perusahaan, lanjut Alfian, aliran air Sungai Sagea sampai ke hulu sungai bawah tanah Gua Bokimaruru mengalami perubahan warna keruh kecokelatan. Ada dugaan kuat, warna sungai tersebut seperti tercampur dengan sedimen tanah dari sisa produksi ore nikel.

Perubahan kualitas air Sungai Sagea ini membuat masyarakat sekitar yang menggantungkan hidup pada air sungai Sagea menjadi tak bisa lagi mengonsumsinya lagi. Padahal, sungai ini menjadi alternatif warga ketika diterpa cuaca ekstrim. Di sisi lain, ada beberapa jenis biota seperti ikan bandeng dan kerang yang menjadi kebutuhan masyarakat setempat.

“Kami mencatat perubahan sungai dimulai sejak April hingga Agustus 2023. Di sepanjang bulan itu, Sungai Sagea tak jernih seperti sebelumnya. Kami menduga, asal sedimen ini akibat aktivitas pembukaan lahan jalan PT Weda By Nikel (WBN). Karena lokasi konsensusnya berada di atas aliran sungai yang terhubung sekaligus mengalir ke kawasan karst Sagea melewati Gua Bokimaruru dan keluar melalui Sungai Sagea,” tukasnya.

Alfian melanjutkan, hal ini dikuatkan dengan pernyataan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Halteng yang sebelumnya menyatakan pencemaran Sungai Sagea tergolong fatal, karena membawa endapan lumpur yang teridentifikasi bersumber dari kegiatan produksi pertambangan.

“Maka dari itu, kami mendesak Pemprov Maluku Utara segera bertindak. Dan kepada perusahaan yang beroperasi di wilayah Sagea agar menghentikan aktivitas pertambangannya sebelum adanya hasil investigasi dari pihak terkait,” ucap Alfian.