Bukit Wato-Wato di Haltim dalam Ancaman Tambang Nikel

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Tambang

Jumat, 08 September 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Bukit Wato-Wato yang dianggap sakral oleh warga Desa Buli, Kecamatan Maba, Kabupaten Halmahera Timur (Haltim) terancam. Ada perusahaan tambang yang belakangan berencana akan melakukan operasi tambang nikel di gunung itu.

Sebagai gambaran, aktivitas tambang di Haltim, dinilai telah berdampak buruk, berupa hancurnya ruang hidup warga. Mulai dari wilayah daratan hingga wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Hal itu membuat warga setempat trauma dan menolak aktivitas tambang.

Di wilayah yang sebelumnya kaya akan pala dan cengkeh ini, terdapat 27 izin usaha pertambangan (IUP), dengan total luas konsesi mencapai 172.901,95 hektare. Dari total izin tambang itu, PT Aneka Tambang (Antam) adalah salah satu perusahaan pemegang konsesi terbesar yang menguasai wilayah daratan Halmahera, hingga pulau kecil Gee dan Pakal.

Selain operasi tambang yang memporak-porandakan wilayah daratan, pesisir, dan laut, kini, Bukit Wato-Wato--juga disebut gunung oleh warga setempat--yang esensial bagi warga setempat juga tengah diincar untuk ditambang. Padahal di Bukit Wato-Wato ini terdapat kawasan hutan lindung dan hutan desa yang berfungsi sebagai wilayah resapan air.

Ratusan warga Haltim, melakukan long march dan penyampaian pendapat di muka umum, menyampaikan penolakan rencana penambangan nikel di Bukit Wato-Wato. Foto: Istimewa.

Dari kawasan hutan Wato-Wato ini pula, terdapat mata air yang mengalir melalui tiga sungai besar dan beberapa anak sungai yang, selama ini menjadi sumber air utama bagi ribuan warga, bahkan menjadi sumber air baku bagi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Buli.

Selain itu, di kaki Bukit Wato-Wato ini, juga terdapat lahan pertanian/perkebunan warga yang ditanami pala, cengkeh, dan nanas yang produkti. Semua itu adalah sumber utama perekonomian warga.

Ismunandar, warga Desa Buli mengatakan, wilayah konsesi tambang itu berada persis di area Bukit Wato-Wato yang jadi punggung 10 kampung di Kecamatan Maba. Dari punggung bukit itu mengalir 4 sungai besar dan puluhan sungai kecil yang menjadi sumber air bersih warga Kecamatan Maba.

"Area konsesi itu juga sangat dekat dengan pemukiman warga. Dan terutama menjadi wilayah tersisa di Kecamatan Maba, setelah area-area lain sudah dirusak oleh perusahaan tambang lain," ungkap Ismunandar, Kamis (7/9/2023).

Ismunandar mengatakan, bila pemerintah pusat dan provinsi tidak segera mencabut dan menghentikan aktivitas perusahaan ini, maka seluruh aspek kehidupan warga Kecamatan Maba hampir dipastikan bakal hancur oleh ancaman banjir, kerusakan sumber air bersih, kerusakan wilayah pemukiman, perkebunan, pertanian, dan lain-lain.

"Apalagi musibah seperti banjir sudah sering terjadi bahkan sebelum ada aktivitas perusahaan tambang apapun di sepanjang Gunung Wato Wato," katanya.

Di kesempatan lain, Said Marsaoly, warga Desa Buli lainnya, mengatakan warga di desanya mulai bercermin dari banyak kerusakan lingkungan yang terjadi akibat tambang nikel di daerah sekitar. Menurut Said, beberapa perusahaan di Haltim tidak ada komitmen lingkungan yang serius terhadap lingkungan.

"Beberapa yang tidak beroprasi itu bekas tambang dibiarkan menganga begitu saja. kita tidak mau Gunung Wato-Wato terjadi seperti yang kita lihat sehari-hari di sini. Wato-Wato itu gunung sakral untuk orang Buli. Kita hanya punya ini selain ini enggak ada lagi," ujar Said.

Said mengaku tak ingin air sungai yang bersumber dari Bukit Wato-Wato rusak seperti yang terjadi pada Sungai Pekaulang. Air di sungai yang berada di Desa Pekaulang itu telah rusak akibat tambang perusahaan lain.

Dulu sebelum ada aktivitas tambang, kata Said, tiap kali akan pergi ke kebunnya dirinya biasa mencuci muka ataupun mandi, bahkan mengkonsumsi air sungai itu. Tapi sejak kualitas air sungai itu rusak, dirinya bahkan enggan mencuci kaki di Sungai Pekaulang.

"Kita mau perusahaan jangan tambang Wato-Wato. Kita tidak rela, tidak ridha Wato-Wato jadi seperti Pulau Gee sekarang ini dan jangan ada pertambangan apapun di situ, kasian dia (Bukit Wato-Wato)," imbunya.

Said berujar, aktivitas tambang di Kecamatan Maba juga telah mengakibatkan wilayah pesisir Tanjung Buli rusak. Padahal tanjung itu dulunya tempat bagi orang Buli memanah ikan dan mengambil kerang. Sekarang pesisir di kawasan itu, kata Said, sudah berwarna merah semua.

"Kalo jalan di pesisir dulu kan pasir putih, sekarang berlumpur. Kerang-kerang yang dulu kali air pasang bisa kita dapat sekarang enggak ada lagi," ungkap Said.

Sejak Lama Tolak Tambang Nikel

Kini, upaya paksa pemerintah dan PT PL untuk membongkar Bukit Wato-Wato berpotensi besar melenyapkan seluruh sumber kehidupan warga tersebut. Upaya paksa ini, terlihat dari proses pembahasan atau konsultasi publik dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) sejak 2015 hingga 2018 yang tidak mengakomodasi suara penolakan warga.

"Keberatan warga sudah disampaikan berulang kali. Baik lewat demonstrasi, dan dialog dengan pemerintah daerah dan Provinsi Malut. Hanya saja belasan tahun keluhan itu tidak pernah digubris pemerintah. Malah pemerintah provinsi memberikan Izin Lingkungan kepada perusahaan, padahal dalam belasan kali konsultasi Amdal yang dilakukan perusahaan, warga selalu menolak," terang Ismunandar.

Ismunandar menyebut, perusahaan diduga kuat melakukan plagiat dokumen Amdal milik salah satu perusahaan di Halmahera Tengah (Halteng). Dugaan plagiat itu didasarkan karena dalam dokumen Amdal perusahaan itu malah menyebut suku yang mendiami konsesi adalah Suku Sawai, salah satu suku yang berada di Halteng.

Masih kata Ismunandar, dalam Amdal itu pula dikatakan bahwa puluhan sungai yang mengalir dari Bukit Wato-Wato tidak digunakan warga. Kemudian, tata kelola penambangannya juga berubah-ubah. Sehingga tidak jelas lokasi jalan, telsus, dan lain sebagainya.

"Lebih miris lagi perushaan justru memakai peralatan Negara seperti babinsa dan polisi sebagai pihak yang tiap saat mengamankan aktivitas alat berat bagi pembukaan jalan tambang," keluh Ismunandar.

Ismunandar mengungkapkan, Sungai Gamesan yang merupakan sumber air bersih warga terancam tercemar, karena jalan yang dibangun perusahaan membelah sungai itu. Kekesalan Ismunandar atas keberadaan tambang nikel ini semakin menjadi-jadi, lantaran pemerintah setempat justru memberi izin pinjam pakai pelabuhan untuk pendaratan alat berat.

"Padahal nyata Pemda tahu penolakan warga yang begitu besar, luas, dan berulang ulang. Di mana keluhan warga tidak pernah diseriusi untuk dicari jalan keluar bagi keselamatan penghidupan puluhan ribu jiwa di Kecamatan Maba," ucap Ismunandar.

Sebaliknya, rentetan aksi penolakan warga justru ditanggapi dengan upaya kriminalisasi terhadap warga yang menolak tambang. Upaya kriminalisasi itu terlihat dari munculnya surat panggilan dari polisi terhadap sebelas orang warga penolak tambang pada Juli 2023 lalu, dengan tuduhan mengada-ada, yakni penganiayaan, pengancaman, dan perusakan. Padahal, apa yang dilakukan warga adalah semata-mata mempertahankan ruang hidup terakhirnya, Bukit Wato-Wato dari cengkeraman perusahaan tambang.

Pada Rabu (6/9/2023) kemarin, ratusan warga Buli menggelar aksi long march dan orasi pendapat di muka umum menyuarakan penolakan tamban nikel di Bukit Wato-Wato. Ismunandar mengatakan, aksi seperti itu tetap akan dilakukan sampai izin perusahaan dicabut.

"Jika tuntutan itu tidak diindahkan maka aksi-aksi berikutnya sangat berpotensi mengganggu investasi strategis negara," ujarnya.

Said mengatakan aksi unjuk rasa damai itu diakhiri dengan tanda tangan petisi rakyat dan mengeluarkan alat berat milik PT PL dari area pembongkaran jalan baru untuk tambang yang sedang dikerjakan menuju kaki Bukit Wato-Wato dari Sungai Gamesan di Desa Gamesan.

Dalam aksi itu, warga Haltim yang berhimpun dalam Aliansi Masyarakat Buli Peduli Wato-Wato, mendesak Menteri ESDM untuk segera hentikan dan cabut izin tambang PT PL.

Kemudian, mendesak Menteri LHK untuk tidak memproses pengajuan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) untuk PT PL, serta memberikan sanksi hukum yang tegas atas operasinya yang merusak kawasan hutan. Selanjutnya, Aliansi itu meminta aparat kepolisian untuk menghentikan proses hukum terhadap warga yang dilaporkan, dan jangan menjadi centeng korporasi.

Aliansi juga mendesak Bupati dan DPRD Haltim, Gubernur dan DPRD Malut untuk segera mengeluarkan rekomendasi penghentian operasi dan pencabutan izin PT PL ke Menteri ESDM. Terakhir Aliansi mendesak Komnas HAM untuk melakukan investigasi atas dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan PT PL, pemerintah, dan aparat Kepolisian.