Koalisi Masyarakat Sipil Kutuk Kekerasan demi Rempang Eco-City

Penulis : Aryo Bhawono

Agraria

Senin, 11 September 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Aparat gabungan TNI, Polri, dan BP Batam memaksa masuk ke kampung adat masyarakat Pulau Rempang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau, untuk memasang patok tata batas pembangunan Rempang Eco-City pada Kamis (7/9/2023). Masyarakat yang menolak penggusuran melakukan penghadangan. Bentrok pun terjadi. 

Bentrok ini menyebabkan sejumlah warga yang menolak penggusuran pembangunan Rempang Eco-City mengalami luka-luka. Anak-anak yang sedang bersekolah dikabarkan ikut terpapar gas air mata. Sebanyak enam orang ditangkap oleh polisi terkait kerusuhan ini.

Zenzi Suhadi, Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyebut pembangunan Kawasan Rempang Eco-City merupakan salah satu program strategis nasional yang dimuat dalam Permenko Ekuin Nomor 7 Tahun 2023. Perlawanan dan penolakan warga, menurut dia, wajar. 

Proyek yang dirumuskan BP Batam, Menko Ekuin, Kepala BKPM, dan kementerian/lembaga (K/L) itu, kata Zensi, dibuat tanpa persetujuan masyarakat setempat. "Sejak awal perencanaan, proyek ini tidak partisipatif sekaligus abai pada suara masyarakat adat 16 Kampung Melayu Tua di Pulau Rempang yang sudah eksis sejak 1834," ujarnya.  

Aparat gabungan TNI, Polri dan BP Batam memaksa masuk ke kampung adat masyarakat Pulau Rempang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau untuk memasang patok tata batas pembangunan Rempang Eco-City pada Kamis (7/9/2023). Sumber foto: WALHI

Aparat justru mengeroyok masyarakat dengan mengerahkan personel dan senjata berlebihan. Data lapangan yang mereka peroleh menyebutkan, pemaksaan pematokan dan pengukuran tanah di Pulau Rempang dilakukan 1.000 personel kepolisian menggunakan gas air mata.  

”Atas dasar tersebut, kami Masyarakat Sipil di Riau, Masyarakat Sipil Nasional, dan 28 Kantor Eksekutif Daerah WALHI meminta Presiden mengambil sikap tegas untuk membatalkan program ini. Program yang mengakibatkan bentrokan dan berpotensi menghilangkan hak atas tanah, dan identitas adat masyarakat di 16 Kampung Melayu Tua di Rempang,” kata Zenzi melalui pers rilis yang diterima redaksi. 

Koalisi Masyarakat Sipil beranggapan peristiwa berdarah ini merupakan tanggung jawab pimpinan BP Batam, Kapolda Kepulauan Riau, Kapolresta Barelang, Komandan Panglima TNI AL Batam. 

”Tindakan aparat Kepolisian, BP Batam dan TNI yang memaksa masuk ke wilayah masyarakat adat Pulau Rempang, adalah pengabaian terhadap amanah konstitusi dan pelanggaran HAM secara nyata. Oleh karena itu Presiden harus memerintahkan kepada Kapolri dan Panglima TNI untuk segera mencopot Kapolda Kepulauan Riau, Kapolres Barelang dan Komandan Pangkalan TNI AL Batam karena telah melanggar konstitusi dan HAM,” ucap Azlaini Agus, salah satu Tokoh Riau.

Koalisi pun beranggapan penghadangan oleh warga Rempang merupakan upaya mempertahankan hak dasarnya untuk hidup, hak untuk mempertahankan kampung halaman nenek moyang mereka. Sedangkan yang dilakukan tim gabungan keamanan ini sekedar membela investasi yang akan menggusur masyarakat adat. 

Mereka pun mendesak presiden untuk menghentikan  dan membatalkan rencana pembangunan Kawasan Rempang Eco-City, memastikan perlindungan dan pengakuan hak dasar adat dan tempatan di 16 Kampung Melayu Tua di Rempang. 

Selain itu koalisi juga mendesak pencopotan  Kapolda Kepulauan Riau, Kapolres Barelang dan Komandan Pangkalan TNI AL Batam, serta memerintahkan audit BP Batam.