130 Organisasi Masyarakat Sipil: PSN Rempang Eco-City Bermasalah
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Agraria
Kamis, 14 September 2023
Editor :
BETAHITA.ID - Gelombang kritik terhadap rencana pembangunan Rempang Eco-City, di Pulau Rempang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau, terus berdatangan dari masyarakat sipil. Solidaritas Nasional untuk Rempang misalnya, menganggap pembangunan berlabel proyek strategis nasional (PSN) di Pulau Rempang itu bermasalah. Solidaritas Nasional merupakan gabungan 130 organisasi masyarakat sipilse-Indonesia.
Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Zenzi Suhadi, mengatakan proyek Rempang Eco-city sangat bermasalah, salah satunya karena payung hukumnya baru disahkan pada 28 Agustus 2023 kemarin, melalui Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional.
“Proyek ini tidak pernah dikonsultasikan secara bermakna kepada masyarakat Rempang yang akan terdampak,” kata Zenzi, dalam konferensi pers, Selasa (12/9/2023).
"Tidak boleh suatu wilayah karena ada pihak yang berminat untuk berinvestasi di sana, langsung diputuskan ini harus jadi ini. Enggak boleh," ujar Zenzi.
Zenzi menjelaskan, tiap rencana pembangunan, apalagi PSN, harus didahului dengan penelaahan, baik terhadap penataan ruang, maupun kecocokan dengan lingkungan dan manusianya. Agar, yang pertama, pembangunan yang dilakukan itu berkontribusi terhadap harapan warga di tempat itu.
Alasan kedua, lanjut Zenzi, agar pembangunan tersebut tidak menjadi faktor penyebab bencana. Zenzi mengingatkan, Indonesia adalah negara dengan hutan hujan tropis terbesar ketiga di dunia, sekaligus negara ring of fire. Sehingga apabila salah mengambil kebijakan dalam pembangunan, maka bencanalah yang akan muncul nantinya.
"Proyek yang dikembangkan harus dibuat kajian kelayakannya, baru disampaikan kepada warga. Kalau tidak layak dilakukan di sana, dan tidak diterima masyarakat di sana, maka pembangunan itu tanpa nilai-nilai keberlanjutan, tanpa nilai-nilai kemanusiaan, maka itu bukan pembangunan, tapi penjajahan," ujar Zenzi.
"Wajar kalau masyarakat berdiri tegak lurus melindungi wilayahnya. Rakyat berdiri di jembatan Pulau Galang bukan melawan hukum, mereka melindungi tanah airnya di Rempang dan Galang," lanjutnya.
Meragukan HPL Pulau Rempang
Permasalahan PSN Rempang Eco-City juga dibeberkan Edi Kurniawan, Staf Advokasi dan Jaringan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Edi mengatakan, pembangunan proyek Rempang Eco City memiliki sejumlah kecacatan serius, di antaranya tidak adanya Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) serta tak ada peruntukan ruang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Bahkan, menurutnya, sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL) yang diberikan oleh Kementerian ATR/BPN kepada Badan Pengembangan (BP) Batam untuk mengelola Pulau Rempang sampai sekarang tidak dapat dibuktikan.
“Dalam pembangunan proyek Rempang Eco City, dapat dipastikan banyak kecacatan prosedur serta persoalan lingkungan hidup,” kata Edi.
HPL yang menjadi dasar BP Batam melaksanakan rencana pengusiran warga Pulau Rempang itu juga dipersoalkan, Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Dewi menjelaskan, HPL merupakan jenis hak atas tanah yang baru. HPL dapat dipastikan tidak ada landasannya di dalam Undang-Undang Pokok Agraria. Meski demikian, HPL sangat kuat digunakan oleh pemerintah untuk kepentingan investasi.
“Ketika sebuah badan atau lembaga diberikan HPL, badan atau lembaga tersebut dapat bertransaksi dengan pihak ketiga untuk memberikan Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), bahkan Sertifikat Hak Milik (SHM). Di sinilah letak persoalan yang sangat berbahaya,” terang Dewi.
Masih soal HPL, Zenzi menganggap HPL di Pulau Rempang ini seharusnya selesai seiring jatuhnya rezim pemerintahan orde baru. Karena, kata Zenzi, HPL merupakan keputusan sewenang-wenang Presiden Suharto melawan Undang-Undang Pokok Agraria.
"Kalau Suharto-nya diturunkan di reformasi, seharusnya HPL itu dihapuskan. Kenapa dihapuskan? Karena tertundanya fungsi dan tugas negara mengakui hak rakyat Rempang dan Galang selama 30 tahun, akibat HPL tersebut. Apa bentuknya? Rakyat mau buat sertifikat tidak bisa. Seharusnya, di (era) reformasi HPL ini dihapuskan," jelas Zenzi.
Zenzi memberi saran kepada pemerintah agar memikirkan ulang perkara HPL di Pulau Rempang. Dia juga menyatakan, Presiden Jokowi mestinya mengoreksi kebijakan-kebijakan salah yang dilahirkan di masa orde baru, alih-alih justru memperkuat kesalahan itu.
Sampai saat ini telah ada sedikitnya 130 organisasi masyarakat sipil dari Aceh sampai Papua yang telah menyampaikan desakan kepada Pemerintah Indonesia, khususnya kepada Presiden Jokowi untuk menghentikan proyek Rempang Eco-City, menghentikan pematokan dan penggusuran, serta mendesak kepolisian untuk membebaskan tanpa syarat puluhan warga yang ditangkap dan ditahan karena terlibat aksi menolak penggusuran pada 7 dan 11 September 2023.
Solidaritas Nasional untuk Rempang menilai, apa yang dilakukan oleh pihak kepolisian pada 7 September 2023 lalu, telah memicu kemarahan masyarakat Indonesia secara nasional, serta membuat masyarakat luas semakin tidak mempercayai pemerintahan saat ini, yang tampak lebih berpihak pada investor serta tidak melindungi sekaligus memuliakan hak-hak masyarakat sebagaimana dimandatkan oleh konstitusi Republik Indonesia.
Masyarakat sipil melihat nafsu menggusur masyarakat Pulau Rempang tidak lepas dari langkah Presiden Jokowi yang telah bertemu dengan sejumlah CEO di Tiongkok, pada penghujung Juli 2023 lalu. Yang mana dalam kesempatan ini Jokowi menandatangani memorandum of understanding (MoU) untuk membangun industri di Pulau Rempang, Kepulauan Riau.
Solidaritas Nasional untuk Rempang menganggap masyarakat Indonesia patut mengecam langkah Jokowi tersebut, karena di lapangan aparat kepolisian telah menggunakan kekerasan untuk mematok dan mengukur tanah di Pulau Rempang.
Gabungan organisasi masyarakat sipil itu menilai apa yang terjadi di Pulau Rempang menunjukkan kegagalan pemerintah menjalankan mandat konstitusi Republik Indonesia yang menyebutkan, tujuan pendirian negara adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa.
Selain itu, Solidaritas Nasional untuk Rempang menilai negara gagal menjalankan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.