Koalisi Minta AS Hentikan Impor Monyet Liar dari Indonesia

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Biodiversitas

Jumat, 15 September 2023

Editor :

BETAHITA.ID - Sebelas aktivis Koalisi Primates Fight Back melakukan aksi di depan Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS), Rabu (13/9/2023). Aksi itu sebagai respon adanya pengiriman monyet ekor panjang (MEP) liar tangkapan di alam, dari Indonesia ke Amerika Serikat tahun lalu.

Para relawan yang tergabung dari berbagai organisasi perlindungan hewan, dan komunitas yang peduli dengan nasib MEP, mengenakan topeng kertas bergambar wajah monyet. Mereka memegang beragam poster dan membentangkan spanduk berisi tulisan Stop "Perdagangan Hakikat Monyet Hidup Aman di Hutan, Bukan untuk Peliharaan, Konten atau Hewan Uji Coba".

“Kami mendesak Pemerintah Amerika Serikat agar tidak lagi membeli dan mengimpor monyet ekor panjang dari Indonesia, serta mendorong BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) melakukan penelitian sebagai upaya konservasi monyet ekor panjang di Indonesia, dan meminta mereka agar tidak menerbitkan rekomendasi kuota ekspor,” kata Angelina Pane dari Animal Friends Jogja, bertindak sebagai juru bicara Koalisi Primates Fight Back, pada Rabu (13/9/2023).

Angeline menguraikan, pada praktiknya, BRIN menerbitkan dokumen NDF (Non Detriment Finding) dari hasil tesis dan skripsi yang telah usang, yaitu dari akademisi kampus tahun 2010 dan 2013. Ada pula data yang diambil dari 2019, namun data tersebut merujuk pada kawasan Suaka Margasatwa Paliyan, yang dengan jelas melarang adanya penangkapan monyet. Sedangkan penangkapan yang dilakukan pada 2022 tidak satu pun dilakukan di lokasi di mana kajian, yang menjadi dasar NDF, dilakukan.

Sebelas aktivis Koalisi Primates Fight Back menggelar aksi di depan Kedutaan AS di Jakarta, Rabu (13/9/2023). Foto: Koalisi Primates Fight Back.

Merampas monyet dari habitatnya dan menjadikan mereka sebagai hewan uji coba sama dengan membunuh mereka pelan-pelan dengan cara yang sangat menyakitkan dan keji. Proses penangkapan akan membuat monyet terpisah dari kawanannya, termasuk memisahkan ibu dari anaknya. Hal ini akan membuat mereka dilingkupi ketakutan dan tak jarang timbul pula luka fisik akibat penangkapan secara paksa dengan cara yang brutal dan kejam.

Setelah ditangkap, mereka akan dimasukkan ke dalam kandang, dan mereka akan berada dalam kandang sempit dengan makanan dan minuman sangat terbatas dalam waktu lama selama pengangkutan, sebelum akhirnya dijadikan objek uji coba di laboratorium.

Di sinilah penderitaan yang sesungguhnya terjadi. Selain harus mengalami stres karena berada dalam kandang sempit sepanjang hari dan meninggalkan kebiasaan alami mereka di hutan, individu-individu sensitif dan cerdas ini juga harus merelakan kepalanya dibor, otaknya dihilangkan sebagian, atau benda asing masuk melalui hidung dan mulut mereka.

Ironisnya, telah banyak penelitian mengungkapkan bahwa penggunaan hewan sebagai “alat” uji biomedis sesungguhnya telah berulang kali mengalami kegagalan dalam peningkatan kesehatan manusia.

“Selain dapat menyebabkan penderitaan fisik dan mental bagi para monyet ekor panjang, penangkapan di alam liar juga dapat mengancam keberadaan mereka di alam,” terang Angelina.

“Bukan hanya itu, monyet yang ditangkap dari alam liar juga dapat menyebarkan zoonosis yang berbahaya bagi manusia,” imbuhnya.

Sebelumnya, pada 2022 lalu, Pemerintah Indonesia mengeluarkan kuota tangkap primata bernama ilmiah Macaca fascicularis itu, untuk tujuan ekspor. Berdasarkan sebuah dokumen yang Betahita lihat, tahun lalu, terdapat ekspor MEP yang dilakukan dua perusahaan asal Indonesia, yakni CV Indonesian Aquatics Export (Inquatex) dan CV Primaco, ke Amerika Serikat. Totalnya sebanyak 990 individu.

Dari dua perusahaan tersebut, ekspor dari CV Inquatex mendapatkan sorotan. Karena MEP yang diekspor berasal dari hasil tangkapan di alam, bukan hasil penangkaran atau individu generasi kedua.

Dalam dokumen tersebut, CV Inquatex tercatat melakukan dua kali pengiriman MEP, dengan total sebanyak 870 individu. Tujuannya ke Product Primate di Florida, Amerika Serikat.

Pengiriman dimaksud, yang pertama, dilakukan pada 5 Juni 2022 sebanyak 360 ekor hasil tangkapan liar, dengan keterangan untuk tujuan komersial/perdagangan, dengan nilai ekspor USD306 ribu. Pengiriman kedua dilakukan pada 20 Desember 2022, sebanyak 510 ekor, juga hasil tangkapan alam, dengan keterangan untuk tujuan penelitian, nilai ekspornya mencapai USD433.500.

Sementara CV Primaco, tercatat mengekspor MEP bersumber F (kode F) untuk tujuan penelitian, ke Charles River Laboratories, Amerika Serikat, sebanyak 120 individu dengan nilai ekspor sekitar USD120 ribu. Kode F tersebut diartikan merupakan individu yang salah satu atau kedua induknya ditangkap di alam liar atau individu yang lahir dari upaya penangkaran.

Selang 3 bulan sebelum ekspor pertama dilakukan, International Union for Conservation of Nature (IUCN) atau Persatuan Internasional untuk Konservasi Alam menetapkan status Endangered (terancam punah) kepada spesies MEP. Dalam laporannya, IUCN mengatakan perburuan adalah salah satu penyebab utama berkurangnya populasi MEP.

450 Ribu MEP Diperdagangkan sejak 2008

Pada Oktober 2022 lalu, Macaque Coalition Asia for Animals menerbitkan The Macaque Report, Indonesia's Unprotected Primates. Dalam laporan itu, Macaque Coalition menyebut MEP adalah spesies primata non-manusia yang paling banyak diperjualbelikan di dunia.

Antara 2008 hingga 2019, 450.000 individu hidup diperdagangkan secara global, terutama untuk industri penelitian dan pengujian. Embargo Cina pada 2020 terhadap ekspor satwa liar, termasuk MEP, bersama dengan pandemi COVID-19, menyebabkan peningkatan ekspor dari negara-negara lain di seluruh wilayah jelajah spesies, termasuk Indonesia, yang menempatkan tekanan tambahan pada populasi liar.

Berdasarkan sejarah, perdagangan MEP untuk penelitian dan pengujian melibatkan individu-individu yang ditangkap dari alam. Selama akhir 1990-an dan awal 2000-an, terjadi pergeseran bertahap dari penggunaan individu yang ditangkap dari alam untuk tujuan penelitian, ke hewan yang ditangkarkan, sebagian karena pengakuan akan kesejahteraan negatif dan dampak konservasi yang terkait dengan praktik tersebut.

Perdagangan MEP tangkapan alam kini sebagian besar telah digantikan oleh pembiakan komersial MEP, Namun, perkembangan pesat dan bertambahnya penangkaran di Asia Tenggara yang mengandalkan MEP tangkapan alam untuk membangun dan memelihara koloni penangkaran telah menimbulkan kekhawatiran atas legitimasi klaim penangkaran.

Indonesia menyetujui Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Satwa dan Tumbuhan Liar Terancam Punah - CITES pada 1978 dan mulai berlaku pada 1979. Indonesia telah mengekspor MEP dan beruk sejak 1970-an dan menjadi salah satu pengekspor MEP terbesar pada 1980-an, terutama ke Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang.

Perdagangannya pada saat itu hanya melibatkan hewan tangkapan di alam, dengan menangkap dan mengekspor ribuan individu setiap tahunnya. Berdasarkan basis data perdagangan CITES, perdagangan MEP mencapai puncaknya pada 1989 saat 16.000 monyet diekspor oleh Indonesia.

Pada 1994, Indonesia mulai mengatur ekspor MEP dan beruk hasil tangkapan alam. Ekspor kedua spesies ini dibatasi hanya untuk individu "F1", yaitu mereka yang lahir di fasilitas pembiakan yang terdaftar dan diakui. Monyet liar hanya dapat ditangkap untuk tujuan menggantikan hewan yang akan dibiakkan.

Persepsi Kelimpahan MEP

MEP dan beruk, dianggap sebagai spesies sinantropik, yang berarti mereka mampu hidup, dan bahkan berkembang bersama dengan manusia. Mereka biasanya mudah ditemukan di lanskap yang didominasi manusia yang telah mereka jajah--dalam kasus monyet, lanskap ini berkisar dari pedesaan, daerah pertanian di mana mereka mungkin mencari makan di lahan perkebunan warga, hingga taman atau pura di mana mereka biasa diberi makan oleh pengunjung--bahkan di pusat kota yang sibuk, selama ada sumber makanan di dekatnya. Monyet biasanya harus bekerja keras untuk mencari makanan; untuk bisa makan, mereka harus mencarinya.

Jika aktivitas manusia menyediakan sumber makanan yang bisa mereka jangkau (dalam bentuk persembahan di pura, sampah, atau di ladang jagung), maka monyet yang secara alamiah mudah beradaptasi, akan memanfaatkannya. Namun demikian, penampakan monyet yang terus menerus dengan jumlah monyet yang cukup banyak baik di ladang, di tepi hutan, dan di taman-taman tidak selalu berarti monyet-monyet tersebut jumlahnya melimpah di seluruh daerah jelajahnya.

Penelitian yang dilakukan di Taman Nasional Baluran menemukan bahwa kepadatan populasi monyet kurang dari yang diperkirakan di seluruh taman nasional, tetapi monyet-monyet tersebut lebih banyak berada di daerah-daerah di mana mereka sering diberi makan oleh para wisatawan, hal inilah akhirnya yang menciptakan ilusi tentang kelimpahan populasi.