Komitmen Transisi Energi Indonesia Harus Tinggi

Penulis : Kennial Laia

Energi

Rabu, 20 September 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Transisi energi di sektor ketenagalistrikan di Indonesia harus mengedepankan prinsip berkeadilan dan terjangkau bagi masyarakat luas. Menurut Institute for Essential Services Reform (IESR), hal ini dapat dilakukan dengan komitmen jangka panjang, serta kebijakan yang membuka peluang investasi bagi pengembangan energi terbarukan dan teknologinya. 

Manajer Program Transformasi Energi IESR, Deon Arinaldo, mengatakan infrastruktur energi memiliki masa operasi lebih dari dua dekade. Karena itu investasi di sektor tersebut memerlukan kepastian hukum dan kebijakan jangka panjang. 

“Hal ini penting agar pengembang proyek energi dan lembaga keuangan dapat memperhitungkan risiko dari proyek tersebut,” ujar Deon dalam Indonesian Energy Transition Dialogue (IETD) 2023 yang digelar pada 18-20 September 2023. 

“Apalagi, proyek energi terbarukan relatif memerlukan investasi besar di awal dibandingkan sumber energi lainnya. Dengan komitmen target jangka panjang dan juga sinergi dari berbagai kebijakan dan regulasi yang ada, maka tingkat risiko investasi dapat ditekan sehingga proyek energi terbarukan tetap bankable dengan pendanaan bunga rendah,” jelas Deon.

Kampanye Greenpeace memproyeksikan pesan untuk transisi ke energi bersih di Pantai Melasti, Bali, 14 November 2022. Aksi tersebut bersamaan dengan digelarnya KTT G20 di bawah presidensi Indonesia. Dok Greenpeace

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Nathan Kacaribu, mengatakan setiap transisi yang dilakukan oleh negara berkembang seperti Indonesia harus berlangsung secara adil dan terjangkau. 

Menurut Febrio, biaya yang dibutuhkan untuk mencapai Updated Nationally Determined Contribution (NDC) sebesar 29% dengan usaha sendiri pada 2030 di sektor energi mencapai Rp 3.900 triliun. Sementara kebutuhan finansial untuk Enhanced NDC dengan target penurunan emisi tanpa syarat sebesar 31,89%, saat ini masih dalam proses estimasi.

Febrio mengatakan, pemerintah telah melakukan sejumlah terobosan dalam upaya pembiayaan transisi energi di Indonesia. Salah satunya memperluas investasi melalui sukuk hijau dengan total mobilisasi investasi dari penerbitan sukuk hijau mencapai USD 6,54 miliar dari periode 2018-2022. Selain itu, implementasi beberapa kerangka kerja regulasi dalam Energy Transition Mechanism (ETM) juga dilakukan. Febrio menekankan kolaborasi untuk blended finance (pendanaan campuran) dengan sektor swasta semakin berpeluang besar.

“Salah satu hambatan dari sektor swasta (untuk berinvestasi di transisi energi--red.) adalah kurangnya pemahaman yang sama. Tahun ini, dengan Indonesia sebagai ketua ASEAN, salah satu yang disepakati adalah kegiatan transisi juga akan mencakup pengakhiran dini operasional PLTU batubara yang termasuk dalam taksonomi keuangan transisi. Terdapat ketentuan hijau dengan batasan tertentu yang dapat dibiayai sektor swasta, misalnya, jika pensiun dini sebelum 2040, maka sektor swasta bergabung (membiayai--red.),” ungkap Febrio.

Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Dadan Kusdiana, mengatakan tren biaya energi terbarukan cenderung menurun. Sementara itu energi fosil seperti batubara semakin meningkat. Menurutnya, meskipun kebutuhan investasi untuk transisi energi sangat besar, namun Indonesia memiliki potensi energi terbarukan dan berbagai bentuk pembiayaan yang juga berasal dari berbagai- organisasi internasional.

“Investasi yang besar sebenarnya menjadi peluang untuk mentransisi sektor energi.  Memang akan ada peningkatan biaya, namun kita akan merasakan manfaat dari penurunan biaya energi terbarukan dalam periode jangka yang panjang,” kata Dadan.