Megaproyek KIHI Berisiko Rugikan Pendapatan Warga Rp 13 T

Penulis : Kennial Laia

Energi

Rabu, 20 September 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara untuk kawasan industri hijau (KIHI) Kalimantan Utara dinilai berpotensi merugikan perekonomian negara hingga triliunan rupiah. Selain itu terdapat dampak kehilangan penghidupan bagi masyarakat lokal, dan dibayangi oleh bencana ekologis. 

Menurut ekonom dan Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, hasil kalkulasi dengan metode IRIO (inter-regional input-ouput) menunjukkan adanya dampak negatif pembangunan PLTU batu bara terhadap perekonomian negara sebesar Rp 3,93 triliun. Sementara itu pendapatan masyarakat secara agregat akan menurun Rp 3,68 triliun, dan kerugian di sektor perikanan senilai Rp 51,5 miliar. 

“Kerugian ekonomi tersebut disebabkan oleh dampak kerusakan lingkungan, kesulitan nelayan mencari ikan, hingga sektor pertanian yang terimbas pertambangan batu bara untuk menyuplai PLTU,” kata Bhima. 

Selain itu terdapat risiko kehilangan pekerjaan sebanyak 66.000 orang di berbagai sektor. Jika PLTU batubara beroperasi dalam jangka panjang, akumulasi kerugian dari kehilangan pendapatan masyarakat menembus Rp 13 triliun. 

Plang pengumuman pembangunan kawasan industri oleh PT Kalimantan Industrial Park Indonesia di KIHI, Kalimantan Utara. Dok CELIOS

KIHI memiliki luas total 30.000 hektare di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara. Megaproyek ini diklaim sebagai kawasan industri hijau terbesar di dunia, dengan fokus hilirisasi hasil tambang seperti nikel dan aluminium. 

Namun analisis CELIOS menemukan bahwa proyek ini berisiko meninggalkan jejak kerusakan ekologis dari hulu ke hilir, dari proses ekstraktif, produksi, hingga distribusinya. Musababnya, bahan mentah yang menyokong KIHI ditambang dari pulau-pulau lain seperti Sulawesi dan Kepulauan Maluku, terutama nikel. 

Peneliti CELIOS, Fiorentina Refani, menuturkan bahwa pembangunan megaproyek mengarahkan Kalimantan Utara dalam pusaran bencana ekologi. 

“KIHI cenderung mendorong adanya deforestasi, pengerukan laut, pencemaran limbah panas air bahang, abrasi pantai, penghancuran sumber-sumber air serta kelola peratnian secara lokal, hingga hilangnya biodiversitas,” ungkap Fiorentina. 

Hal serupa juga ditujukan bagi para lembaga pemberi pinjaman. Dalam pembiayaan PLTU batubara di KIHI masih terdapat bank-bank domestik, di saat perbankan internasional menghindar.

“Elemen keberlanjutan yang disertai dengan prinsip berkeadilan semestinya menjadi prioritas dalam kerangka menjalankan bisnis pembiayaan sebuah proyek. Pemberian pinjaman selayaknya berdasar pada track record yang baik dan konsistensi dalam mewujudkan komitmen hijau tiap calon debitur,” ujar peneliti CELIOS, Atinna Rizqiana.

Atinna mengkritisi lembaga pemberi pinjaman untuk megaproyek KIHI. Secara khusus pembangunan PLTU batu bara didanai oleh bank domestik dan BUMN. Menurutnya tren ini kontras dengan perbankan internasional yang mulai meninggalkan pendanaan energi fosil.

Bank penyandang dana untuk PLTU batu bara di KIHI Kalimantan Utara tersebut di antaranya Bank Mandiri sebesar US$585 juta, Bank BRI US$450 juta, Bank BNI US$350 juta, Bank BCA US$270 juta, dan Bank Permata US$100 juta. 

“Elemen keberlanjutan yang disertai dengan prinsip berkeadilan semestinya menjadi prioritas dalam kerangka menjalankan bisnis pembiayaan sebuah proyek. Pemberian pinjaman selayaknya berdasar pada track record yang baik dan konsistensi dalam mewujudkan komitmen hijau tiap calon debitur,” ujar Atinna.

Menanggapi hasil studi CELIOS, Juru Kampanye Keuangan Batu Bara Market Forces, Binbin Mariana, mengatakan saat ini sudah lebih dari 200 bank dan lembaga keuangan global memiliki kebijakan pembatasan pendanaan batubara. Namun, tidak ada bank Indonesia yang masuk dalam daftar tersebut.

“Keterlibatan bank domestik dalam pembiayaan pembangunan PLTU batu bara baru menunjukan bahwa perbankan Indonesia tertinggal jauh dalam mengelola risiko iklim dari pendanaan batubara,” kata Binbin. 

“Perbankan Indonesia tidak mempertimbangkan risiko krisis iklim yang berdampak pada usaha debitur yang dapat mempengaruhi kualitas aset pinjaman bank yang tentunya akan mengurangi profitabilitas bank,” tambah Binbin.

Sementara itu Direktur Perkumpulan Lingkar Hutan Lestari, Wastaman, mengatakan: “Proyek hijau yang digadang-gadang Presiden Joko Widodo sebagai proyek terbesar di dunia adalah proyek perampasan tanah, yang merampas ruang hidup nelayan di desa Mangkupadi dan Tanah Kuning.” 

Bhima mengatakan, studi yang dilakukan CELIOS merekomendasikan agar setiap pembangunan kawasan industri hijau mempertimbangkan aspek lingkungan secara menyeluruh. Pemerintah juga harus menghentikan seluruh rencana pembangunan PLTU batu bara baru dan fokus untuk menyediakan pasokan listrik dari energi terbarukan. 

“Solusinya pasokan listrik stabil disediakan oleh PLN dengan catatan PLN juga memperbesar bauran energi terbarukan. Selain itu taksonomi hijau OJK 2.0 sebaiknya tidak memberikan ruang bagi PLTU batubara untuk hilirisasi, sehingga perbankan lebih fokus membiayai pembangkit EBT di kawasan industri,” ujar Bhima.