Sawit Watch Gugat Pengampunan Sawit di Kawasan Hutan 

Penulis : Gilang Helindro

Sawit

Jumat, 22 September 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Sawit Watch mendaftarkan gugatan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan kepada Mahkamah Agung.  Achmad Surambo, Direktur Sawit Watch menyatakan tindakan pemerintah mengubah haluan penyelesaian sawit di dalam kawasan hutan menjadi “pemutihan/pengampuan” itu mengabaikan proses penegakan hukum dengan mengedepankan sanksi administratif dan dapat menjadi preseden buruk dalam upaya perbaikan tata kelola sawit. 

Rambo menjelaskan, landasan pemerintah adalah Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) yang mengubah UU Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan (UU P3H) dengan menyisipkan Pasal 110 A dan 110 B. Dari sini kemudian dibentuklah aturan pelaksananya, berupa Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan (PP No 24/2021). 

Kami memandang kebijakan ini akan menjadi celah bagi perusahaan untuk melakukan pelanggaran serupa di masa depan,” katanya, Rabu 20 September 2023. 

Rambo menambahkan, perusahaan bisa saja melakukan penyerobotan lahan dalam kawasan hutan, karena ada semacam jaminan akan diputihkan lagi. "Harusnya, jika pemerintah benar-benar serius menyelesaikan keterlanjuran sawit di kawasan hutan, yang diprioritaskan penyelesaian desa-desa yang berada di kawasan hutan,” katanya. 

Tampak dari ketinggian hamparan perkebunan sawit milik PT Tunas Sawaerma, Korindo Group di Papua./Foto: Mighty Earth

Diketahui, kata Rambo, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat ada sekitar 25.863 desa di dalam dan di sekitar kawasan hutan yang terdiri dari 9,2 juta rumah tangga. Inilah yang harusnya menjadi fokus penyelesaian pemerintah. Sawit Watch mencatat hingga 2023 jumlah komunitas yang berkonflik di perkebunan sawit sebanyak 1088 kasus, dengan mayoritas konflik tenurial 62,5 persen yang dapat terjadi di kawasan hutan. 

Rambo menambahkan, gugatan yang disampaikan kepada Mahkamah Agung adalah sebagai upaya dalam memastikan agar perusahaan sawit tidak mengabaikan tanggung jawab atas ketidakpatuhan dan pelanggaran yang dilakukan sejak bertahun-tahun lalu. Pemutihan usaha perkebunan sawit di kawasan hutan juga menimbulkan implikasi ketidakpastian hukum yang menciptakan dampak tambahan terkait penyelesaian permasalahan tanah masyarakat di kawasan hutan. 

“Proses pidana diabaikan dan diganti dengan memberikan sanksi berupa denda administratif justru sangat merugikan. Kami juga mendorong agar pemerintah memprioritaskan penyelesaian desa-desa dalam kawasan hutan untuk diselesaikan,” katanya. 

Janses E. Sihaloho, Koordinator Tim Advokasi Gugat Omnibus Law menegaskan, PP ini merusak jaminan kepastian hukum dan jaminan perlindungan bagi masyarakat di sekitar hutan. Untuk itu kami mengguggat Pasal 3 PP karena menimbukan ketidakpastian hukum karena terjadi pertentangan antara UUCK, UU Penetapan Perpu CK Menjadi UU, dan PP. 

“PP telah mengatur apa yang tidak diperintah UU CK dan UU Penetapan Perpu CK dan mengatur apa yang telah dikecualikan oleh UU P3H,” kata Janses. 

Gunawan, Penasehat Senior Indonesia Human Right Committee For Social Justice (IHCS) menjelaskan, ketidakpastian hukum dapat tercermin dengan melihat perbedaan antara pengaturan melalui kebijakan Undang-undang (UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu No 2/2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU) dan aturan pelaksana ( PP Nomor 24 Tahun 2021). 

Dari sisi subjek hukum misalnya, UU Cipta Kerja dan UU Penetapan Perppu Cipta Kerja adalah setiap orang yang melakukan kegiatan usaha yang telah terbangun dan memiliki perizinan berusaha di kawasan hutan. Namun, subyek hukum PP No 24/2021 adalah setiap orang yang melakukan kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun di kawasan hutan dan memiliki izin lokasi dan/atau izin usaha di bidang perkebunan. 

“Sehingga ketidakpastian hukum muncul ketika subyek hukum yang diatur di level undang-undang adalah yang memiliki perizinan usaha kehutanan, sedangkan pada aturan pelaksananya justru mengatur subyek hukum yang tidak memiliki perizinan usaha kehutanan,” jelas Gunawan. 

Hal lain dapat dilihat dari sisi jangka waktu, merujuk PP No. 24 Tahun 2021, yang menyebutkan perkebunan sawit di kawasan hutan harus menyelesaikan persyaratan perizinan usaha di kawasan hutan dalam jangka waktu tiga tahun. “Sementara Pasal 37 UU Cipta Kerja diganti dengan UU No 6/2023 tentang Penetapan Perppu No 2/2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU, di mana batas waktu penyelesaian persyaratan perizinan usaha di kawasan hutan tidak lagi tiga tahun, tetapi paling lambat 2 November 2023,” tutupnya.