Hari Badak Sedunia: Innalillahi Badak Kalimantan

Penulis : Aryo Bhawono

Badak

Jumat, 22 September 2023

Editor : Yosep Suprayogi

SUDAH hampir lima tahun, Pahu, seekor badak kalimantan (Dicerorhinus sumatrensis harrisoni) betina hidup sendirian di lahan berpagar listrik seluas 20 hektare. Tempat itu merupakan bagian dari Sumatran Rhino Sanctuary (SRS) Kelian, Kutai Barat, Kalimantan Timur, tempat penyelamatan badak kalimantan seluas 5000 ha. Pada 2018 lalu ia dibawa ke tempat itu untuk diselamatkan karena habitat aslinya, kantong 3 habitat badak kalimantan di kabupaten yang sama, habis dirambah tambang dan kebun sawit.

Ia merupakan satu dari dua badak kalimantan yang tersisa di Borneo. Badak lainnya, Pari, berada di alam liar Hutan Lindung Kelompok Hutan (HL KH) Sungai Ratah-Sungai Nyuatan-Sungai Lawa yang diidentifikasi sebagai kantong 1 habitat badak kalimantan di Mahakam Ulu, tetangga Kabupaten Kutai Barat.

Pahu menanggung beban keberlanjutan reproduksi subspesiesnya. Paling tidak keberadaannya di SRS Kelian membuat kesehatan dan kondisi fisiknya mudah terpantau sehingga ia menjadi prioritas reproduksi badak kalimantan.

Namun usianya terus menua, ia diperkirakan berumur di rentang 35 hingga 40 tahun. Kepala Resort Konservasi Suaka Badak Kelian (RKSBK) Kutai Barat, Jono Diputro, mengungkap perkiraan usia ini berdasar pada struktur gigi, yakni tingkat pengeroposan gigi dan kerataan geraham. Pada golongan mamalia, kata dia, usia ini tergolong senja untuk berkembang biak.

Badak pahu ketika berhasil ditangkap untuk kemudian di translokasi dari habitatnya ke SRS Kelian, Kutai barat kalimantan Timur. Sumber Foto: KSDAE

Hingga saat ini pemantauan ukuran, berat badan, pernafasan, hingga kimia dalam darah menunjukkan Pahu memiliki kondisi sehat. Namun pada pola reproduksi menunjukkan kendala.

“Karena dia betina sudah lama tidak bertemu jantan, siklus untuk folikel (menstruasi) kurang normal. Itu yang menjadi perhatian, reproduksi,” ucap Jono ketika dihubungi melalui telepon.

Beban reproduksi pun dianggap berat untuk Pahu karena usianya yang kian tua.

Pemerintah sendiri selama ini bersiasat menghadapi abnormalitas reproduksi badak melalui pemanfaatan sel kelamin (gamet) dengan teknologi reproduksi berbantuan (Assisted Reproductive Technology/ ART). Strategi ini dimuat dalam Rencana Aksi Darurat (RAD) Badak Sumatera 2018-2021.

Ketika masa berlaku kebijakan itu telah selesai, teknologi yang sama juga dituliskan dalam Keputusan Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) No SK8 4 /(SDAE/SET-3/155A.2,15,/2023 Tentang Tim Pelaksana Penyelamatan Badak Sumatera di Kalimantan.

Ketiadaan badak kalimantan jantan dapat diatasi dengan mengawinkan sperma badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) dengan sel telur badak kalimantan. Namun lagi-lagi, proses ini sangat bergantung dengan kondisi sel telur Pahu.

Tantangan merawat Pahu saat ini adalah mengembalikan siklus reproduksi normal. Siklus menstruasi yang tidak normal menunjukkan sel telurnya tidak produktif. Padahal, kata Jono, yang dipanen adalah sel telur ini.

Pakar Teknologi Berbantu Institut Pertanian Bogor (IPB), Muhammad Agil, berharap sel telur Pahu dapat dipanen di luar. Usia yang kian tua memang memunculkan kekhawatiran jika sel telur badak tidak produktif.

Badak mengalami masa pubertas pada usia 6 hingga 7 tahun, masa ini menunjukkan aktifnya fungsi reproduksi. Pada usia 10 hingga 12 tahun, ia baru bisa beranak.

Selama ini tidak ada rekam jejak lengkap yang mencatat batas usia produktif reproduksi badak.

Menurutnya salah satu faktor yang perlu dilihat untuk melihat usia produktif reproduksi adalah rentang hidup (life span) spesies badak itu. Catatan usia tertua rentang hidup badak di kebun binatang adalah 35 tahun. Namun Bina, seekor badak sumatera di Taman Nasional Way Kambas (TNWK) saat ini mencapai usia 43 tahun dan cukup sehat.

Life span ini, kata dia, kemungkinan bergantung pada pakan. Badak makan sedikit buah dan banyak daun serta ranting. Banyak daun pakan mereka mengandung bahan aktif yang membantu faktor kesehatan mereka.

“Daun yang mereka sukai, itu penyelamat mereka,” ucap Agil.

Ia sendiri kini turut memonitor Pahu. Menurutnya perlu monitoring dan observasi lebih lanjut karena proses ART cukup panjang dan kompleks.

Misalnya saja penggabungan sel jantan dan betina harus pada saat tepat. Salah satu tanda yang berhasil diketahui berdasar ukuran folikel ovarium, antara 1,8 sampai dua sentimeter.

“Kalau ukuran belum sampai 1,8 cm, ya artinya belum saatnya,” terangnya.

Soal Pahu sendiri kelak, sel telur yang akan diambil akan dikawinkan dengan sperma badak sumatera dari TNWK kemudian ditanam di rahim betina badak sumatera. Proses ibu pinjam ini dipilih karena perbedaan ukuran badak kalimantan dengan badak sumatera.

Badak sumatera memiliki tinggi sekitar 1 sampai 1,5 meter, panjang dari ujung ekor sampai ke bagian mulutnya sekitar 2 sampai 3 meter, dan bobot berkisar 600 sampai 1000 kg. Sedangkan badak kalimantan memiliki tubuh lebih kecil, bobot Pahu sendiri hanya sekitar 350 kg.

“Kalau ditanamkan di rahim Pahu, berisiko pada ukuran janin. Karena kemungkinan ukuran anak besar sehingga akan susah melahirkan, kami tidak mau itu,” ungkapnya.

Namun kekhawatiran atas usia dan produktivitas reproduksi masih menggelayuti konservasionis. Peneliti Satwa Auriga Nusantara, Riszky Is Hadiyanto, menyebutkan sejak translokasi hingga kini merupakan waktu yang terlampau panjang bagi Pahu untuk terus sendirian tanpa kawin.

Tak ayal jika ia khawatir dengan produktivitas reproduksi Pahu jika dikaitkan dengan usianya. Menurutnya Pahu kini berpacu dengan waktu.

“Apalagi ada kemungkinan Pahu ini belum pernah ketemu pasangan karena sampai sekarang badak kalimantan yang tersisa cuma dua, betina semua. Satunya Pari yang ada di Hutan Lindung Mahakam Ulu,” ucapnya.

Riszky berpendapat sebaiknya monitoring dan perlindungan Pari diperkuat, termasuk habitatnya. Selama ini belum ada perkiraan pasti usia badak yang hidup di alam liar itu.

Perlindungan habitat juga penting dilakukan karena setidaknya ada dua pengalaman yang berujung pada keterancaman badak kalimantan. Pertama adalah kematian Najaq, badak kalimantan pada Maret 2016.

Najaq tertangkap kamera trap pada Oktober 2015. Jejak dokumentasi menunjukkan kaki kiri badak yang diperkirakan berusia 10 tahun itu terjerat tali. Pada saat ditangkap pada Maret 2016, jerat itu putus namun sisa tali sudah masuk sangat dalam pada kulitnya. Kematiannya diperkirakan karena infeksi dari luka jerat ini.

Kala itu tak ada status perlindungan pada hutan habitat Najaq. Riszky beranggapan, terbukanya hutan itu membuat orang bebas lalu lalang dan memasang jerat. Entah jerat itu ditujukan pada badak atau bukan, tapi Najaq sudah jadi korban.

Pengalaman kedua, adalah kerusakan habitat Pahu sendiri di hutan alam Besiq Permai, Kecamatan Damai, Kutai Barat. Kala itu Pahu ditemukan setelah aktivitas tambang dan perkebunan mulai mengepung habitatnya. Aktivitas itu tak berhenti meski translokasi Pahu tengah berjalan.

Kini ancaman yang sama juga terjadi pada habitat Pari. Hutan Lindung tempatnya tinggal diusulkan turun status menjadi menjadi hutan produksi terbatas (HPT) melalui perubahan RTRW Provinsi Kalimantan Timur. Buku Lokasi Usulan Perubahan Peruntukan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Dalam Rangka RTRWP Kaltim menera dua lokasi penurunan status HL KH Sungai Ratah-Sungai Nyuatan-Sungai Lawa menjadi HPT.

Masing-masing diberi kode MU.15 seluas 80.774,33 ha dan MU.16 seluas 19.542,07 ha.

Sedangkan analisis pemetaan Auriga Nusantara dengan tumpang tindih konsesi menunjukkan terdapat lima izin usaha pertambangan seluas 56.396 ha. Perusahaan tersebut adalah PT Pari Coal yang mengantongi izin seluas 23.287 ha, PT Ratah Coal seluas 21.465 ha, PT Maruwai Coal seluas 10.223 ha, PT Lahai Coal seluas 1.354 ha, dan Energy Persada Khatulistiwa seluas 65,7 ha.

Empat perusahaan diantaranya yang disebutkan tadi merupakan Grup Adaro: PT Pari Coal, PT Ratah Coal, PT Maruwai Coal, dan PT Lahai Coal.

“Harus dipahami bahwa perusakan habitat turut mendorong Pahu dalam bahaya hingga harus translokasi. Kemudian perkara serupa justru terjadi pada habitat Pari, padahal Pari juga punya beban yang sama dengan Pahu karena dua-duanya adalah habitat badak kalimantan yang tersisa. Kalau pemerintah mau belajar dari Pahu, seharusnya status hutan lindung bukan diturunkan, justru dijadikan hutan konservasi,” tegasnya.

Habitat badak kalimantan yang sudah diketahui sendiri terdiri dari tiga kantong. Kantong 1 merupakan habitat Pari di HL KH Sungai Ratah-Sungai Nyuatan-Sungai Lawa di Kabupaten Mahakam Ulu. Sedangkan kantong 2 dan 3 berada di Kutai Barat. Habitat ini menjadi satu bentangan di perbatasan Mahakam Ulu-Kutai Barat dan berada dalam wilayah Provinsi Kalimantan Timur yang berbatasan dengan Kalimantan Tengah.

Keluhan serupa juga diungkapkan oleh Direktur Program Tropical Forest Conservation Act (TFCA)-Kalimantan, Puspa D Liman. Dia menyebutkan selain kekhawatirannya soal usia Pahu, pelibatan mitra dan pendonor dalam konservasi oleh pemerintah kini kian surut. Lembaganya sendiri turut menjadi pendana kegiatan translokasi Pahu pada 2018 dan beberapa aktivitas di SRS Kelian.

Misalnya saja mereka terlibat melalui survei okupansi, populasi, dan penyebaran badak sumatera di kantong 2 Kutai Barat. Selain itu mereka juga menggelontor anggaran hingga hampir Rp 16 miliar melalui Konsorsium Aliansi Lestari Rimba Terpadu Alert (ALeRT)-IPB keperluan survei dan penyelamatan badak sumatera, serta pembangunan di Rhino Sanctuary Kutai Barat.

“Kami merasa tidak dilibatkan kembali padahal kami tahu bahwa soal pendanaan dan kerja yang harus dilakukan itu sangat banyak. Seharusnya pelibatan dilakukan pemerintah,” keluhnya.

Dikonfirmasi secara terpisah melalui aplikasi pesan, Dirjen KSDAE KLHK, Satyawan Pudyatmoko menyebutkan saat ini tengah ada usulan untuk menjadikan HL KH Sungai Ratah-Sungai Nyuatan-Sungai Lawa menjadi kawasan konservasi. “Ya ada usulan peningkatan ke KSA/KPA (Kawasan Suaka Alam/ Pelestarian Alam),” tulisnya, tanpa penjelasan lebih lanjut.