Hari Tani Nasional, Walhi: Negara Masih Jauh dari Mandat UUPA

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Agraria

Selasa, 26 September 2023

Editor :

BETAHITA.ID - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai praktik negara masih jauh dari mandat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang disahkan pada 1960 silam. Pada momentum Hari Tani Nasional (HTN), Walhi menantang para pengambil kebijakan dan para kandidat pemimpin negeri untuk memperlihatkan programnya dalam mewujudkan keadilan agraria.

Dalam catatan Walhi, ada 72 konflik agraria yang mereka tangani di 20 provinsi di Indonesia. 72 konflik itu berdampak pada kurang lebih 320 jiwa keluarga petani. Konflik itu terjadi dengan menghadapkan secara langsung petani kecil dengan sejumlah badan usaha milik negara (BUMN) dan korporasi swasta, yang mendapat dukungan pemerintah.

"Dalam banyak kasus pemerintah bahkan mengerahkan aparat bersenjata untuk memuluskan agenda perampasan tanah rakyat, sebagaimana yang terjadi di Pulau Rempang," kata Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun, Eksekutif Nasional Walhi, dalam keterangan resminya, Senin (25/9/2023) kemarin.

Uli melanjutkan, konflik agraria meningkat secara signifikan terutama di daerah-daerah yang terdapat Proyek Strategis Nasional (PSN). Dengan dalih pertumbuhan ekonomi dan mengatasi krisis iklim, PSN menerabas semua rintangan, baik itu yang terkait dengan mekanisme kebijakan di daerah, hingga klaim rakyat terhadap tanah, adat, hingga kebudayaan dan sistem sosial yang telah tumbuh di sebuah wilayah.

Petani merica di empat desa di Loeha Raya berdemonstrasi menolak tambang di Kamp PT Vale Blok Tanamalia, Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Sumber foto: Walhi Sulsel

Sekalipun berlabel proyek negara, lanjut Uli, PSN banyak yang dilimpahkan kepada korporasi dan segelintir elit dengan kemudahan pemberian perizinan. PSN menjadi jalan yang memudahkan aktor swasta mendapatkan ruang eksploitasi dan menguasai sumber-sumber agraria yang dikelola rakyat.

"HTN tahun ini bertepatan dengan tahun politik, untuk itu Walhi memperingatinya dengan mengajak rakyat merefleksikan Liberalisasi Agraria, Penindasan Di Pelupuk Mata," ujar Uli.

Refleksi ini tidak terlepas dari semakin masifnya konflik agraria di berbagai daerah. Uli menyebut, laporan Walhi terhadap konflik agraria ke Kementerian Agraria Tata Ruang Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dan kementerian terkait lainnya, masih sangat lambat direspon oleh pihak terkait.

Sebaliknya, wilayah-wilayah yang dilaporkan Walhi justru mendapat tekanan tindakan represif dari aparat. Setidaknya lebih dari 12 orang yang dikriminalisasi akibat memperjuangkan sumber agrarianya.

Uli menguraikan, Walhi melihat setidaknya ada 5 pokok permasalahan agraria di Indonesia, yaitu pertama, isu tata kelola sumber daya agraria berkeadilan, cabang produksi pertanian, peternakan, perikanan, perampasan tanah dan alih fungsi. Kedua, isu lingkungan dan krisis iklim. Ketiga, isu hak dan keadilan sosial. Keempat, isu kriminalisasi aktivis, pejuang lingkungan, dan pejuang agraria. Terakhir adalah isu kesejahteraan rakyat petani, peternak, dan nelayan.

Walhi, kata Uli, menilai proyek ambisius pemerintahan Jokowi telah menjelma menjadi tiga jenis kekerasan. Pertama adalah kekerasan struktural. Kebijakan PSN merupakan bentuk nyata kekerasan struktural yang dilakukan rezim Jokowi.

Kedua adalah kekerasan langsung (fisik) di mana rakyat yang mempertahankan sumber agrarianya dipukul mundur dengan kekuatan represif, seperti kriminalisasi dan kekerasan. Ketiga adalah kekerasan kultural, melakukan pemaksaan proyek yang seolah-olah benar dan memusnahkan keragaman, tradisi dan budaya masyarakat. Proyek food estate salah satunya, yang justru menghilangkan kultur pangan-pangan lokal yang ada.

"PSN ini lebih layak disebut Proyek Sesat Nasional. Negara satu sisi mengakui adanya ancaman krisis iklim, di sisi lain justru memperparah krisis iklim dengan mengalih-fungsikan ruang produktif menjadi berbagai proyek yang merusak lingkungan," ucap Uli.

Uli menyebut ini sebagai solusi palsu. Paradigma pertumbuhan ekonomi ini sudah mencapai taraf bencana. Memperdaya dengan skema stempel blue ekonomi, green ekonomi, ruang angkasa tercakup ruang di atas bumi dan air pun dijadikan komoditas yang dieksploitasi.

"Stempel green secara kasat mata dapat dilihat pada operasi Rempang Eco City. Kebengisan operasi negara yang mengabaikan hak-hak rakyat di berbagai wilayah, justru menjadikan proyek semacam ini menjelma menjadi tragedi Ekosida," sebut Uli.

Program-program yang dicanangkan Presiden Joko Widodo (Jokowi), menurut Uli, justru memperpanjang daftar konflik agraria dan perebutan sumberdaya alam hingga berbagai pelanggaran HAM. Ketimpangan penguasaan agraria dan perampasan sumber agraria atas nama pembangunan dan krisis iklim, dari hulu ke hilir adalah fakta yang terjadi hari ini.

Alih-alih memulihkan, krisis dijadikan alat dagang bagi para elit untuk mengeruk keuntungan dan melepaskan tanggung jawab. Sementara petani, nelayan, peternak semakin terampas hak-haknya dan tertindas, terlebih lagi pada perempuan yang memiliki keragaman identitas politik, pengalaman dan situasinya, namun sering diabaikan oleh negara.

Seharusnya, sambung Uli, negara memiliki keseriusan untuk memberikan perlindungan rakyat atas kelola sumber agrarianya, dengan mengerti dan memahami konteks model corak produksi ala Ekonomi Nusantara. Uli bilang, pengalaman empirik rakyat Nusantara yang hidup serasi dengan alam adalah modal dasar yang telah dimiliki bangsa ini untuk memberi kontribusi signifikan dalam menjaga peradaban bumi.

"Sehingga, pada momentum Hari Agraria Nasional/HTN tahun ini, Walhi menantang pengambil kebijakan dan para kandidat yang akan berkontestasi untuk memperlihatkan programnya dalam mewujudkan keadilan agraria. Secara konkrit hal itu hanya dapat diukur dengan langkah pertamanya untuk menghentikan seluruh proyek yang memicu konflik agraria dan penghancuran lingkungan di Indonesia," kata Uli.