Tak Ada Rempang Eco City dalam Perencanaan Tata Ruang

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Agraria

Rabu, 27 September 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Kelompok masyarakat sipil membeberkan keganjilan baru Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City. Salah satunya adalah tak adanya alokasi tata ruang untuk Rempang Eco City.

"Tak ada alokasi ruang untuk pembangunan Rempang Eco City dalam perencanaan tata ruang dan wilayah di skala daerah hingga nasional," kata Satrio Manggala, Manager Kajian Hukum & Kebijakan, Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), dalam pernyataan resmi, Senin (25/9/2023).

Satrio menguraikan, dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2021 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Batam, pembangunan infrastruktur di Rempang hanya meliputi jalan artileri, ketenagalistrikan, dan waduk. Sementara pengembangan kawasan industri meliputi pengembangan industri perikanan di Pulau Rempang dan Pulau Galang serta penataan kawasan wisata Rempang, Galang, dan Galang Baru.

Kemudian, RTRW Provinsi Kepulauan Riau sesuai dengan Perda No.1 Tahun 2017 menitik beratkan pada kawasan hutan lindung, suaka alam darat taman buru, cagar budaya dan ilmu pengetahuan historis mengenai tentara Jepang dan pengungsi Vietnam di Pulau Galang, serta kawasan konservasi perairan daerah Kota Batam.

Bentrokan masyarakat melayu dan polisi terkait penolakan relokasi warga Rempang, Batam, Kepri, pada 7 September 2023. Foto: BP Batam/Bener News.

Tak hanya itu, Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Strategis Nasional (KSN) Batam, Bintan, dan Karimun dalam Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2011 menunjukkan ada empat zona lindung yang meliputi kawasan perlindungan sempadan pantai di Pulau Rempang, Pulau galang, dan Pulau Galang Baru, serta kawasan sempadan sungai di Sungai Rempang dan Galang. Selain itu, ada zona lindung kawasan suaka alam, pelestarian alam, dan cagar budaya, serta kawasan lindung rawan gerakan tanah.

Sedangkan dalam Rencana Zonasi Kawasan Antar-wilayah Laut Natuna-Natuna Utara dalam Peraturan Presiden No. 41 Tahun 2022 secara spesifik menyajikan daftar PSN, tetapi tidak menunjukkan ada perencanaan alokasi ruang untuk pengembangan Rempang Eco City. “Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2017, tidak ada yang secara spesifik menunjukkan alokasi ruang untuk pengembangan Rempang Eco City. Yang ada justru Taman Buru Pulau Rempang yang masuk sebagai Kawasan Lindung Nasional,” ujarnya.

Satrio melanjutkan, penting untuk menggarisbawahi status Pulau Rempang sebagai pulau kecil yang ukurannya kurang dari 2.000 km persegi. Pulau Rempang rentan untuk kegiatan perusahaan yang berisiko karena siklus ekosistemnya sangat dekat antara wilayah perairan tawar dan laut.

"Pasalnya, pulau kecil tidak memiliki ruang transisi untuk peralihan zona pesisir dan zona darat seperti pulau-pulau besar.”

Dugaan konflik kepentingan pejabat di PSN Rempang

Mengenai Pulau Rempang yang ditetapkan sebagai PSN, peneliti dari Trend Asia Zakki Amali menyatakan PT Makmur Elok Graha (MEG) yang ditunjuk untuk melakukan pengembangan proyek Rempang Eco City selama ini kerap dikaitkan dengan pendiri Artha Graha Group Tomy Winata. Menurut Zakki, Trend Asia tidak menemukan nama Tomy Winata dalam struktur perusahaan tersebut. Namun, kata dia, ada direksi dan komisaris perusahaan PT MEG, dan perusahaan yang memiliki saham PT MEG, yang terlibat dalam pekerjaan dan kegiatan sosial berhubungan dengan Artha Graha Group.

Zakki mengungkapkan, penerima manfaat utama atau ultimate beneficial ownership dari PT MEG ditemukan adalah perusahaan cangkang (shell company) dari British Virgin Island, yaitu Grideye Resources. 

Selain itu, “Rempang akan dijadikan lokasi pabrik Xinyi Glass Holding yang akan memproduksi panel surya. Kemudian di Batam, terdapat perusahaan yang diduga terafiliasi pejabat akan membangun PLTS yang kemungkinan menjadi pembeli potensial untuk panel surya dari Xinyi Glass,” ungkap Zakki.

Hal ini, katanya, mengindikasikan adanya situasi supply and demand di Batam, yaitu perusahaan PLTS yang memerlukan panel surya dan listriknya akan diekspor ke Singapura dengan produsen panel surya dari Xinyi Glass yang akan berdiri di Pulau Rempang.

Zakki mengartikan, ada kebutuhan listrik "rendah karbon” dari pemerintah Singapura yang dihasilkan dari PLTS di Batam. Dalam rencana pembangunan PLTS di Batam dan daerah di sekitarnya sendiri terdapat sekitar sembilan perusahaan yang terlibat, beberapa di antaranya ialah PT Adaro Energi Indonesia, PT Batam Sarana Surya, PT Toba Bara Energi, PT Indonesia Power, dan Gurin Energy Ltd.

Warisan konflik di Rempang

Linda Dewi Rahayu dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebut, konflik di Pulau Rempang tidak terjadi secara serta-merta, hanya saja baru meletus pada 7 dan 11 September lalu. Jika ditelisik, masalah agraria di Pulau Rempang merupakan konflik warisan dari pasca-kemerdekaan, Orde Baru, hingga hari ini.

Negara yang seharusnya wajib mengadministrasikan sumber-sumber agraria, imbuh Linda, nyatanya bertindak sebaliknya. Negara justru meliberalisasi sumber agraria bersama elit bisnis, dengan menyempitkan hak menguasai negara.

"Akibatnya, masyarakat Rempang tidak menjadi elemen terhitung dalam pembangunan. Maka konflik dan pelanggaran HAM di Pulau Rempang sudah terjadi sejak puluhan tahun lamanya,” kata Linda.

Masih kata Linda, di era pemerintahan Presiden Joko Widodo, PSN dilegitimasi sedemikian rupa menjadi proyek yang tidak partisipatif, menggusur ruang hidup masyarakat, hingga menggunakan kekuatan kekerasan negara secara berlebihan sampai seolah-olah tidak dapat ditolak pelaksanaannya.

“UU Cipta Kerja menjadi alat yang memudahkan perampasan tanah, utamanya tanah yang tidak diadministrasi dengan baik oleh Pemerintah. Lalu menjadi tipikal PSN menyebabkan letusan konflik agraria. Pasca-UU Cipta Kerja, konflik akibat PSN pada tahun 2021 meningkat 123 persen. Bila ditotal sepanjang Pemerintahan Jokowi (2015-2022), telah terjadi 73 letusan konflik agraria akibat PSN,” ujar Linda.

Berbicara tentang dampak dan risiko yang ditimbulkan akibat konflik di Pulau Rempang, Linda menambahkan, korban konflik agraria di Pulau Rempang tak hanya ada pada peristiwa 7 dan 11 September saja. Tetapi, ada korban saat konflik tersebut dimulai bertahun-tahun lalu hingga korban yang akan ada di masa mendatang.

Perempuan, katanya, menjadi kelompok yang paling rentan karena berada di garda terdepan ketika terjadi konflik agraria seperti di Pulau Rempang.

"Pasalnya mereka tidak lepas dari keterikatan dan fungsi tanah, air, dan lingkungan di pulau kecil mereka. Sebab sumber-sumber agraria itu bicara soal hidup dan kehidupan," ucap Linda.

Linda melanjutkan, ketika warga dipindahkan, secara paksa pemerintah mengubah gaya hidup, dengan akses yang dibatasi disertai kekerasan yang merupakan bentuk eksklusi. Saat pemerintah berbicara dengan warga pun yang diajak diskusi belum mewakili suara perempuan.

"Maka yang perlu digarisbawahi bukan sekadar pembangunan yang meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tapi pembangunan yang bisa mengakomodir hak perempuan, anak, juga lansia, dan kelompok rentan lainnya. Sebab perempuan, anak-anak, dan lansia menjadi kelompok yang paling rentan terdampak dalam konflik perampasan tanah di Pulau Rempang."

Fauzi Rahman dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyebut, penggusuran paksa warga Rempang yang direncanakan oleh pemerintah, berpotensi masuk kategori pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat. Karena merujuk pada Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, pelanggaran hak asasi manusia berat meliputi genosida hingga pemindahan paksa.

"Yang sedang terjadi di Pulau Rempang adalah penggusuran paksa. Situasi saat ini masih mencekam, ada intimidasi di mana-mana. Kami meminta agar pemerintah menarik mundur pasukan polisi dan TNI agar masyarakat tidak takut,” katanya.