Jatam Sebut Perlakuan Brutal Terhadap Penolak Tambang kian Masif

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Tambang

Kamis, 28 September 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Kebrutalan negara dan korporasi dalam menghadapi penolakan aktivitas pertambangan di Indonesia semakin masif. Menurut Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), pola-pola umum yang digunakan adalah pendekatan keamanan yang represif terhadap warga penolak tambang, yakni intimidasi dan kekerasan fisik.

Koordinator Jatam Nasional, Melky Nahar mengatakan, delapan tahun lalu, tepatnya pada 26 September 2015, Salim Kancil, seorang Petani di Desa Selok Awar-Awar, Lumajang disetrum dan dihajar bertubi-tubi tanpa ampun. Tak hanya pakaiannya yang tercabik-cabik, kepalanya bahkan remuk, hingga perutnya pecah. Salim Kancil dihabisi oleh komplotan preman suruhan perusahaan tambang.

Melky melanjutkan, kisah tragis serupa juga dialami pria bernama Sabriansyah (60) asal Desa Mangkauk, Pengaron, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan yang tewas usai dikeroyok dan ditembak di kepala pada 29 Maret 2023 lalu. Penembakan maut itu didalangi oleh Humas perusahaan tambang batu bara PT JGA berinisial AB.

Lalu, 12 Februari 2022 lalu, Erfaldi (21), seorang mahasiswa yang terlibat aksi tolak tambang PT Trio Kencana di Parigi Moutong, Sulteng, tewas ditembak aparat Kepolisian. 

Aksi demonstrasi menolak tambang emas PT Trio Kencana di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah pada Sabtu (12/2/2022). foto: Jatam Sulteng

"Tiga kisah memilukan di atas, adalah sedikit dari begitu banyaknya tindakan brutal negara melalui aparat keamanan dan korporasi tambang terhadap warga yang mempertahankan ruang hidupnya," kata Melky, Selasa (26/9/2023).

Korporasi tambang, kata Melky, seringkali bersekongkol dengan negara melalui aparat keamanan, untuk menghilangkan resistensi warga atas operasi perusahaan tambang. Hal ini dialami warga di hampir seluruh wilayah, tempat di mana perusahaan tambang beroperasi.

Mulai dari warga Pulau Wawonii, Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara (Sultra), dan Kawasi, Pulau Obi, Maluku Utara (Malut), yang menentang operasi tambang Harita Group. Kemudian juga dialami warga Pulau Sangihe, Sulawesi Utara (Sulut) yang telah bertahun-tahun menentang operasi tambang emas PT Tambang Mas Sangihe yang mencaplok lebih dari separuh luas pulau.

Tak ketinggalan warga Wadas, Purworejo, Jawa Tengah yang mendapat kekerasan fisik, karena menolak lahannya ditambang untuk proyek strategis nasional (PSN) Bendungan Bener. Demikian juga dengan warga di Luwu Timur, Sulawesi Selatan (Sulsel) yang mendapat kekerasan fisik dari aparat keamanan, bahkan personel Brimob mengancam akan membakar kendaraan milik petani saat menggelar aksi penolakan tambang PT Vale Indonesia.

"Selain pendekatan kekerasan fisik dan intimidasi, pola umum yang sering digunakan adalah kriminalisasi dan proses hukum yang bias kepentingan," ujar Melky.

Korporasi tambang, kata Melky, seringkali bersekongkol dengan negara melalui aparat keamanan, untuk menghilangkan resistensi warga atas operasi perusahaan tambang.

Praktik kriminalisasi ini telah menelan korban setidaknya 178 orang, sebagian di antaranya adalah warga Pulau Wawonii, Konawe Kepulauan sebanyak 35 orang; Pulau Sangihe, Sulut sebanyak 33 orang; Luwu Timur, Sulsel 3 orang; Buli, Haltim, Malut 11 orang; Sagea, Halteng, Malut 1 orang.

Kemudian Kalimantan Timur (Kaltim) 15 orang; Bojonegoro, Jatim 3 orang; Wadas, Purworejo, Jateng sebanyak 40 orang; Banyuwangi, Jatim 1 orang; Kluet Tengah, Aceh Selatan, Aceh 2 orang; dan warga Sawoan, Desa Sawo, Kecamatan Kutorejo, Kabupaten Mojokerto, sebanyak 34 orang.

Kepala Divisi Adokasi Jatam, Muhammad Jamil menambahkan, kriminalisasi terhadap warga penolak tambang ini, tak hanya menggunakan perangkat hukum seperti UU Minerba Pasal 162 Jo. UU Cipta Kerja yang merevisi Pasal 162 UU Minerba, tetapi juga sejumlah UU lain, mulai dari UU KUHP, UU ITE, UU Darurat, UU Mata Uang, UU Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.

"Fenomena kriminalisasi ini diperparah dengan model penegakan hukum yang alih-alih berlangsung adil, justru lebih sering mengakomodasi kepentingan korporasi tambang," ucap Jamil.

Dua contoh kasus yang menunjukkan hal ini, adalah kasus tambang nikel di Pulau Wawonii dan tambang emas Pulau Sangihe. Laporan atau pengaduan warga dan proses gugatan hukum yang tengah berlangsung di pengadilan, alih-alih dihargai, perusahaan justru terus beroperasi, bahkan dikawal aparat keamanan.

Kabar buruk lainnya, polemik tambang di dua pulau kecil itu, pasca-gugatan hukum warga atas Izin Tambang, Peraturan Daerah tentang RTRW untuk menghapus alokasi ruang tambang dan gugatan pembatalan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) untuk PT Gema Kreasi Perdana (PT GKP) di Pulau Wawonii, justru direspon oleh PT GKP dengan melakukan judicial review (JR) terhadap UU Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang melarang penambangan di pulau kecil ke Mahkamah Konstitusi.

"Dan PT Tambang Mas Sangihe di Pulau Sangihe yang tengah mengajukan perizinan baru ke Kementerian ESDM," ungkap Jamil.

Situasi itu, Jamil melanjutkan, secara gamblang menunjukkan negara dan korporasi, tak sebatas bersekongkol dalam rentetan praktik kekerasan, intimidasi, dan kriminalisasi, hingga menelan korban jiwa, tetapi juga menggunakan perangkat hukum yang sedari awal tak berpihak pada warga dan lingkungan untuk memaksa penambangan di sekujur tubuh kepulauan Indonesia.

Jamil menambahkan, kisah Salim Kancil di Lumajang atau Erfaldi di Parigi Moutong, adalah sekelumit peristiwa ihwal kekerasan negara dan korporasi yang begitu nyata dan tak berkesudahan. Aparat negara dan korporasi, katanya, justru menjadi sumber ketakutan utama warga.

"Takut mendapat kekerasan, takut diusir dari rumah sendiri, takut dikriminalisasi kalau menolak atau menghentikan perampasan sumber-sumber penjamin kehidupan, bahkan takut kehilangan nyawa meski sekadar mempertahankan hak atas ruang hidup," ucap Jamil.