Dana Sawit: Rp 4 T untuk Petani, Rp 40 T untuk Korporasi
Penulis : Gilang Helindro
Sawit
Jumat, 29 September 2023
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Wali lingkungan yang tergabung dalam Koalisi Transisi Bersih mengapresiasi langkah Kejagung dalam pengusutan dugaan penyelewengan dana sawit dan insentif biodiesel dan meminta penanganannya dibuka secara transparan ke publik. Hal ini mengingat pemberian subsidi biodiesel selama ini hanya menguntungkan segelintir korporasi besar industri sawit dan merugikan petani sawit di Indonesia.
Kejaksaan Agung masih mengusut dugaan tindak pidana korupsi dalam pengelolaan dana sawit di Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) periode 2015 - 2022. Meski sudah ditingkatkan ke tahap penyidikan sejak 7 September lalu, penyidik belum menetapkan tersangka dalam kasus ini. Di perkara ini, Jaksa juga menyasar korporasi yang diduga terlibat. Kejagung sejauh ini sudah memanggil 23 saksi untuk diperiksa, beberapa di antaranya adalah sejumlah petinggi perusahaan sawit.
Achmad Surambo, Direktur Sawit Watch mengatakan, BPDPKS sedianya merupakan badan layanan umum yang dibentuk pada 2015 berdasarkan amanat Pasal 93 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, untuk menghimpun dana dari pelaku usaha perkebunan. Lembaga tersebut menghimpun dana dari penerimaan pungutan ekspor kelapa sawit.
Menurut Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit, dana yang dihimpun oleh BPDPKS semestinya digunakan untuk membiayai peremajaan sawit rakyat (PSR); sarana dan prasarana perkebunan kelapa sawit; pengembangan sumber daya manusia; penelitian dan pengembangan; promosi dan kemitraan; pemenuhan kebutuhan pangan dan hilirisasi industri, serta penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati. Namun kenyataannya, dana sawit justru mayoritas diperuntukkan untuk subsidi biodiesel dan mengabaikan fungsi lainnya.
Sejak 2015 hingga 2023 kata Surambo, penggunaan dana perkebunan sawit yang dikelola BPDPKS menunjukkan alokasi yang timpang dan sarat akan indikasi korupsi, padahal kajian Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS 2023) menunjukkan bahwa penggunaan dana perkebunan sawit untuk kepentingan subsidi biodiesel berkontribusi sangat kecil dalam meningkatkan pertumbuhan output untuk semua sektor ekonomi yaitu sebesar 1,20 persen, dibandingkan penggunaannya untuk pengembangan perkebunan sawit yaitu sebesar 1,32 persen untuk semua sektor ekonomi.
Surambo menambahkan, jika dana ini sejak awal dipergunakan untuk program-program sesuai amanat UU perkebunan, maka secara signifikan akan berkontribusi pada pertumbuhan output sektor perkebunan sawit yaitu tumbuh mencapai 32,31 persen. "Sedangkan penggunaan dana untuk subsidi biodiesel hanya mampu meningkatkan pertumbuhan output sektor perkebunan sawit sebesar 3,2 persen," katanya Kamis, 28 September 2023.
Data tersebut menunjukan, bahwa secara ekonomi, penggunaan dana perkebunan sawit sesuai mandat UU Perkebunan akan memberikan kontribusi yang besar tidak hanya terhadap pertumbuhan output secara agregat, tapi juga memberikan kontribusi yang besar terhadap pengembangan sektor perkebunan sawit di Indonesia.
Menurut Surambo, alokasi dana sawit untuk subsidi biodiesel sudah dilakukan sejak program B20 hingga B35 dan subsidi ini telah memberikan keuntungan besar bagi 10 grup perusahaan sawit penerima subsidi selama periode 2019-2021.
“Seperti Wilmar sebesar Rp22,56 triliun, Musim Mas Rp11,34 triliun, Royal Golden Eagle Rp6,41 triliun, Sinar Mas Rp5,53 triliun, Permata Hijau Rp5,52 triliun, Darmex Agro Rp5,4 triliun, Louis Dreyfus Rp2,9 triliun, Sungai Budi Rp2,56 triliun, Best Industry Rp2 triliun, dan First Resources Rp1,9 triliun”, tegas Surambo.
Achmad Surambo menjelaskan, total pungutan ekspor CPO pada periode tahun 2019- 2021 mencapai angka Rp 70,99 triliun. Dalam periode tersebut (2019-2021) dana subsidi yang disalurkan kepada grup perusahaan sawit yang terintegrasi dengan Badan Usaha - Bahan Bakar Nabati (BU-BBN) jenis biodiesel sebesar Rp 68 triliun.
“Wilmar menjadi grup yang paling diuntungkan dari subsidi biodiesel dengan penerimaan hampir 3 kali lipat dari jumlah pungutan ekspor yang dihimpun oleh BPDP-KS. Selisih antara pungutan ekspor dan subsidi biodiesel, Wilmar memperoleh surplus sebesar Rp 14,8 triliun,” tambah Surambo.
Hal yang lebih ironis, surplus yang diterima oleh perusahaan sawit besar seperti Wilmar, tidak sebanding dengan alokasi dana sawit untuk kebutuhan dasar petani sawit. Dalam periode tahun 2015-2019, realisasi untuk program peremajaan sawit rakyat atau PSR hanya sebesar Rp 2,7 triliun, pengembangan SDM sebesar Rp 140,6 miliar, dan pengadaan sarana- prasarana sebesar Rp1,73 miliar. Jika ketiganya digabungkan, totalnya bahkan tidak mencapai 10 persen dari total dana Rp47,28 triliun yang dihimpun BPDPKS dalam periode tersebut.
Direktur Eksekutif Satya Bumi, Andi Muttaqien menyebut, dalam perkara ini, penyidik mesti mendalami tujuan dibentuknya lembaga BPDPKS dengan realita yang terjadi dalam kurun waktu 2015-2022.
“Dana BPDPKS harus dikembalikan sesuai khittah-nya yaitu pembiayaan lebih banyak ke hulu untuk peremajaan, pelatihan dan pengembangan SDM, penelitian dan pengembangan yang membuat produktivitas petani naik, sehingga petani bisa naik kelas dan masuk dalam ekosistem komersial dalam jangka panjang,” ujar Andi.
Masih dalam momentum peringatan Hari Tani Nasional yang diperingati setiap 24 September, Andi mengingatkan bahwa kedaulatan petani sawit akan sangat menentukan perkembangan industri sawit dan mendorong pembangunan ekonomi nasional. “Maka iuran dana sawit harusnya menjadi subsidi bagi petani sawit, bukan malah dinikmati korporasi besar, pungutan ekspor dari perusahaan semestinya tidak kembali lagi ke perusahaan,” kata Andi.