Food Estate Terseok Hadapi El Nino 2023
Penulis : Aryo Bhawono
Deforestasi
Selasa, 03 Oktober 2023
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Angka realisasi impor 2023 dan kenaikan harga beras menjadi ironi program food estate. Klaim keberhasilan pemerintah atas food estate selama ini pun dianggap isapan jempol belaka.
Dampak buruk El Nino telah mengganggu ketahanan pangan di Indonesia. Harga beras kian menanjak naik. Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) menyebutkan harga rata-rata beras kualitas bawah I pada Senin (2/10) ini bertengger di Rp13.300 per kg. Harga ini naik Rp100 dari akhir pekan lalu.
Kemudian, harga beras kualitas bawah II naik Rp 50 menjadi Rp13.050 per kg. Selanjutnya, harga beras kualitas medium I naik Rp 100 menjadi Rp14.450 per kg.
Adapun harga beras kualitas medium II naik Rp50 menjadi Rp14.250 per kg. Sementara, harga beras kualitas super I dan II masing-masing naik Rp100 menjadi Rp15.800 dan Rp15.200 per kg.
Sementara itu per Agustus lalu, realisasi impor beras Bulog mencapai 1,6 juta ton dari total penugasan 2,3 juta ton. Sebanyak 300 ribu ton dari sisa penugasan 2022 dan dua juta ton dari penugasan 2023.
Juru Kampanye Pantau Gambut, Abil Salsabila, beranggapan angka impor dan kenaikan harga beras ini menjadi ironi klaim pemerintah atas program food estate.
“Kebijakan pemerintah terkait rencana impor 2 juta ton beras ini jelas bertolak belakang dengan jaminan kedaulatan pangan oleh negara,” ucap dia.
Sejak 2020 lalu Presiden Joko Widodo menetapkan tiga lokasi pengembangan food estate, yakni di Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, dan Papua. Pemerintah menetapkan lahan seluas 770.601 hektare kawasan eks- PLG (Pengembangan Lahan Gambut) sebagai wilayah pengembangan food estate di dua kabupaten, Pulang Pisau dan Kapuas.
Laporan Pantau Gambut berjudul ‘Jilid 2: Proyek Food Estate Kalimantan Tengah Setelah 2 Tahun Berlalu’ memaparkan kegagalan proyek ketahanan pangan itu. Kegagalan panen singkong dan dan sawah terbengkalai justru nampak di Kabupaten Gunung Mas, Pulang Pisau, dan Kapuas.
Abil menyebutkan pelaksanaan program ini kerap menerabas batasan daya dukung lingkungan. Pantau Gambut mencatat misalnya ada deforestasi seluas 700 hektare di Desa Tewai Baru, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Alhasil pembukaan lahan food estate justru membuat ekosistem gambut menjadi berisiko kian terdegradasi.
Juru Kampanye Greenpeace Indonesia, Rio Rompas, menyebutkan kegagalan food estate terjadi di wilayah yang dikelola Kementerian Pertahanan. Lahan singkong seluas 31.719 hektare menimbulkan gesekan antara pemerintah dan masyarakat adat Dayak.
Kementerian Pertahanan sendiri, menurut catatan Greenpeace Indonesia, membuka 760 hektare hutan pada 14 November 2020. Pembukaan lahan itu tanpa penilaian lingkungan.
Kegagaln tak hanya terjadi di Gunung Mas, beberapa daerah lain juga mengalami kegagalan. “Program ini tidak melalui basis penelitian dan tergesa-gesa. Hasilnya justru merusak,” ucap dia.