Di Indonesia, Menolak Tambang adalah Perbuatan Ilegal

Penulis : Wahyu Eka Styawan - Direktur Eksekutif Daerah Walhi Jawa Timur

Opini

Kamis, 05 Oktober 2023

Editor :

PADA 26 September 2015 silam, Pak Salim Kancil menikmati pagi bersama cucunya di Desa Selok Awar-Awar, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Kegiatan itu biasanya disebut sebagai “momong” atau menemani anak kecil bermain, bisa juga saat belajar.

Tapi pagi syahdu itu dirusak oleh segerombolan orang gagah-gagahan yang berkonvoi mendekat ke rumahnya. Pak Salim membawa cucunya masuk ke dalam rumah, lalu bergegas ke depan untuk menemui para tamu yang tak diundang.

Para tamu tak diundang tersebut lalu menarik Pak Salim dan mengeroyoknya tanpa ampun, sampai diseret menggunakan motor bak bukan makhluk hidup. Hantaman demi hantaman membuat sekujur tubuh Pak Salim luka memar, sampai akhirnya tak mampu menahan rasa sakit dan menghembuskan nafas terakhirnya.

Kejadian itu tidak hanya dialami oleh Pak Salim, tetapi juga sahabatnya Pak Tosan. Tapi Pak Tosan masih beruntung lolos dari maut meski harus mendapatkan perawatan intensif karena luka parah.

Poster gerakan perlawanan masyarakat terhadap pembunuhan Salim Kancil, warga desa yang menolak penambangan pasir ilegal di Pantai Watu Pecak di Pantai Watu Pecak di Desa Selok Awar-awar, Kecamatan Pasirian, Lumajang, Jawa Timur. Foto: Istimewa

Peristiwa yang dialami oleh Pak Salim Kancil dan Pak Tosan memberikan luka traumatis bagi yang melihatnya, tak terkecuali keluarga. Tidak hanya keluarga, penduduk di sekitar mereka tinggal juga ketakutan ketika mengetahui peristiwa jahanam tersebut.

Segerombolan orang tersebut adalah preman-preman sewaan Kepala Desa Selok Awar-Awar saat itu. Mereka dikerahkan untuk memberikan efek jera bagi mereka para pembangkang yang menghalangi kehendak kepala desa.

Saat itu kepala desa memang menjadi aktor utama yang sangat menginginkan adanya tambang pasir besi di kampungnya. Di balik kepala desa, ada pengusaha tambang besar yang akan melakukan eksploitasi di sepanjang pesisir selatan Lumajang, termasuk di Desa Selok Awar-Awar.

Perusahaan bernama PT Indo Modern Mining Sejahtera (IMMS) tersebut telah mendapatkan penetapan wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) seluas 8.350 hektare di pesisir selatan, meliputi Desa Selok Awar-Awar dan Desa Wotgalih, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang.

Perusahaan ini dikuasai oleh pengusaha luar negeri asal China yang bermukim di Hongkong bernama Lam Chong San dan ditengarai ada keterlibatan stakeholder Kabupaten Lumajang saat itu. Termasuk menyeret nama Bupati Sjahrazad Masdar yang bertanggung jawab memberikan izin pertambangan pada September 2013.

Proses pemberian izin tersebut bermasalah, karena bertabrakan dengan aturan tata ruang serta aturan perlindungan sempadan pantai serta proses izin lingkungannya bermasalah dan tidak pernah melibatkan warga sekitar.

Saat izin tambang muncul dan mengklaim hampir sepanjang pesisir selatan Lumajang hingga ke arah Jember, ada hampir 1000 hektare lebih pertanian yang terancam, lalu tambak tradisional, perkampungan dan tentu ekosistem pesisir termasuk gumuk-gumuk pasir.

Karena tak ingin lahan pertanian hancur, pesisir rusak, nelayan kehilangan pekerjaan dan aneka kerusakan lainnya, Pak Salim kancil bersama 12 orang temannya membentuk organisasi bernama Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Desa Selok Awar-Awar untuk menyuarakan penolakan terhadap pertambangan.

Suara penolakan tersebut dari hari ke hari semakin kencang, dan membuat pengusaha resah. Sampai akhirnya menggunakan kekuatan orang kuat lokal di Lumajang untuk membungkam suara warga yang menolak.

Dari menggunakan jejaring politik yang terafiliasi dengan bupati, sampai terhubung dengan Kepala Desa Selok Awar-Awar beserta preman-premannya untuk menghentikan penolakan. Meski diancam, diintimidasi dan diteror, Pak Salim Kancil tetap tidak bergeming, sampai akhirnya pihak-pihak tambang menghilangkan nyawanya sebagai jalan terakhir menghentikan suara penolakan tambang.

Apa yang dialami oleh Pak Salim Kancil dan teman-temannya bukanlah hal baru, serta tidak serta-merta terhenti hanya karena viral lalu jadi perhatian publik. Sebelumnya kasus kekerasan bahkan sampai penghilangan nyawa kerap dihadapi oleh mereka yang menyuarakan kerusakan lingkungan atau menolak pertambangan.

Tidak cukup di situ banyak di antaranya mengalami intimidasi, teror bahkan kriminalisasi. Di Jawa Timur kasus pembungkaman suara-suara penolakan tambang sering disambut oleh aneka gangguan, dari ancaman jeruji besi sampai hilangnya nyawa.

Cerita Nahas Penolakan Tambang Selain Salim Kancil

Bukan hanya Pak Salim Kancil dan teman-temannya saja yang dibungkam. Pada 2016 tidak jauh dari Desa Selok Awar-Awar, tepatnya di Desa Paseban, Kecamatan Kencong, Kabupaten Jember, yang berbatasan dengan Kabupaten Lumajang, warga yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Peduli Lingkungan (AMPEL) Paseban juga melakukan protes besar untuk menolak tambang pasir besi yang akan dilakukan oleh PT Agtika Dwi Sejahtera.

Perusahaan tambang tersebut akan mencaplok sekitar 469,80 hektare lahan yang sebagian besar kawasan pertanian dan pesisir. Izin tambang tersebut berjenis Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi yang diterbitkan pada 2013 dan berakhir pada akhir 2023 ini. Selama penolakan warga Paseban mengalami tindak ancaman hingga intimidasi, serta puncaknya upaya kriminalisasi terhadap 7 orang warga penolak tambang.

Selang 2 tahun dari peristiwa penolakan di Paseban, Kencong, Jember, pesisir selatan Jawa kembali bergemuruh kala perusahaan tambang emas di Banyuwangi berdiri. Tambang tersebut dikuasai perusahaan raksasa bernama Merdeka Copper Gold Tbk yang terbagi menjadi dua perusahaan yakni PT Bumi Suksesindo dengan IUP operasi produksi seluas 4.998 hektare dan PT Damai Suksesindo dengan IUP eksplorasi seluas 6.558,46 hektare.

Sebelum bernama Merdeka Copper Gold Tbk, perusahaan tersebut bernama PT Indo Multi Niaga (IMN) yang pada periode 2008-2010 ditolak oleh seluruh elemen masyarakat Banyuwangi, meski akhirnya pada 2012 mendapatkan izin dari Bupati Banyuwangi, yang kala itu dijabat oleh Abdullah Azwar Anas.

Kemunculan Merdeka Copper Gold Tbk. memantik penolakan warga dari Desa Sumberagung yang berada di dekat konsesi tambang. Mereka melakukan aksi setiap waktu dengan intensitas yang kencang.

Sampai akhirnya pada 2015 terjadi gaduh di tapak tambang. Warga marah karena suara mereka diabaikan, mereka melakukan aksi dan membakar tapak tambang, 2 orang warga dijadikan tersangka dan yang lainnya diburu, ditakuti dan diancam. Sehingga pada tahun tersebut desa menjadi mencekam, suara penolakan tak didengarkan, mereka ditekan untuk dipaksa menerima tambang.

Penolakan tidak juga surut, warga Desa Sumberagung tetap melakukan aksi protes pada 2017. Aksi besar kembali dilakukan, sampai akhirnya kriminalisasi kembali terjadi. Kali ini menimpa 4 warga, satu di antaranya divonis bersalah atas tuduhan menyebarkan komunisme. Orang nahas tersebut bernama Budi Pego, seorang petani buah naga dan alumni migran di Saudi Arabia yang secara kasar dituduh menyebarkan komunisme, padahal ia tak tahu apa itu yang dituduhkan.

Meski bukti lemah, Budi tetap divonis bersalah. Pada 2023 ini Budi kembali ditahan atas kasus tersebut, setelah dijatuhi hukuman 1 tahun penjara di tingkat Pengadilan Negeri Banyuwangi, lalu banding di Pengadilan Tinggi Jawa Timur tetapi ditolak, puncaknya saat kasasi di Mahkamah Agung (MA) justru hukumannya ditambah menjadi 4 tahun.

Setelah kasasi tidak ada kabar, Budi Pego bebas tetapi penuh ketidakpastian sebab pasca putusan MA belum eksekusi. Setelah 4 tahun pasca kasasi yang tidak adil tersebut, Budi Pego dijemput paksa saat Ramadhan lalu dan harus kembali mengisi dinginnya ruang tahanan.

Masih di Banyuwangi, pada 2019 penolakan tambang galian batuan ilegal di Desa Barurejo, Kecamatan Genteng juga diwarnai aneka peristiwa kekerasan dan intimidasi. Warga yang menolak meski sudah melaporkan berkali-kali cenderung minim respons, malahan tambang ilegal melalui preman bayaran mencoba mengintimidasi warga yang bersuara mengenai kerusakan lingkungan akibat tambang ilegal tersebut.

Pada 2021 tiga warga Desa Alasbuluh yang menyuarakan kerusakan tambang di desanya, harus mengalami perlakuan tidak mengenakan. Mereka dilaporkan oleh perusahaan bernama PT Rolas Nusantara Tambang dengan menggunakan Pasal 162 Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba).

Ketiga warga tersebut kemudian ditahan lalu diadili di Pengadilan Negeri Banyuwangi kemudian dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman 3 bulan penjara. Mereka kemudian melakukan banding di Pengadilan Tinggi Jawa Timur tetapi ditolak, lalu mengajukan kasasi ke MA dan diputuskan tidak bersalah.

Peristiwa kriminalisasi oleh perusahaan dengan menggunakan Pasal 162 ketika ada yang protes dampak tambang batuan, pada 2023 ini kembali terulang, tiga warga Desa Sumuragung, Kecamatan Baureno, Kabupaten Bojonegoro dilaporkan dan kini tengah menghadapi persidangan atas kasus protes dampak tambang.

Menolak Tambang Itu Ilegal di Indonesia

Menutup cerita-cerita suram seputar penolakan tambang di Jawa Timur, serta masih maraknya kriminalisasi, intimidasi, kekerasan, ancaman dan hilangnya nyawa warga negara yang menyuarakan pertambangan menandakan bahwa suara bahkan nyawa warga negara tidak berharga dibandingkan dengan investasi pertambangan.

Kecenderungan ini dapat dilihat dari aneka potret yang tersaji, bahwa menyuarakan penolakan terhadap pertambangan merupakan sesuatu yang ilegal atau dilarang. Dari puluhan kasus yang menimpa warga penolak pertambangan, hanya satu atau dua yang lolos dari jerat kriminalisasi, sisanya selalu berakhir dengan vonis bersalah.

Suara-suara warga di tapak yang menyuarakan pertambangan selalu diabaikan dan dianggap ancaman. Mereka terus menerus mengalami gangguan ketika bersuara. Negara melalui pengurusnya justru menunjukkan keberpihakan pada perusahaan dan investasi pertambangan.

Ini dapat dilihat dari munculnya revisi Undang-Undang Minerba yang mengistimewakan perusahaan, serta mengerdilkan partisipasi warga terdampak bahkan terus merawat cerita horor penolakan melalui Pasal 162 yang sering dijadikan bahan untuk membungkam suara warga melalui kriminalisasi.

Tidak cukup di situ beberapa tapak tambang secara banal ditetapkan sebagai Objek Strategis Nasional (Obvitnas) yang menambah catatan betapa pertambangan mendapatkan imunitas dan hak istimewa. Sementara warga yang wilayahnya ditambang setiap hari harus was-was, bersuara dibungkam, berdiam diri dikoyak-koyak dampak pertambangan.

Kondisi ini semakin diperparah dengan keberadaan Undang-Undang Cipta Kerja yang semakin mematikan Undang-Undang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup, memantik perubahan masif tata ruang untuk pertambangan serta mendorong permudahan izin dengan mengerdilkan amdal, sampai membatasi partisipasi dengan diciutkan bahwa yang terlibat dalam persetujuan dan yang dapat protes hanya warga terdampak langsung.

Serangkaian instrumen ini telah menunjukkan belum ada komitmen serius menjalankan mandat konstitusi, justru yang ada adalah pelanggaran konstitusi dengan dalih investasi dan kepentingan negara.

Cerita nahas yang dialami oleh Salim Kancil, Budi Pego, dan korban-korban tambang lainnya akan terus berulang, menambah catatan kelam pelanggaran hak asasi manusia di sektor lingkungan hidup. Kasus perampasan hak, pembungkaman, kriminalisasi sampai hilangnya nyawa orang akan terus berlanjut, selama instrumen kebijakan dan aturan masih bermuatan ‘mengilegalkan’ protes warga negara atas haknya yang terampas.