Pembela Warga Adat: Setop Kriminalisasi Warga Poco Leok

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Agraria

Jumat, 06 Oktober 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) meminta upaya kriminalisasi terhadap masyarakat adat Poco Leok, yang menolak proyek perluasan geothermal, di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT), disetop atau dihentikan. Warga Poco Leok bingung, mengapa menyuarakan pendapat dan mempertahankan wilayah adat dianggap sebagai perbuatan kriminal.

Dalam keterangan resminya, PPMAN mengungkapkan, sebanyak tujuh masyarakat adat Poco Leok, mendapat pemanggilan klarifikasi di Kepolisian Resor Manggarai. Pemanggilan warga tersebut diduga dilatarbelakangi oleh aktivitas warga Poco Leok yang menolak adanya pembangunan pembangkit listrik Geothermal (PLTP Ulumbu) di wilayah adat mereka. Sejauh ini tercatat 19 kali warga Poco Leok aksi penolakan terhadap proyek geothermal tersebut.

Alasan kepolisian melayangkan surat undangan klarifikasi kepada ketujuh warga adat Poco Leok, menurut PPMAN, karena adanya laporan informasi Nomor: Li-R/14/IX/Res.5.2/2023/Reskrim tertanggal 27 September 2023. Di hari yang sama keluar pula Surat Perintah Penyelidikan Sp.Lidik/339/IX/2023/Sat Reskrim.

“Surat pemanggilan yang berkedok undangan wawancara/klarifikasi oleh pihak Kepolisian Resor Manggarai terindikasi merupakan skenario penekanan terhadap penolakan masyarakat adat Poco Leok, dengan kata lain, pola lama dan sering digunakan penguasa membungkam suara rakyat tertindas,” ungkap Syamsul Alam Agus, Ketua Badan Pengurus PPMAN, Rabu (4/10/2023).

Aksi damai penolakan proyek pengembangan geothermal ke wilayah Poco Leok, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT), di depan Kantor PLN, Rabu (8/8/2023 kemarin. Foto: Jatam.

Syamsul mengatakan, tujuh warga masyarakat adat Poco Leok yang dipanggil pihak Polres Manggarai itu telah menghubungi PPMAN untuk mendapatkan nasehat hukum dan pendampingan hukum. Sebab masyarakat merasa bingung, mengapa aktivitas menyuarakan pendapat dan mempertahankan wilayah adat dianggap sebagai perbuatan kriminal.

“Siapa yang tidak kecewa, marah bahkan melawan ketika tanah adatnya terancam hilang? Komunitas Masyarkat adat hanya mempertahankan apa yang menjadi hak mereka sesuai konstitusi. Negara sepatutnya mengedepankan dialog intensif bukan malah menekan warga dengan cara-cara seperti melakukan pemanggilan,” ujar Syamsul.

Ketujuh warga adat Poco Leok yang dipanggil itu, kata Syamsul, terancam mendapatkan kriminalisasi menggunakan Pasal 46 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi sebagaimana telah diubah dengan Pasal 73 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang dan atau Pasal 212 KUHP yang mengatur tentang kekerasan terhadap pejabat dengan ancaman penjara 1 tahun 4 bulan.

“Meniadakan dialog, mengerahkan pasukan, kemudian terjadi kekerasan di lapangan lalu masyarakat dikriminalisasi, adalah pola yang biasa terjadi ketika negara dalam hal ini penguasa lebih berpihak kepada uang daripada warganya sendiri,” ucap Syamsul.

Syamsul melanjutkan, PPMAN mendesak pemerintah dan kepolisian segera menghentikan pemanggilan kepada warga adat Poco Leok dan lebih mengutamakan proses dialog yang mengedepankan prinsip-prinsip kesetaraan, keterbukaan dan pemahaman atas isu masyarakat adat. PPMAN, katanya, melihat praktek lapangan pelaksanaan proyek strategis nasional (PSN) sering berujung pada represivitas dan perampasan ruang hidup masyarakat, sebagaimana yang terjadi di beberapa wilayah program PSN.

“Dalam prakteknya, PSN kerap bermasalah dan melahirkan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Ambil contoh kasus Waduk Lambo di Rendu Botowe dan kasus Rempang Eco City Batam. Hari ini di Poco Leok. Pemerintah seolah-olah tidak belajar dari pengalaman-pengalaman tersebut. Kami harap segera hentikan upaya-upaya pembungkaman terhadap rakyat, agar kita dapat disebut beradab,” ujarnya

Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu yang menyasar wilayah adat Poco Leok, Manggarai, NTT, bermula dari penetapan Menteri ESDM di 2017 atas wilayah Flores sebagai Pulau Panas Bumi.

Penetapan tersebut termuat di dalam SK Menteri ESDM No.2268 K/MEM/2017. Kemudian, melihat potensi wilayah, PT PLN sebagai pemilik PLTP Ulumbu berniat mengembangkan kapasitas dari 7,5 MW menjadi 40 MW. Terpilih wilayah Poco Leok yang terdiri dari 14 Kampung adat di 3 Desa.

Perluasan proyek panas bumi PLTP Ulumbu ini berdasarkan pada SK Nomor HK/417/2022 tentang Penetapan Lokasi Perluasan PLTP Unit 5-6 di Poco Leok yang diteken Bupati Manggarai. Poco Leok juga telah ditetapkan sebagai bagian dari PSN, dan didanai oleh Bank Pembangunan Jerman Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW) melalui PT PLN (Persero).

Terdapat 60 titik rencana pemboran yang dapat berakibat pada kerusakan lingkungan serta hilangnya ruang hidup masyarakat adat Poco Leok. Masalah terjadi ketika proyek tersebut tidak melibatkan partisipasi dan pendapat warga adat Poco Leok. Pemerintah tidak mengakui adanya masyarakat adat Poco Leok.