Kriminalisasi Petani Bidar Alam LBH Padang Ajukan Pra Peradilan

Penulis : Gilang Helindro

Hukum

Minggu, 08 Oktober 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Pasca dugaan kriminalisasi terhadap enam petani Bidar Alam, LBH Padang ajukan Pra Peradilan ke Pengadilan Negeri Kelas II Koto Baru. LBH Padang mengajukan praperadilan guna menjamin perlindungan hak asasi para petani Bidar Alam. 

Enam masyarakat Bidar Alam ditetapkan sebagai Tersangka dan juga telah dilakukan upaya paksa berupa penangkapan dan penahanan dalam kasus dugaan pencurian sesuai dengan Laporan Polisi Nomor: LP/168/IX/2020/SPKT-POLRES tanggal 14 September 2020.

Adrizal selaku penanggung jawab isu Fair Trial sekaligus Advokat Publik LBH Padang berpandangan dalam konflik yang terjadi antara masyarakat Bidar Alam dan Ranah Pantai Cermin dengan Perusahaan Ranah Andalas Plantation (PT RAP) memiliki hubungan keperdataan.

Hal ini dibuktikan dengan adanya perjanjian kedua belah pihak maka disini berlakulah asas hukum asas Pacta Sunt Servanda yang artinya perjanjian menjadi undang-undang bagi yang membuatnya sehingga sejak 2017 tanah tersebut sudah dikembalikan ke pemilik lahan kembali sebagaimana perjanjian dibuat. “Dalam kasus ini, tempus delicti adalah 14 September 2021 sehingga tidak berdasarkan hukum,” katanya dalam keterangan resminya.

LBH Padang mengajukan praperadilan guna menjamin perlindungan hak asasi 6 petani Bidar Alam. Foto: LBH Padang

Adrizal menjelaskan, dalam proses penegakan hukum yang dilakukan oleh penyidik Polres Solok Selatan, LBH Padang menduga adanya ketidak profesionalan proses penegakan hukum tanpa mempertimbangkan permasalahan yang terjadi baik itu yang berkaitan dengan keperdataan maupun dengan banyaknya pelanggaran yang dilakukan oleh PT RAP.

“Dan menetapkan 6 orang petani bidar alam yang ditipu perusahaan menjadi tersangka  yang saat ini sedang berjuang  untuk memulihkan haknya sendiri merupakan bentuk kriminalisasi yang dilakukan oleh Kepolisian Resor Solok Selatan,” kata Adrizal. 

Menurut Adrizal, alasan LBH Padang dalam pengajuan praperadilan ini terdiri dari tiga hal.

Pertama, Surat Perintah Penyidikan yang dikeluarkan Kepolisian Resor Solok Selatan Nomor SP Sidik/36/Res.1.8/X/2021/Reskrim tanggal 13 Oktober 2021 telah lewat waktu 7 hari. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, batas waktu penyerahan SPDP pada Tersangka adalah 7 hari sehingga batas waktu seharusnya  pada tanggal 20 Oktober 2021. Sedangkan masyarakat menerima SPDP, 11 Agustus 2023 berjarak hampir dua tahun dari surat perintah penyidikan. 

Padahal kata Adrizal, berdasarkan Pasal 14 ayat (1) Perkap Nomor 6 Tahun 2019 berbunyi SPDP sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (3) dikirimkan kepada penuntut umum, pelapor, korban dan terlapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah diterbitkan Surat Perintah Penyidikan. 

“Namun tiba-tiba kepolisian menggunakan terminologi Surat Perintah Penyidikan Lanjutan yang ada dalam perkara ini tidak  dikenal di dalam KUHAP maupun dalam PERKAP 6 tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana sehingga bisa di simpulkan surat yang dikeluarkan oleh Kepolisian Resor Solok Selatan tanpa adanya dasar hukum yang jelas,” katanya. 

Kedua, proses penangkapan dan penahanan berjalan berbarengan tidak sesuai dengan yang diatur oleh KUHAP. Hal ini memperlihatkan ketergesaan yang tidak sesuai dengan prosedur hukum.

Ketiga, saat ini, 4 orang petani yang ditahan sedang mengajukan gugatan perdata terhadap PT RAP yang melakukan wanprestasi terhadap mereka untuk memberikan uang bagi hasil kebun sawit yang tak pernah diberikan. Hal ini mengindikasikan kasus ini merupakan hukum perdata dan kita patut heran kepolisian menaikkan proses pidananya. 

“Padahal masyarakat sudah ditipu perusahaan lalu kenapa dikriminalisasi oleh kepolisian?” katanya bertanya.