Koalisi Wali Lingkungan: Pemerintah Jangan Cuma Revisi UU KSDAHE

Penulis : Gilang Helindro

Lingkungan

Selasa, 10 Oktober 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Wali Lingkungan yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Paradigma Baru Konservasi dalam keterangan resminya mendesak KLHK dan DPR RI agar tidak sekadar merevisi UU 5 Tahun 1990 tentang KSDAHE.

Anggi Putra Prayoga, Manajer Kampanye dan Intervensi Kebijakan Forest Watch Indonesia (FWI) mengatakan, Rancangan Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (RUU KSDAHE) yang tengah dibahas oleh Komisi IV DPR, KLHK, dan Komite II DPD RI harus ditempatkan sebagai titik pijak perubahan transformatif dalam penyelenggaraan dan paradigma konservasi yang inklusif di negeri ini.

Menurut Anggi, perubahan transformatif dan pendekatan inklusif ini sangat penting mengingat UU 5/1990 yang dibuat 33 tahun lalu tersebut tak lagi relevan dengan tantangan-tantangan konservasi sumber daya alam dan hayati Indonesia saat ini dan mendatang. UU tersebut juga belum cukup mendukung pelibatan dan perlindungan masyarakat dalam konservasi sumber daya alam yang sangat dibutuhkan. 

“Jika berkaca pada potret kejadian kerusakan sumberdaya alam dan ekosistemnya, termasuk ekosistem mangrove, ekosistem karst, ekosistem gambut, dan ekosistem wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil nilainya mencapai 10,12 juta hektare dalam bentuk deforestasi hutan alam,” katanya Minggu, 8 Oktober 2023.

Hutan Lindung dekat Desa Nyaribungan Kecamatan Lahan Kabupaten Mahakam Hulu, Kalimantan Timur. (Dokumentasi Yayasan Auriga)

Anggi menekankan bahwa mandat konservasi sebagaimana yang tertuang di dalam UU 5/90 masih konvensional dengan memaknai upaya konservasi dengan pembagian kawasan, bukan berdasarkan fungsinya. Pihaknya menilai, kerusakan sumber daya alam yang terjadi di luar kawasan konservasi capai 90 persen dan itu selalu dinilai wajar untuk dirusak. Padahal kata Anggi, terdapat 76 juta hektare areal penting untuk dikonservasi yang saat ini berada di luar status Kawasan Konservasi atau Kawasan Ekosistem Esensial. 

“Termasuk ekosistem mangrove, gambut, karst, areal bernilai konservasi tinggi, koridor satwa, dan taman keanekaragaman hayati yang terancam hilang. Pendekatan pada UU No.5/90 juga keliru karena masih menyamakan pengelolaan pulau-pulau kecil dengan pulau besar dan pulau utamanya, dan ini bias” kata Anggi.

Satriya Putra, Koordinator Hukum Garda Animalia menyebut, yang menjadi sorotan penting pada pembaharuan UU Nomor 5 Tahun 1990 adalah ketentuan pidana dan penegakan hukum di bidang konservasi. Soalnya RUU KSDAHE ini memberikan penguatan dengan menyesuaikan ketentuan-ketentuan hukum pidana yang ada saat ini.

“Hal ini dapat dilihat dari diadakannya frasa untuk membuat efek jera, penambahan alat bukti, perluasan wewenang PPNS, menjadikan korporasi sebagai subjek hukum yang dapat dipidana,” katanya.

Namun, proses penyusunan RUU KSDAHE sampai sejauh ini dinilai tertutup dan tidak bisa mengakomodir masukan para pihak. Setidaknya terdapat 718 Daftar Inventaris Masalah (DIM) yang harus segera dibahas. Menurut Satriya, rapat pembahasan RUU KSDAHE yang dilakukan secara tertutup oleh Panitia Kerja (Panja) jelas mencederai semangat demokrasi. Menurutnya, Panja telah menutup peluang keterbukaan dan keterlibatan publik dalam pembahasan RUU.

“Rangkaian proses sebelumnya, di mana publik masih dilibatkan oleh legislatif rupanya dimaknai sebagai partisipasi sekadarnya. Risalah, Catatan Rapat, dan Laporan Singkat mengenai kondisi DIM terakhir seharusnya dibuka ke publik dan mudah diakses,” ungkap Satriya.