Krisis Iklim: Kerugian $16 Juta Per Jam Akibat Cuaca Ekstrem
Penulis : Kennial Laia
Perubahan Iklim
Kamis, 12 Oktober 2023
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Kerusakan yang disebabkan oleh krisis iklim akibat cuaca ekstrem telah menyebabkan kerugian sebesar $16 juta per jam selama 20 tahun terakhir. Hal ini terungkap dalam studi pertama yang menghitung angka global peningkatan biaya yang secara langsung disebabkan oleh pemanasan global aktivitas aktivitas manusia.
Badai, banjir, gelombang panas, dan kekeringan telah merenggut banyak nyawa dan menghancurkan banyak properti dalam beberapa dekade terakhir, dan pemanasan global membuat kejadian tersebut semakin sering dan intens.
Laporan tersebut menemukan biaya rata-rata krisis iklim sebesar $140 miliar per tahun dari tahun 2000 hingga 2019, meskipun angkanya bervariasi secara signifikan dari tahun ke tahun. Data terbaru menunjukkan biaya sebesar $280 miliar pada 2022. Para peneliti mengatakan kurangnya data, terutama di negara-negara berpenghasilan rendah, menyebabkan angka tersebut kemungkinan besar konservatif. Biaya iklim tambahan, seperti penurunan hasil panen dan kenaikan permukaan laut, juga tidak dimasukkan.
Untuk mendapatkan estimasi ini, para peneliti menggabungkan data terkait seberapa besar pemanasan global memperburuk peristiwa cuaca ekstrem dengan data kerugian ekonomi. Studi tersebut juga menemukan bahwa jumlah orang yang terkena dampak cuaca ekstrem akibat krisis iklim adalah 1,2 miliar orang selama dua dekade.
Dua pertiga dari biaya kerusakan disebabkan oleh hilangnya nyawa, sedangkan sepertiganya disebabkan oleh hancurnya harta benda dan aset lainnya. Badai, seperti Badai Harvey di Amerika Serikat (AS) dan Topan Nargis di Burma, bertanggung jawab atas dua pertiga dampak iklim, dimana 16% disebabkan oleh gelombang panas dan 10% disebabkan oleh banjir dan kekeringan.
Para peneliti mengatakan metode mereka dapat digunakan untuk menghitung berapa banyak dana yang diperlukan untuk mengkompensasi kerugian dan kerusakan (loss and damage) yang ditetapkan pada pertemuan puncak iklim PBB pada tahun 2022, yang dimaksudkan untuk membiayai pemulihan dari bencana cuaca ekstrem di negara-negara miskin. Hal ini juga dapat dengan cepat menentukan dampak iklim spesifik dari masing-masing bencana, sehingga memungkinkan penyaluran dana lebih cepat.
“Jumlah totalnya adalah $140 miliar per tahun. Ini merupakan angka yang besar,” kata Ilan Noy, profesor dari Victoria University of Wellington di Selandia Baru, yang melakukan penelitian bersama rekannya Rebecca Newman.
“Kemudian, jika Anda membandingkannya dengan kuantifikasi standar biaya perubahan iklim [menggunakan model komputer], nampaknya kuantifikasi tersebut meremehkan dampak perubahan iklim,” kata Noy.
Menurut Noy, ada banyak peristiwa cuaca ekstrem yang tidak memiliki data mengenai jumlah orang yang terbunuh atau kerusakan ekonomi. “Ini menunjukkan bahwa angka utama kami sebesar $140 miliar adalah pernyataan yang terlalu konservatif.”
Sebagai contoh, kata Noy, data kematian akibat gelombang panas hanya tersedia di Eropa. “Kami tidak tahu berapa banyak orang yang meninggal akibat gelombang panas di seluruh Afrika sub-Sahara.”
Penelitian yang dipublikasikan di jurnal Nature Communications ini mengambil pendekatan berbeda berdasarkan bagaimana perubahan iklim memperburuk kejadian cuaca ekstrem. Ratusan studi “atribusi” telah dilakukan, menghitung seberapa sering pemanasan global menyebabkan peristiwa cuaca ekstrem. Hal ini memungkinkan untuk memperkirakan sebagian kecil kerusakan akibat pemanasan yang disebabkan oleh manusia.
Para peneliti menggunakan data ini pada kerusakan yang dicatat dalam Database Bencana Internasional, yang mengumpulkan data yang tersedia mengenai semua bencana yang menyebabkan 10 orang meninggal, atau 100 orang terkena dampaknya, atau negara tersebut menyatakan keadaan darurat atau meminta bantuan internasional.
Perkiraan utamanya adalah kerugian iklim rata-rata sebesar $140 miliar per tahun, dengan kisaran antara $60 miliar hingga $230 miliar. Perkiraan ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan model komputer, yang didasarkan pada perubahan rata-rata suhu global dan bukan pada suhu ekstrem yang semakin sering terjadi di dunia.
Tahun-tahun dengan dampak iklim tertinggi secara keseluruhan adalah tahun 2003, ketika gelombang panas melanda Eropa; 2008, ketika Topan Nargis melanda Myanmar; dan tahun 2010, ketika kekeringan melanda Somalia dan gelombang panas melanda Rusia. Kerusakan properti lebih tinggi pada tahun 2005 dan 2017 ketika badai melanda AS, dimana nilai properti sedang tinggi.
Analisis tersebut menggunakan nilai statistik korban jiwa sebesar $7 juta, yang merupakan rata-rata angka yang digunakan oleh pemerintah AS dan Inggris. “Banyak orang merasa tidak nyaman dengan gagasan bahwa kita memberi label harga pada sebuah kehidupan,” kata Noy. “Tetapi ini adalah praktik ekonomi yang sangat standar dan terjadi karena, pada akhirnya, kita perlu mengambil keputusan mengenai [nilai] investasi dalam berbagai hal.”
Pada KTT iklim PBB Cop27 pada tahun 2022, negara-negara sepakat untuk menyiapkan dana kerugian dan kerusakan untuk membantu negara-negara miskin membangun kembali pasca bencana terkait iklim. “Anda dapat menggunakan metodologi kami untuk mulai menghitung berapa banyak uang yang kami butuhkan dalam dana tersebut,” kata Noy.
Idealnya, kata Noy, studi atribusi cepat terhadap peristiwa cuaca ekstrem akan memperkirakan kerusakan terkait iklim dan menghasilkan pengiriman dana yang cepat: “Ini akan menjadi semacam skema asuransi bagi negara-negara terdampak.” Metodologi ini mungkin juga berguna untuk menentukan kerugian dalam gugatan hukum terkait perubahan iklim, katanya.