Was-Was Satgas EUDR Hanya Mengamankan Bisnis Korporasi Sawit
Penulis : Aryo Bhawono
Sawit
Jumat, 13 Oktober 2023
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Koalisi gerakan masyarakat sipil menyayangkan sikap tak transparan Joint Task Force (JTF) EU Deforestation-Free Regulation (EUDR). Mereka khawatir satuan tugas gabungan yang terdiri atas Indonesia, Malaysia, dan Uni Eropa ini hanya berpikir soal bisnis semata.
Pembentukan JTF EUDR Agustus lalu sebelumnya menjadi kabar gembira bagi koalisi gerakan masyarakat sipil. Satgas ini paling tidak dapat meningkatkan dialog keterlacakan dan transparansi rantai pasok pertanian, terutama sawit, yang berisiko menyebabkan deforestasi dan degradasi hutan seperti yang diatur di dalam EUDR. Namun saat berjalan, satgas ini justru tak menunjukkan semangat itu.
Pengampanye Kaoem Telapak, Olvy Tumbelaka, menyebutkan konsultasi pertama yang dilakukan oleh JTF pada 4 Agustus 2023, dilakukan secara tertutup dan tidak inklusif, yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar di dalam demokrasi. Sehingga tidak ada informasi yang cukup dan tersedia di publik yang dapat digunakan oleh para pemangku kepentingan rentan yang akan terdampak.
Mereka di antaranya adalah smallholders, buruh perkebunan, masyarakat adat dan komunitas lokal, serta kelompok pemantau independen untuk memastikan proses dan tahapan yang berlangsung di JTF tidak akan mendiskriminasi para pemangku kepentingan terdampak.
“Padahal kami harap kami bisa dilibatkan sehingga dalam proses dialog, semua pihak bisa terwakili, termasuk para pihak yang terdampak langsung dari kebijakan EUDR, serta perwakilan dari masyarakat sipil,” ucapnya dalam Media Briefing soal Joint Task Force EUDR Indonesia-Malaysia dan Uni Eropa di Jakarta.
Koalisi gerakan masyarakat sipil ini terdiri dari berbagai CSO, serikat petani sawit mandiri dan buruh perkebunan sawit, organisasi masyarakat adat dan komunitas lokal, perempuan dan pemuda.
Pada 4 Agustus lalu JTF EUDR melakukan kick-off meeting, dihadiri Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kemenko Perekonomian Musdhalifah Machmud, Sekretaris Jenderal Kementerian Perkebunan dan Komoditas (MPC) Malaysia YBhg. Dato' Mad Zaidi bin Mohd Karli, dan Direktur Diplomasi Hijau dan Multilateralisme Komisi Eropa (EC) Astrid Schomaker.
Koalisi memandang perumusan kesepakatan yang berdampak luas oleh satgas ini tanpa melibatkan seluruh pemangku kepentingan, termasuk para pemangku kepentingan rentan yang akan terdampak. "Hal ini hanya menyalahi prinsip demokrasi dan hak asasi tetapi juga bisa mempengaruhi kualitas pencapaian tujuan JTF terkait pelaksanaan EUDR," ujarnya.
Peneliti ECOSOC Institute, Sri Palupi, mengaku khawatir jangan-jangan JTF EUDR hanya berbicara soal bisnis saja. Padahal banyak masyarakat yang terdampak.
“Kecenderungannya di Indonesia saat ini, industri ini mendominasi kebijakan. Bahkan kepentingan masyarakat adat justru ditinggalkan,” ucap dia.
Manajer Advokasi dan Pengkampanye Pantau Gambut, Wahyu A Perdana, mengungkap deforestasi sawit di lahan gambut memiliki dampak yang besar, bukan hanya pada petani sawit tetapi juga masyarakat yang hidup di sekitar kawasan gambut. Ketika kawasan gambut dibuka, maka bencana akan menyusul di belakangnya.
“Kalau kemarau akan terdampak kebakaran hujan dan kalau hujan sudah pasti banjir. Nah, ini apakah sudah ada mitigasinya. Bagaimana menyusun mitigasi kalau masyarakat ini tidak dilibatkan,” keluhnya.
Program Manager Forum Petani Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (FORTASBI), Sendy de Soysa, mengungkap petani mandiri sangat terdampak oleh kebijakan EUDR. Ia menyebutkan selama ini para petani ini berkelompok dan mendapatkan pembiayaan untuk pendampingan dari beberapa negara Eropa. Namun ketika kebijakan EUDR diterapkan bantuan pembiayaan pendampingan dan pemasaran ini ikut dihentikan.
Selain itu distribusi dari petani ke pabrik kelapa sawit (PKS) selama ini sudah traceable. Namun di sisi lain justru pemerintah tidak mau terbuka soal HGU. Maka, ia menekankan perlunya pelibatan stakeholder, termasuk petani sangat penting.