Babirusa: Dagingnya Diburu Masyarakat, Habitatnya Diburu Korporat

Penulis : Riszki Is Hardianto dan Bagus Sugiarto - Peneliti Yayasan Auriga Nusantara

Opini

Selasa, 17 Oktober 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Alfred Russel Wallace pada pertengahan abad 19 mengeluarkan sebuah buku tentang flora dan fauna yang berjudul The Malay Archipelago: the land of orang-utan, and bird of paradise: a narative of travel, with studies of man and nature. Dari sana kemudian dikenallah istilah Wallace Hotspot.

Wallace Hotspot merupakan wilayah yang membentang dari Pulau Lombok dan Sulawesi di sebelah baratnya sampai kepulauan Maluku di timur. Di utara, Wallace membentang dari Kepulauan Talaud (Sulawesi Utara) hingga Kabupaten Rote Ndao di selatan. Batas-batas tersebut digambarkan dalam garis imajiner yang disebut Garis Wallacea (Wallacea Line).

Wilayah Wallace ini dihuni oleh berbagai jenis hewan dan tumbuhan campuran dari wilayah Asia dengan Australia dan Papua. Ada ratusan jenis burung, mamalia, primata, reptil, dan tumbuhan-tumbuhan di wilayah ini. Banyak jenis dari area Wallace ini adalah spesies endemik, atau dengan kata lain tidak akan ditemui di tempat lainnya dan hanya ada di lokasi itu saja, antara lain komodo, anoa, tarsius, dan babirusa.

Garis Wallace yang mencakup Pulau Sulawesi, Kepulauan Maluku, dan Nusa Tenggara

Babirusa, satwa endemik Sulawesi dilindungi, yang terus menjadi sasaran perburuan. Foto:Jean-Christophe Vie/IUCN Redlist.

Khusus satwa terakhir yang disebutkan di atas, babirusa, kondisinya kini cukup mengkhawatirkan. Perburuan dan penurunan kualitas habitat telah mendorong babirusa ke jurang kepunahan. Menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN), populasi babirusa kondisinya terus menurun dan statusnya rentan.

Kerentanan spesies ini membikin resah, sebab babirusa sudah berstatus dilindungi sejak 1931, dan Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) juga sudah memasukkan spesies ini ke dalam kategori Appendix 1 sejak 1982.

Secara nasional, jenis babirusa ini termasuk dalam jenis dilindungi sesuai Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999, sebagaimana lampirannya yang sudah mengalami revisi melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.106 Tahun 2018, yang menegaskan bahwa babirusa sebagai jenis yang dilindungi oleh negara.

Dahulu, ada 4 subspesies babirusa yang hidup di Sulawesi. Akan tetapi sekarang hanya tersisa 3 subspesies saja, karena 1 subspesies sudah dinyatakan punah. Satu subspesies yang sudah punah pada 1980 itu adalah babirusa yang ada di bagian selatan Pulau Sulawesi atau dikenal dengan nama Babyrousa babyrussa bolabatuensis.

Sedangkan 3 jenis babirusa yang masih tersisa yaitu babirusa sulawesi (Babyrousa celebensis) yang sebarannya berada di Pulau Sulawesi, babirusa togean (Babyrousa togeanensis) menyebar di beberapa pulau di Kepulauan Togean, dan babirusa maluku (Babyrousa babyrussa) yang populasinya teridentifikasi di Kepulauan Sula, yaitu Pulau Mangole dan Pulau Taliabu serta Pulau Buru.

Berdasarkan Dokumen Strategi Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Babirusa Tahun 2013-2022, populasi babirusa yang tersisa kini teridentifikasi berada di 13 kantong habitat prioritas. Kondisi populasi babirusa terbilang stabil, untuk konservasi babirusa di indonesia.

Peta habitat babirusa

Babirusa sudah mengalami penurunan populasi sebanyak 30 persen dalam kurun waktu 18 tahun terakhir (2018). Ukuran populasi sekarang hanya sekitar 10.000 individu dewasa, dan diperkirakan akan mengalami penurunan lebih dari 10 persen dalam 18 tahun mendatang. Penurunan populasi babirusa yang cukup tinggi ini dikarenakan oleh perburuan dan alih fungsi lahan yang menyebabkan habitatnya terdegradasi.

Spesies ini juga semakin terancam oleh penebangan komersial dan penggunaan lahan lain yang mengakibatkan konversi dan degradasi hutan. Total kehilangan hutan dataran rendah di pulau ini diperkirakan lebih dari 75 persen (IUCN Assesment-2016). Ancaman tambahan hadir dalam bentuk penambangan bijih besi prospektif, terutama di bagian barat laut semenanjung utara.

Dampak manusia

Tingginya konsumsi satwa liar di beberapa daerah di Sulawesi menyebabkan spesies dilindungi, termasuk babirusa, makin terdesak ke arah kepunahan. Di Sulawesi Utara misalnya, masih dijumpai babirusa yang diperdagangkan di pasar-pasar tradisional.

Kebiasaan masyarakat memakan daging babirusa ini masih dilakukan sampai sekarang. Bahkan ada kebiasaan untuk menyajikan hidangan berupa “daging unik”, seperti babirusa, untuk memeriahkan suasana saat perayaan hari-hari besar, seperti pernikahan.

Selain diburu untuk dimakan, di daerah yang lebih pesisir, beberapa babirusa sengaja dijebak untuk memasok gigi ke pedagang pembuatan topeng Bali.

Milner dan Clayton (2002) menyebutkan, pada 1988 para pemburu bisa mendapatkan babirusa hingga 15 individu per minggu. Lalu, pada 1997, pemburu hanya bisa menangkap 8 individu. Sedangkan pada 2009 pemburu babirusa hanya bisa menangkap 7 individu per minggunya (IUCN Assesment-2016).

Penurunan hasil buruan ini, menurut Milner dan Clayton, dipengaruhi oleh menurunnya populasi babirusa di alam. Penurunan populasi ini terjadi lantaran perburuan yang dilakukan terus menerus dengan dibarengi peningkatan jumlah pemburu. Pada 1993, tercatat ada 12 pemburu babirusa dan meningkat menjadi 30 pemburu pada 1996.

Saat ini, walaupun populasinya terus menurun, perburuan babirusa tetap ada, dan menjadi ancaman terbesar bagi kelestarian populasi spesies ini. Para pemburu, ketika kesulitan menangkap hasil buruan, akan memasang jerat yang lebih banyak pada suatu lokasi. Bila masih juga kesulitan memperoleh dengan cara itu, para pemburu akan berpindah ke lokasi yang lain, yang diduga masih banyak babirusanya.

Perburuan ini tak sebanding dengan sistem reproduksi babirusa. Babirusa diketahui hanya bisa menghasilkan 1-2 anak saja dalam 1 siklus hidupnya. Tak salah bila menyebut situasi yang dihadapi spesies ini kini sangat mengkhawatirkan

Sementara status lindung yang diharapkan bisa melindungi babirusa, sepertinya tak bertuah, belum mampu menghentikan perburuan. Bisa jadi itu disebabkan oleh lemahnya penegakan hukum.

Penuh pembangunan

Sulawesi, yang merupakan habitat alami babirusa, sudah kehilangan 2,07 juta hektare atau 10,98 persen wilayah berhutannya, dalam rentang waktu 2000-2017. Kehilangan tutupan hutan itu, sangat mungkin semakin besar saat ini, sebab selama satu dekade terakhir banyak perusahaan berbondong-bondong datang untuk mengeruk sumber daya alam dengan membabat hutan alam tersisa.

Selain pertambangan dan perkebunan, kawasan Wallace juga banyak dijadikan sebagai proyek strategis nasional (PSN) yang jumlahnya sudah puluhan, mulai dari bendungan, lapangan minyak, dan gas bumi. Hal ini tentu menjadi ancaman nyata bagi kekayaan keanekaragaman yang ada di wilayah tersebut.

Data menunjukkan, luas habitat babirusa mencapai lebih dari 15 juta hektare. Tapi hanya 1,6 juta hektare saja yang lokasinya berada di dalam kawasan konservasi, sedangkan 13,4 juta hektare lainnya berada di luar kawasan konservasi. Dari 13,4 juta hektare itu, 2,2 juta hektare di antaranya di areal konsesi, seperti Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) pada hutan alam dan industri, perkebunan sawit, tambang, dan lainnya.

Minimnya habitat di dalam kawasan konservasi ini membuat populasi babirusa menjadi sangat riskan. Taman Nasional (TN) Lore Lindu, yang merupakan kawasan konservasi, bahkan mengalami penurunan populasi babirusa yang cukup signifikan, yaitu sebesar 44 persen dari periode sebelumnya.

Pada 2019, tercatat hanya tersisa 41 individu babirusa yang ada di dalam TN Lore Lindu. Penulis bertanya-tanya, bila di kawasan konservasi penurunan populasi babi rusa sangat besar, bagaimana dengan populasi yang berada di luar kawasan konservasi? Tentu ini akan sangat mengkhawatirkan bagi upaya pelestarian babirusa.

Langkah selanjutnya upaya pelestarian

Seperti yang disampaikan sebelumnya, Indonesia sudah kehilangan 1 subspesies babirusa, yaitu Babyrousa babyrussa bolabatuensis--subspesies babirusa yang terdapat di bagian selatan Provinsi Sulawesi Selatan.

Sehingga penulis berharap, segala ancaman terhadap satwa endemik Sulawesi yang dipaparkan sebelumnya itu dapat dimitigasi. Agar laju kepunahan satwa endemik Sulawesi ini dapat direm, minimal populasi yang ada bisa dipertahankan, dengan tetap menjaga 13 habitat prioritasnya itu untuk dikonservasi.

Bicara tentang konservasi, penulis berpendapat, penting untuk melanjutkan SRAK Babirusa yang akan habis pada tahun ini. Tentu dengan disertai rencana aksi yang jelas dan terukur. Jangan sampai Indonesia kehilangan lagi sisa subspesies babirusa yang tersisa.

Mengingat sebagian besar habitat berada di luar kawasan konservasi, maka perubahan status habitat menjadi kawasan konservasi bisa jadi langkah awal pelestarian babirusa. Selain itu perlu juga untuk menyiapkan sejumlah hal, seperti manajemen pengelolaan dan kerja sama antara masyarakat lokal, pemerintah, dan sektor swasta, untuk benar-benar berhasil melindungi keragaman hayati yang ada.

Semua pihak, mulai dari pemerintah, ilmuwan, perusahaan tambang, perkebunan, pelaku pariwisata, hingga masyarakat adat, harus duduk bersama untuk menyusun rencana upaya perlindungan Wallace ke depannya, termasuk babirusa yang ada di dalamnya.

Sebab, selama jutaan tahun, makhluk-makhluk luar biasa telah berhasil bertahan berkembang biak, dan tetap ada sampai saat ini. Kita punya kewajiban moral untuk melindungi keajaiban yang ada di Wallace.