Walhi Kalteng: Food Estate Tak Sesuai Kondisi Kalteng
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Food Estate
Kamis, 19 Oktober 2023
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantang Tengah (Kalteng) menyatakan pemerintah harus menghentikan dan mengevaluasi proyek food estate di provinsi berjuluk Bumi Tambun Bungai. Proyek tersebut dinilai hanya sebagai solusi palsu, sebab tidak menjawab kebutuhan dan tantangan pemenuhan pangan masyarakat Kalteng.
Direktur Eksekutif Daerah Walhi Kalteng, Bayu Herinata mengatakan, proyek food estate justru hanya memperparah krisis ekologis, yang menjadi pemicu kebakaran hutan lahan dan bencana polusi asap, dan merusak ekosistem hutan dan gambut di Kalteng.
Bayu menerangkan, produksi beras pada 2022 untuk konsumsi pangan penduduk mencapai 204,29 ribu ton, mengalami penurunan sebanyak 22,14 ribu ton atau 9,78 persen dibandingkan produksi beras di 2021 yang sebesar 226,43 ton.
Cita-cita dan narasi ketahanan pangan oleh pemerintah melalaui program strategis nasional food estate tidak menjawab tantangan pangan bagi masyarakat khususnya masyarakat adat, terutama wilayah Kalteng. Alasannya, karena akar masalah ketahanan pangan di Kalteng adalah perlindungan dan pengakuan pemerintah terhadap lahan pertanian serta praktik pertanian yang dilakukan oleh petani peladang.
"Kondisi hari ini yang menjadi fakta di kampung-kampung adalah semakin banyak lahan pertanian produktif untuk pangan yang beralih fungsi menjadi lahan perkebunan atau lainnya, karena diberikan izin kepada investasi lahan skala luas," kata Bayu dalam keterangan resminya, dalam rangka peringatan Hari Pangan Sedunia, Senin (16/10/2023) kemarin.
Selain itu, Bayu melanjutkan, alih fungsi lahan pertanian juga terjadi karena pembatasan bahkan pelarangan praktek sistem pertanian lokal oleh aturan dan kebijakan pemerintah, hal ini menjadi tantangan utama masyarakat adat terkait pemenuhan dan ketahanan pangan di Kalteng.
Berdasarkan data Kementerian Pertanian 2020 tentang Statistik Lahan Pertanian Tahun 2015-2019, ujar Bayu, periode 2015-2017 terjadi penurunan luas lahan pertanian. Pada 2015 luas lahan untuk pertanian 17.185 hektare, lalu 2016 luas lahan menurun menjadi 15.085 hektare, dan di 2017 semakin menurun sampai 13.850 hektare.
Bayu menuturkan, alih-alih menjawab akar masalah ketahanan pangan, pemerintah malah datang dengan solusi palsu melalui pengembangan pangan food estate. Bayu menyatakan, sistem pertanian tersebut bertolak belakang dengan kondisi sosial dan lingkungan, khususnya di Kalteng.
"Fakta dan kondisi di lapangan, setelah tiga tahun berjalannya, food estate dapat disimpulkan gagal, dan semakin diperparah dengan rencana pengembangan food estate di lokasi-lokasi lainya yang akan semakin mengancam ekosistem hutan, gambut, dan lahan masyarakat khususnya masyarakat adat," tutur Bayu.
Buktinya, kata Bayu, dapat dilihat dari kejadian kebakaran hutan dan lahan pada 2023, di mana lokasi food estate di Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau, baik intensifikasi dan ekstensifikasi, menjadi penyumbang luasan karhutla dan polusi asap di Kalteng.
Bayu mengatakan, hutan yang merupakan sumber penghidupan dan lahan sebagai alat produksi pangan yang dikelola dan dimanfaatkan oleh masyarakat adat khususnya peladang, diubah menjadi lahan pertanian pangan monokolutur skala luas, seperti food estate. Itu sangat berbeda dengan sistem dan pola produksi pangan yang dilakukan selama ini, sehingga food estate hanya akan semakin meminggirkan dan memarjinalkan petani peladang dalam konteks pemenuhan dan ketahanan pangan yang saat ini menjadi tantangan utama mereka.
“Selain itu konsep pengembangan pangan dengan food estate yang tidak sesuai dengan fungsi ekosistem gambut juga berdampak terhadap lingkungan. Kerusakan lingkungan semakin besar terjadi pada ekosistem gambut yang menjadi lokasi-lokasi lahan food estate," kata Bayu.
Bayu menjelaskan, sistem pertanian yang dilaksanakan dalam food estate menyebabkan penurunan sampai kerusakan fungsi gambut yang mengakibatkan karhutla dan polusi udara seperti asap. Pemerintah, katanya, harusnya bisa melihat akar masalah dari kerusakan lingkungan yang terjadi di Kalimantan Tengah.
"Bukan karena masyarakat adat, khususnya petani yang menyebabkan kerusakan lingkungan seperti karhutla, tapi perusahaan-perusahaan besar yang mengkonversi hutan dan lahan menjadi tanaman monokultur skala luas seperti sawit atau pun hutan tanaman industri,” ujarnya.
Setelah bencana kabut asap yang terjadi pada 2015, Bayu melanjutkan, banyak petani atau peladang yang mengalami kriminalisasi, karena dituduh menjadi penyebab karhutla dan berujung larangan membakar ladang. Padahal, menurut Bayu, seharusnya kearifan lokal masyarakat dilindungi.
“Terkait dengan perlindungan, penting untuk mendukung praktik-praktik yang dilakukan oleh petani, peladang, agar dapat terus melakukan aktivitas pertanian ladang mereka, sehingga pemenuhan pangan yang diharapkan oleh pemerintah itu bisa lebih berdampak, atau lebih bisa terwujud dari praktik-praktik ketahanan pangan yang dilakukan.” ucap Bayu.
Bayu menuturkan, Walhi Kalteng mendesak pemerintah, dalam hal ini negara, untuk segera melakukan dan mengesahkan undang undang terkait dengan masyarakat hukum adat dan melakukan pengakuan masyarakat hukum adat melalui aturan yang ada di tingkat daerah, dalam hal ini perda masyarakat hukum adat yang ada di setiap daerah.
Pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat itu, Bayu berpendapat, bisa mendukung praktik-praktik yang dilakukan oleh masyarakat adat, untuk terus melindungi hutan dan menjalankan sistem pertanian berladang. Hal tersebut merupakan salah satu cara untuk memperoleh kedaulatan pangan di Kalteng.