Proyek BRI Cina di Indonesia Minim Pembangunan Hijau

Penulis : Kennial Laia

Energi

Kamis, 19 Oktober 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Proyek belt and road initiative (BRI) milik Tiongkok dinilai minim pembangunan hijau dan berkelanjutan di Indonesia. Menurut Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, mayoritas pendanaannya menyasar energi kotor seperti batu bara, yang tidak berkelanjutan dan merusak lingkungan. 

Bhima mengatakan, dalam 10 tahun terakhir Cina menggelontorkan lebih dari US$ 1 triliun atau setara Rp 15.700 triliun ke negara miskin dan berkembang, termasuk Indonesia. 

Pendanaan ini fokus mendanai pembangunan infrastruktur, seperti pembangkit listrik, jalur kereta, pelabuhan, jalan raya, dan jembatan. Menurut Bhima, proyek Tiongkok di lapangan sarat dengan permasalahan lingkungan, serta menyumbang sekitar 245 juta ton karbon dioksida per tahun dari pembangunan pembangkit listrik (PLTU) berbahan bakar fosil. 

“Pendanaan Tiongkok hingga sekarang masih jauh dari kata hijau. Di Indonesia sendiri masih banyak proyek yang memiliki risiko tinggi terhadap lingkungan dan sosial terutama pembiayaan smelter nikel yang masih menggunakan PLTU batu bara skala besar,” ujar Bhima. 

Pembangkit listrik tenaga uap berbasis batu bara/Institute for Essential Services Reform

Direktur Studi China-Indonesia CELIOS, Muhammad Zulfikar Rakhmat, mengatakan porsi investasi Tiongkok di sektor energi terbarukan sangat sedikit. Sebaliknya 86% pendanaannya mengalir ke proyek pengembangan PLTU batu bara. Ini berlawanan dengan komitmen Xi Jinping pada 2021 untuk menghentikan pembangunan pembangkit kotor tersebut.  

Bukti dari lemahnya komitmen Tiongkok untuk beralih ke investasi energi bersih terlihat pada laporan China Belt and Road Initiative (BRI) Investment Report 2022. Menurut Fikar, dalam laporan ini masih terdapat proyek yang melibatkan pengembangan PLTU batu bara captive untuk energi listrik di wilayah industri.

Salah satunya adalah PLTU batu bara berkapasitas 4x380 megawatt di Pulau Obi, Maluku Utara. Pembangkit ini merupakan proyek PT Halmahera Jaya Feronikel, perusahaan patungan antara Lygend dari Tiongkok dan Harita Group dari Indonesia.

Tidak hanya itu, Power Construction Corp atau dikenal dengan Power China juga masih terlibat dalam proyek pertambangan batu bara di Provinsi Kalimantan Tengah dengan target akan menjual 30 juta ton batu bara.

“Realitanya, dalam konteks Indonesia, janji tersebut ternyata masih menjadi komitmen hampa, mengingat belum ada tindakan serius atas isu ini dari dua belah pihak, baik Tiongkok maupun pemerintah Indonesia,” ujar Fikar. 

Awal pekan ini, yakni 17-18 Oktober, Tiongkok kembali menggelar Belt and Road Summit, sekaligus menandai satu dekade sejak BRI pertama kali dikenalkan pada 2013. Acara ini dihadiri sekitar 130 negara dan 30 organisasi internasional. Presiden Joko “Jokowi” Widodo turut hadir. 

Bhima mengatakan, pemerintahan Jokowi menyambut positif proyek BRI karena mendukung agenda prioritas yang berfokus pada pembangunan infrastruktur. Indonesia sendiri menjadi salah satu negara penerima dana terbesar dari Tiongkok melalui skema BRI, berdasarkan laporan AidData 2021.  

Ketergantungan investasi Tiongkok pada sektor penyumbang emisi karbon ini disebabkan oleh kebijakan hilirisasi yang didorong pemerintahan Jokowi, terutama pada industri nikel. Dominasi investasi pertambangan ini terlihat dari nilai realisasi investasi pada 2022 yang mencapai Rp 136,4 triliun. 

“Kegencaran pemerintah dalam melakukan hilirisasi nikel untuk transisi energi menjadi salah satu faktor tingginya angka investasi di sektor pertambangan yang kurang ramah lingkungan,” kata Fikar. 

“Tak heran banyak pihak yang menyebut kebijakan tersebut sebagai solusi yang problematis karena proses pemurniannya masih ditunjang oleh energi dari bahan bakar fosil terutama batubara,” ujarnya.  

Bhima mengatakan, Indonesia harus lebih tegas dalam memastikan berjalannya proyek BRI ke arah pembangunan rendah karbon. Pemerintah juga harus lebih memilih pendanaan yang mendukung solusi transisi energi berkeadilan. 

“Tatanan Belt and Road Initiative sebaiknya mendukung tata kelola penambangan critical minerals (mineral kritis) hingga proses pengolahan lebih lanjut yang transparan, tidak merusak lingkungan, dan tidak merugikan masyarakat sekitar maupun pekerja,” ucap Bhima.