Isu Krisis Iklim Masih Sepi Dibicarakan Capres, Ada Apa?
Penulis : Aryo Bhawono
Perubahan Iklim
Jumat, 20 Oktober 2023
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Tiga kandidat capres masih irit bicara soal isu krisis iklim. Tertinggalnya isu krisis iklim ini ditengarai bukan hanya karena kandidat enggan bicara soal genting ini, tetapi juga karena keberadaan para aktor industri ekstraktif di partai politik.
Penelitian Monash Climate Change Communication Research Hub (MCCCRH) bertajuk bertajuk “Navigasi Isu Perubahan Iklim di Pemilu 2024: Panduan Komunikasi untuk Para Politisi” menyebutkan unggahan media sosial para ketua partai politik soal krisis iklim hanya mencapai 8 persen. Jumlah ini jauh lebih rendah dibandingkan unggahan para menteri yang mencapai 80 persen.
Pengamatan media sosial Facebook dilakukan terhadap 157 tokoh selama 3,5 tahun, dari Oktober 2019 hingga Juli 2023. Para tokoh tersebut terdiri dari pejabat pemerintah, yakni 31 menteri dan 66 gubernur serta wakil gubernur. Sedangkan pejabat legislatif, yakni 12 ketua parpol, dan 48 pimpinan komisi di DPR.
Sebanyak 8 tema yang diunggah oleh para pejabat tersebut, diantaranya kepemimpinan Indonesia dalam G20 dan kemitraan ekonomi global, pencapaian dan Inisiatif Jakarta dalam pembangunan transportasi dan infrastruktur berkelanjutan, upaya konservasi dan rehabilitasi mangrove, tantangan pandemi COVID-19, dan pemulihan ekonomi, pertanian, dan ketahanan pangan di tengah tantangan perubahan iklim, pentingnya air bersih dan bencana cuaca ekstrem di Jakarta, perubahan iklim dan kesadaran lingkungan sebagai upaya kolektif, serta keterlibatan generasi muda dalam isu perubahan iklim dan lingkungan.
“Isu perubahan iklim yang dibicarakan politisi pun masih di taraf kebijakan dan tidak menyentuh dampak yang dirasakan langsung masyarakat," ujar Chair Monash MCCCRH Indonesia Node, Ika Idris, dalam diskusi peluncuran buku tersebut di Jakarta pada Kamis (19/10/2023).
Juru Bicara Pasangan Capres-Cawapres Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar (Amin), Surya Tjandra, menilai mayoritas masyarakat tidak tahu tentang isu perubahan iklim. Tugas politisi adalah memulai dan mengedukasi masyarakat bahwa isu perubahan iklim penting.
“Kuncinya adalah kolaborasi dan penting mengkombinasikannya dengan aksi nyata," ujar dia.
Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai Gerindra, pengusung calon presiden (capres) Prabowo Subianto, menyatakan edukasi konstituen dengan isu perubahan iklim sangat menantang.
"Berangkat dari pengalaman, yang mereka tangkap itu ya isu sandang, pangan, papan, " kata Rahayu.
Pakar Kesehatan Publik Monash University, Grace Wangge, mengungkap isu perubahan iklim penting menjadi salah satu agenda kampanye di Pemilu 2024 karena dampaknya kian mencekam. Ia menilai, banyak dari kaum muda yang mengalami gangguan kecemasan dan kesedihan akibat bencana terkait perubahan iklim. Sumber stres, kata Grace, adalah akibat dari krisis pangan, kehilangan mata pencaharian, ataupun kerusakan dan kehancuran lingkungan yang disebabkan oleh perubahan iklim.
Selain itu, berdasarkan data Air Quality Life Index (AQLI) pada tahun 2022, warga di beberapa daerah di Indonesia, khususnya DKI Jakarta dan kota di sekitarnya (Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi) diproyeksi mengalami penurunan angka harapan hidup rata-rata selama 2,4 tahun karena polusi udara. Jawa Barat adalah provinsi paling tercemar di Indonesia, polusi udara memperpendek angka harapan hidup 48 juta penduduk hingga 1,6 tahun. Polusi ini berasal dari asap dari kebakaran hutan, ditambah emisi karbon yang bersumber dari gas buang kendaraan bermotor, pembangkit listrik dan mesin pada industri, dan sebagainya.
Selain itu dampak ekonomi perubahan iklim juga mengkhawatirkan. Bappenas memprediksi Indonesia akan mengalami kerugian sebesar Rp 544 triliun pada periode 2020-2024. Selain itu, Indonesia juga bisa kehilangan 30%-40% dari total Produk Domestik Bruto (PDB) atau Rp 132 triliun akibat kerugian dari sektor pertanian, kesehatan, dan kenaikan permukaan laut.
Leonard Simanjuntak dari Greenpeace Indonesia menyebutkan isu perubahan iklim memainkan peranan di Amerika Serikat ketika kontestasi pemilihan presiden antara Joe Biden dengan Donald Trump. Sedangkan di Indonesia terdapat kendala, salah satunya kesadaran masyarakat.
Namun hal yang paling penting adalah kemauan partai politik untuk memasukkan isu krisis iklim dalam agenda pemilu. Pasalnya terdapat kelompok dalam partai politik yang justru tidak berpihak pada isu ini. Mereka adalah kelompok yang pro terhadap industri ekstraktif.
“Di tiap kubu pasangan capres-cawapres ada aktor yang tidak ingin perubahan, mereka itu yang pro sawit dan pro batu bara,” ungkap dia.