BRI Cina Harus Dukung Pensiun Dini PLTU Batu Bara
Penulis : Kennial Laia
Energi
Jumat, 20 Oktober 2023
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Pemerintah diminta mengoptimalkan pendanaan transisi energi dari Cina. Selain pengembangan energi terbarukan, Indonesia harus mendorong penghentian operasi pembangkit listrik batu bara jika Cina menyalurkan investasi melalui mekanisme Belt and Road Initiatives (BRI).
Pengampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara, Tata Mustasya, mengatakan Cina merupakan salah satu negara investor terbesar selain Jepang dan Korea untuk PLTU batu bara. “Jika Cina bisa mengalihkan investasinya dari energi kotor ke energi bersih dan terbarukan, ini akan berdampak besar secara positif. Kita mengetahui bahwa saat ini kita harus melakukan percepatan transisi energi dan hal tersebut memerlukan pendanaan yang besar,” kata Tata, Kamis, 19 Oktober 2023.
Berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), Indonesia menargetkan pembangunan pembangkit energi terbarukan lebih dari 60 gigawatt (GW) hingga 2040. Untuk mencapai nol emisi, targetnya bahkan lebih ambisius yakni lebih dari 600 GW pembangkit energi bersih hingga 2060.
Namun capaian bauran energi terbarukan hingga Juni 2023 hanya 12,13 persen dari target 23 persen pada 2025. Porsi tersebut juga sangat kecil dibandingkan dengan total kapasitas terpasang pembangkit di area kelolaan PLN sebesar 70,29 GW.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Indonesia memerlukan investasi sekitar US$ 1 triliun untuk membangun pembangkit dan transmisi energi terbarukan hingga 2060. Investasi Cina dinilai sebagai alternatif lantaran pendanaan transisi energi Just Energy Transition Partnership (JETP) dari koalisi negara Barat berjalan lambat.
Awal pekan ini Cina kembali menggelar Belt and Road Initiative Summit di Beijing. Dalam pidatonya Presiden Xi Jinping menyatakan komitmen pada pendanaan di sektor energi ramah lingkungan. Pada kesempatan yang sama, Presiden Joko "Jokowi" Widodo menyampaikan permintaan agar Cina mendukung pengembangan kelistrikan di Indonesia.
Kerja sama pendanaan ini telah dimulai. Dikutip dari Tempo, pada Forum Bisnis Indonesia-China yang dihadiri Presiden Jokowi pada 17 Oktober, kedua negara menandatangani 31 kesepakatan kerja sama senilai US$ 13,7 miliar. Sembilan di antaranya melibatkan BUMN, termasuk pembangunan pabrik baterai. Serta potensi kerja sama lain senilai US$ 29 miliar.
PT PLN juga turut menandatangani kerja sama dengan sejumlah perusahaan asal Cina senilai lebih dari US$ 54 miliar. Ihwal ini termasuk pengembangan smart grid untuk kelistrikan energi bersih di Indonesia, dengan State Grid Corporation of China dan Trina Solar China. Rencananya, PLN Indonesia Power dan Trina Solar China akan membentuk perusahaan patungan bersama pihak swasta, Sinar Mas dan Agra Surya, untuk mengembangkan pabrik sel serta panel surya di Kawasan Industri Kendal, Jawa Tengah.
Kerja sama ini menjadi tanda baik mengingat selama ini investasi Cina di sektor energi terbarukan di Indonesia masih rendah. Analisis Center of Economic and Law Studies (Celios) mengungkap 86 persen pendanaan Negara Panda tersebut mengalir pada pembangkit listrik tenaga batu bara melalui China Development Bank dan China Export-Import Bank.
Laporan China Belt and Road Initiative Investment Report 2022 juga masih menyebut adanya proyek yang melibatkan pengembangan PLTU batu bara captive untuk listrik di wilayah industri. Salah satunya adalah PLTU batu bara berkapasitas 4x380 megawatt di Pulau Obi, Maluku Utara. Pembangkit ini merupakan proyek PT Halmahera Jaya Feronikel, perusahaan patungan antara Lygend dari Tiongkok dan Harita Group dari Indonesia.
Selain itu, Power Construction Corp atau dikenal dengan Power China juga masih terlibat dalam proyek pertambangan batu bara di Provinsi Kalimantan Tengah dengan target akan menjual 30 juta ton batu bara.
Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, mengatakan skema Belt and Road Initiative di sektor energi bersih harus mendukung pensiun dini PLTU batu bara di Indonesia. Hal ini bisa dimulai dengan mengganti PLTU baru (captive) di kawasan industri yang baru dibangun berkapasitas 14 GW dengan energi yang lebih bersih, terutama pada proyek hilirisasi mineral, seperti nikel. “Ini kesempatan dekarbonisasi industri, terutama di sektor hilirisasi, yang mana selama ini China berperan dominan,” kata Bhima.
Bhima mengatakan, Indonesia harus memastikan bahwa proyek yang didanai tidak hanya masuk ke pengembangan energi terbarukan berkapasitas besar seperti pembangkit tenaga air dan geotermal. Pasalnya jenis pembangkit ini membutuhkan lahan yang luas, sehingga berpotensi menimbulkan konflik.
“Tapi harus ada investasi untuk mempercepat penutupan PLTU batu bara, karena dikhawatirkan minat China ihwal ini masih rendah. Padahal investasi energi terbarukan akan memberi return dan serapan listrik yang menarik dan pasti dalam jangka panjang jika percepatan pensiun PLTU batu bara bisa berjalan lebih cepat lagi,” kata Bhima.