Wali Lingkungan: Ekonomi Biru Tak Cocok untuk Indonesia

Penulis : Gilang Helindro

Kelautan

Senin, 23 Oktober 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Pemerintah mengkampanyekan ekonomi biru menjadi solusi tata kelola kelautan dan perikanan. Namun, menurut Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Walhi, ekonomi biru bukanlah solusi untuk tata kelola laut di Indonesia, mengingat secara mendasar laut di Indonesia masih diposisikan sebagai ruang kompetisi terbuka mare liberum. 

Doktrin mare liberum atau Laut Bebas yang digagas oleh Hugo de Groot alias Hugo Grotius, seorang ahli hukum Belanda dipadukan dengan ekonomi pasar modern, sesungguhnya mendorong terjadinya eksploitasi berlebih pada sumber daya laut. Menurut Parid, doktrin mare liberum menjadi dasar dari konsep laut sebagai open acces, di mana laut diposisikan sebagai warna biru dalam ekonomi biru merepresentasikan ekonomi kapitalis berintikan pasar dan modal. 

“Dalam situasi ini, ruang tangkap nelayan tradisional tidak mendapatkan pengakuan, terutama dalam peraturan perundangan. Pemerintah lebih memprioritaskan untuk memberi akses yang terbuka kepada siapapun atas dasar siapa kuat secara finansial. Kondisi ini mengakibatkan apa yang disebut tragedi kepemilikan bersama,” katanya.

Menurut Parid, ekonomi biru tidak memiliki cerita baik. Pengalaman penerapan ekonomi biru sekaligus menggarisbawahi dampaknya di berbagai negara. Di Zanzibar, Tanzania, dan Chile ekonomi biru melahirkan diskriminasi gender yang meminggirkan partisipasi perempuan dalam tata kelola perikanan melalui ketidakadilan prosedural pada perikanan skala kecil. 

Ekonomi Biru dianggap sebagai alternatif pemulihan ekonomi dan pencapaian komitmen iklim Indonesia. Foto: Ekonomi Biru

Selanjutnya, di negara Palau dan Pohnpei, ekonomi biru menyebabkan tragedi komoditas yang menyebabkan tingkat deplesi stok teripang, masyarakat pesisir kehilangan hak kelola, kesenjangan dan kemiskinan meningkat serta krisis ekologi, dan perubahan iklim kian massif. Di Papua Nugini, ekonomi biru terbukti menggerus makna geo-spritual masyarakat pulaunya; mengganggu keberlanjutan mata pencarian masyarakat pulau, degradasi SDA dan kerusakan ekologi pulau kecil.

Sementara itu, di Namibia, ekonomi biru hanya menjadi justifikasi proyek-proyek pertambangan laut dalam, mendorong degradasi lingkungan dan dampak sosial yang negatif, utamanya terhadap mata pencaharian dalam sektor perikanan Namibia. 

Dalam kerancuan konseptual dan bias kepentingan negara-negara utara, ekonomi biru dikampanyekan oleh pemerintah Indonesia dalam berbagai forum internasional, termasuk dalam KTT AIS 2023, sekaligus diarusutamakan dalam pembangunan ekonomi kelautan, khususnya dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045. “Hal ini merupakan ironi besar,” tegas Parid. 

Di Indonesia, ekonomi biru telah dan sedang mendorong dan mempercepat perampasan ruang laut atau ocean grabbing. Ocean grabbing istilah yang digunakan untuk menyoroti proses dan dinamika penting yang berdampak negatif terhadap keberlanjutan sumber daya laut, sekaligus keberlanjutan hidup masyarakat yang cara hidup dan identitas budaya serta mata pencahariannya bergantung pada penangkapan ikan skala kecil,” ungkap Parid. 

Dalam situasi ini, ekonomi biru justru menambah persoalan baru dari pada menyelesaikan masalah tata kelola sumber daya kelautan dan perikanan di Indonesia. 

“Pada titik ini, Pemerintah Indonesia seharusnya kembali pada konsep ekonomi yang dimandatkan oleh konstitusi Republik Indonesia, dan mempromosikan konsep ekonomi konstitusi itu dalam forum-forum internasional seperti AIS 2023. Pemerintah seharusnya tidak silau dengan ekonomi biru yang sangat bias kepentingan negara-negara utara,” katanya. Parid menambahkan, dengan demikian, forum KTT AIS 2023 hanya akan menjadi ruang perluasan konsolidasi kapital dan investasi untuk menguasai pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil.