Satwa Liar Tercemar Zat Penghambat Api -- Amankah Dibarbekyu?

Penulis : Kennial Laia

Lingkungan

Sabtu, 28 Oktober 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Lebih dari seratus spesies satwa liar yang ditemukan di setiap benua terkontaminasi bahan penghambat api yang sangat beracun. Polusi ini juga diduga bertanggung jawab atas penurunan populasi beberapa spesies, menurut analisis baru. 

Bahan kimia berbahaya tersebut telah terdeteksi pada segala hal, mulai dari bulu babi, kucing hutan, hingga rubah Arktik, dan pada tingkat yang mengkhawatirkan pada spesies yang terancam punah seperti panda merah, simpanse, dan paus pembunuh.

Para ilmuwan mengkaji zat kimia penghambat api selama 20 tahun. Penulis utama makalah tersebut, Lydia Jahl, mengatakan telah memperkirakan luasnya tingkat kontaminasi. Namun mengaku masih terkejut oleh banyaknya penelitian yang menemukan tingkat berbahaya dari semua jenis penghambat api di seluruh dunia.

“Sangat menyedihkan bahwa kemajuan manusia tidak memperhitungkan dampak kesehatan bagi diri kita sendiri dan satwa liar,” kata Jahl. “Orang-orang yang menghasilkan polusi bukan pihak paling terkena dampaknya – melainkan komunitas terdepan, seperti penyu, lumba-lumba, rubah, dan kupu-kupu.”

Zat kimia penghambat api, sering digunakan pada produk plastik dan lainnya, diperkirakan dapat memusnahkan separuh populasi paus pembunuh di dunia. Tory Kallman/Shutterstock via One Green Planet

Beberapa golongan bahan kimia digunakan sebagai penghambat api. Untuk mengurangi risiko kebakaran, zat ini juga ditambahkan ke ribuan produk konsumen seperti furnitur, elektronik, hingga interior mobil.

Analisis tersebut meneliti sejumlah besar bahan penghambat api seperti printed circuit boards (PCB) dan polybrominated diphenyl ethers (PDBE), serta bahan kimia pengganti baru yang diduga lebih aman, seperti parafin terklorinasi dan organofosfat, di seluruh dunia. Semua senyawa tersebut dianggap beracun dan berbagai senyawanya dikaitkan dengan kanker hati, tiroid, dan ginjal, sementara senyawa lainnya membahayakan IQ, konsentrasi, dan daya ingat pada anak-anak. 

Menurut Jahl, masalah kesehatan pada manusia ini juga berdampak pada hewan. “Ini adalah efek samping yang sangat disayangkan dari sesuatu yang seharusnya melindungi kita dari kebakaran,” tambahnya.

Kebanyakan penghambat api sangat persisten di lingkungan dan membutuhkan waktu puluhan tahun untuk terurai. Karena ketahanannya, bahan kimia tersebut dapat terakumulasi pada hewan, dan ketika predator yang lebih besar memakan organisme yang lebih kecil, bahan kimia tersebut terakumulasi dalam jumlah yang lebih banyak di bagian atas rantai makanan.

Tingkat tertinggi ditemukan pada mamalia laut besar dan burung pemangsa, dan bahan kimia tersebut diduga memusnahkan populasi paus pembunuh karena sangat membahayakan imunitas anakan dan sistem kekebalan tubuh spesies tersebut. Beberapa penelitian memperkirakan bahan kimia tersebut dapat memusnahkan separuh populasi paus pembunuh di dunia.

Bahan kimia ini pun ditemukan dalam jumlah yang sangat tinggi pada katak bintik hitam yang tinggal di dekat fasilitas limbah elektronik di Tiongkok, dan tampaknya menyusutkan hati hewan tersebut dan membahayakan telur mereka.

Zat penghambat api juga sangat mobile dan dapat menempuh jarak jauh melalui air dan udara. Penelitian menemukan tingkat simpanse yang tinggi terjadi di taman nasional Uganda yang dilindungi di pedalaman Afrika, jauh dari tempat produksi atau pembuangan bahan tahan api. 

Persoalan ini semakin membuat frustasi para pendukung kesehatan lingkungan karena penghambat api secara umum terbukti tidak efektif dalam sebagian besar penerapannya, dan didasarkan pada standar tahun 1970-an. Menurut Jahl, pada tahun-tahun tersebut sangat sedikit data mengenai efektivitas dan toksisitas bahan kimia tersebut.