Bencana Iklim di Pesisir dan Pulau Kecil Kian Menjadi-jadi
Penulis : Gilang Helindro
Kelautan
Rabu, 25 Oktober 2023
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Bencana iklim semakin massif menghancurkan kehidupan masyarakat pesisir, khususnya nelayan. Melva Harahap, Manajer Kajian Kebencanaan Eksekutf Nasional Walhi menyebut, dalam satu dekade terakhir, bencana iklim semakin masif. Dampaknya, telah banyak kematian, hilang harta benda, hancurnya mata pencaharian nelayan, dan kerusakan lingkungan.
Menurut Melva, sepanjang 2022 telah terjadi 1.057 cuaca ekstrem serta 26 kali gelombang pasang dan abrasi di pesisir dan laut. Akibatnya, banyak nelayan tangkap tradisional tak bisa melaut. Di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, misalnya, sejumlah nelayan sudah tidak bisa melaut selama tiga pekan sejak Desember 2022 lalu.
“Akibat cuaca buruk, hasil tangkapan ikan sebanyak tiga ton juga harus hilang di laut karena perahu nelayan di kota Kupang dihantam gelombang,” katanya Senin, 23 Oktober 2023.
Melva menambahkan, pada saat yang sama ratusan nelayan tradisional di Teluk Jakarta tetap harus melaut meskipun menghadapi cuaca ekstrem. Tak jarang mereka pulang dengan tangan hampa, tanpa hasil tangkapan. Bahkan, di penghujung 2022 lalu, seorang nelayan bernama Suhali meninggal di Teluk Jakarta.
Apa yang dialami oleh nelayan di Kupang dan Jakarta, kata Melva, menggambarkan betapa bencana iklim sangat berbahaya bagi kehidupan lebih dari dua juta nelayan tradisional di Indonesia. Pada tahun 2010, jumlah nelayan yang meninggal akibat cuaca buruk sebanyak 87 orang, dan pada 2020 naik menjadi 251 orang.
“Tentu hal ini tak dapat dibiarkan, karena mereka adalah aktor utama sektor kelautan dan perikanan,” Kata Melva.
Di Pulau kecil, bencana longsor di Pulau Serasan, Kepulauan Riau, yang terjadi pada pertengahan tahun 2023 ini, menjadi pelajaran penting bagi pemerintah untuk melindungi pulau kecil. Tapi anehnya, banyak pulau-pulau kecil dihancurkan untuk pertambangan nikel. Tak hanya itu, Masyarakat di pulau kecil dipaksa pindah demi invetasi. Hal ini sebagaimana terjadi di Pulau Rempang, Kepulauan Riau.
“Masyarakat pulau kecil, seperti Pulau Rempang, memiliki kerentanan tinggi oleh bencana iklim, tetapi pemerintah memaksa mereka menjadi pengungsi,” ungkap Melva.