Warga Buli Tutup Akses Jalan Tambang Nikel di Haltim

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Tambang

Kamis, 26 Oktober 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Warga Desa Buli, Kabupaten Halmahera Timur (Haltim), Maluku Utara (Malut) yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Buli Peduli Watowato, sejak Selasa (24/10/2023) kemarin, menutup akses jalan sejumlah perusahaan tambang di Kecamatan Maba. Penutupan jalan tersebut rencananya akan dilakukan sampai pemerintah daerah membatalkan rekomendasi penyesuaian tata ruang untuk perusahaan nikel PT Priven Lestari.

Saud Marsaoly dari Aliansi Masyarakat Buli Peduli Watowato, mengatakan, akses jalan yang ditutup adalah Jalan Kartika Buli, di Desa Fayafli. Jalan itu khususnya ditutup untuk karyawan PT Antam, PT Sumberdaya Arindo, PT Nusa Karya Arindo, dan PT Petrosea. Di jalan itu, warga juga membentangkan spanduk bertuliskan 'Tolak PT Priven'.

Aksi itu dilakukan sebagai bentuk kekecewaan kepada pemerintah daerah yang dianggap mengingkari janjinya kepada warga untuk memfasilitasi penyampaian aspirasi terkait penolakan terhadap tambang nikel di Bukit Watowato.

"Kita boikot semua aktivitas perusahaan tambang yang beroperasi di Kecamatan Maba, hingga Pemerintah Daerah Haltim datang membawa surat pembatalan rekomendasi penyesuaian tata ruang untuk PT Priven Lestari itu," ucap Said, Selasa (24/10/2023) kemarin.

Warga Buli menutup akses jalan bagi sejumlah perusahaan tambang di Kecamatan Buli, Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara. Penutupan jalan itu sudah dilakukan sejak Selasa (24/10/2023) kemarin. Foto: Aliansi Masyarakat Buli Peduli Watowato.

Said mengatakan, genap 10 tahun sudah warga Buli berjuang mempertahankan eksistensi Bukit Watowato yang saat ini menjadi target eksploitasi PT Priven Lestari. Perusahaan pertambangan Nikel itu memperoleh Izin Usaha Pertambangan (IUP) seluas 4.953 hektare, yang mencakup kawasan pegunungan Watowato sebagai benteng terakhir orang Buli.

Berbagai upaya telah dilakukan oleh warga Buli menolak bukit itu ditambang. Mulai dari menghadiri pertemuan-pertemuan resmi maupun aksi unjuk rasa hingga beragam kampanye penolakan lainnya.

Said menuturkan, geliat investasi tambang di Haltim telah memporak-porandakan sumber penghidupan warga pesisir, meliputi Tanjung Buli, Pulau Gei, Lembah Teduh Moronopo, pulau kecil Mabuli, juga Pulau Pakal, yang dalam 3-4 tahun lagi masa penambangan berakhir. Bercermin dari itu, warga Buli tak ingin bukit yang dianggap sakral oleh warga setempat itu ikut hancur karena tambang nikel.

"Semuanya sudah kita saksikan. Itu nyata di depan mata kita. Sumber-sumber protein terbaik warga seperti kerang hingga ikan goropa atau kerapu jenis super, kini hilang tak tersisa. Kemewahan yang disuguhkan langsung oleh alam secara gratis itu musnah akibat pengerukan daging pulau oleh industri ekstraktif tanpa ampun," katanya.

Lebih lanjut Said mengatakan, praktik-praktik kebijakan pemerintah dari pusat hingga daerah nyaris tak mempertimbangkan prinsip-prinsip keberlanjutan ruang hidup dan generasi selanjutnya. Pengalaman-pengalaman seperti itu, katanya, telah mengajarkan orang Buli banyak hal, yang mesti menjadi bahan evaluasi dan introspeksi bersama.

"Presentasi dari orang-orang bayaran mengenai dampak lingkungan ternyata hanya di atas kertas. Kenyataannya, jauh panggang dari api, janji-janji kesejahteraan hanya gincu. Buktinya, geliat investasi di Haltim yang begitu besar mengakibatkan ruang hidup orang-orang di timur Halmahera terjerembab ke dalam lumbung kemiskinan," ujarnya.

Menurut Said, investor makin kaya-raya. Sementara warga lokal kesulitan, terhimpit dan terjepit ruang hidupnya. Tentu dengan kondisi seperti itu akan berpengaruh pada dinamika sosial-masyarakat yang akan saling sikut, potensi pembelahan dan keretakan sosial pun kian runcing.

Bagi orang Buli, kata Said, mempertahankan eksistensi Bukit Watowato dari rencana pengerukan PT Priven adalah keharusan. Hal ini berangkat dari sejarah panjang orang Buli yang belajar dari kenyataan dan pengalaman sehari-hari.

"Watowato telah menjadi napas terakhir sekaligus martabat dan harga diri orang Buli. Jika pesisir kita sudah rusak, jangan biarkan lagi hutan, tanah dan sungai musnah," ucapnya.

Salah seorang warga Buli, Laurina Batawi, mengaku berhasil menyekolahkan dua anaknya hingga ke tingkat perguruan tinggi karena budidaya nanas khas Buli yang ditanam di bawah kaki Bukit Watowato. Jika area kaki Bukit Watowato dibiarkan dihancurkan oleh tambang nikel, dalam arti tidak menolak rekomendasi penyesuaian tata ruang untuk PT Priven oleh Pemerintah Daerah Haltim, Laurina menganggap, hal itu dianggap sama saja membunuh diri sendiri.

Said menambahkan, orang Buli tidak punya pilihan lain kecuali berupaya keras dengan persatuan yang kokoh-sekokoh Bukit Watowato untuk mendesak Pemerintah Daerah Haltim membatalkan rekomendasi tersebut. Warga Buli menganggap kehadiran PT Priven di bawah kaki Bukit Watowato adalah ancaman serius yang tidak boleh dipandang sepele oleh siapa pun juga.

"Karena sungai-sungai terbaik yang menghidupi bentangan hutan dan warga Buli sejak ratusan tahun lalu adalah anugerah yang tidak diganti dengan apapun juga. Maka mempertahankan Bukit Watowato dari keberadaan PT Priven adalah sebuah kewajiban," katanya.