Program Transisi Energi JETP Dikritik Minim Pelibatan Publik

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Energi

Jumat, 27 Oktober 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Proses penyusunan dokumen Rencana Investasi dan Kebijakan Komprehensif atau Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) oleh Sekretariat Just Energy Transition Partnership (JETP) menuai kritik dari sejumlah organisasi masyarakat sipil. Penyusunan CIPP itu dianggap minim transparansi dan partisipasi publik.

Masyarakat sipil menilai, publik sejauh ini tidak memiliki pengetahuan soal perkembangan penyusunan CIPP. Selain itu, tidak tersedia kanal untuk menghimpun masukan dari publik yang berpotensi mencederai aspek keadilan. Padahal keadilan seharusnya menjadi pembeda skema JETP dengan skema-skema transisi energi lainnya.

Tak hanya itu, sejak diluncurkan pada KTT G20 di Bali, November 2022 lalu, JETP ditargetkan menghasilkan dokumen CIPP enam bulan setelah sekretariat JETP dibentuk. Namun, rencana awal peluncuran CIPP yang ditargetkan selesai Agustus, mundur hingga akhir November 2023.

Kritik tersebut disampaikan sejumlah organisasi masyarakat sipil dalam white paper tentang CIPP. Selain berisi kritik, white paper juga berisi masukan terhadap proses penyusunan dari substansi CIPP serta rekomendasi terkait implementasi JETP dalam upaya mewujudkan transisi energi berkeadilan yang substansial di Indonesia.

PLTU batu bara Pelabuhan Ratu, Banten. Foto: Greenpeace

Rekomendasi Masyarakat Sipil:

  1. Reformasi regulasi dan kebijakan bagi landasan transisi energi
  2. Target transisi energi yang mengikat secara hukum
  3. Pengesahan UU Energi Terbarukan
  4. Penguatan kelembagaan dan tata kelola JETP
  5. Pelibatan Pemerintah Daerah dalam proses transisi energi
  6. Pemobilisasian dana transisi energi
  7. Penguatan aspek monitoring dan evaluasi

Direktur Eksekutif dan Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, mengatakan model pendanaan JETP sebaiknya tidak menitikberatkan pada penambahan beban anggaran negara dalam bentuk pinjaman. Sebagai contoh, fokus pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara bisa dilakukan dalam berbagai bentuk pembiayaan yang kreatif.

Baik negara donor, lembaga keuangan global atau GFANZ maupun Pemerintah Indonesia, lanjut Bhima, bisa bernegosiasi dalam mendorong pembiayaan alternatif seperti skema debt cancellation (penghapusan utang), windfall profit tax bagi perusahaan di sektor fosil, refocusing insentif pajak, optimalisasi DHE (Devisa Hasil Ekspor), hingga yang sudah siap di depan mata dengan penerapan pajak karbon.

"Intinya menciptakan ruang fiskal yang lebih luas dan perubahan insentif yang selama ini dinikmati perusahaan ekstraktif dan fosil ke arah dukungan transisi energi,” kata Bhima saat peluncuran white paper, Kamis (26/9/2023).

Bhima juga menyebut peran pemerintah daerah (pemda) dalam JETP sejauh ini masih minim. Ia berharap ada koordinasi yang lebih intens yang inklusif. Sebab, ujarnya, JETP mengangkat soal transisi berkeadilan. Sehingga, pemda harus aktif dilibatkan, mulai dari rancangan investasi di sektor energi terbarukan, hingga mengantisipasi dampak transisi energi terhadap berbagai indikator ekonomi dan lingkungan di masing-masing daerah.

"Kalau diperlukan ada working group khusus yang berisi perwakilan pemda yang terdampak penutupan PLTU batu bara dan Pemda yang memiliki potensi energi terbarukan,” katanya.

Peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Syaharani, menyatakan perlunya regulasi dan kelembagaan yang memadai adalah dua infrastruktur penting yang mendorong terwujudnya kondisi pemungkin (enabling conditions) dalam mempercepat transisi energi berkeadilan.

“Tanpa adanya infrastruktur regulasi dan kebijakan yang kuat, transisi energi berkeadilan di Indonesia berpotensi terbentur masalah birokratis dan struktural,” ujar Syaharani.

Selain itu, JETP juga harus memastikan tata kelola berkelanjutan dengan menjamin keterbukaan akses informasi bagi masyarakat, platform dan saluran berpartisipasi yang terbuka bagi berbagai kalangan, dan akses pengaduan yang terjamin dan responsif.

Syaharani berpendapat, struktur kelembagaan JETP juga tidak kalah penting, karena harus mendudukkan masyarakat sebagai bagian dari pengambil keputusan. Hal ini untuk menghindari pembahasan kebijakan dan arah pengelolaan energi yang cenderung teknokratis dan melupakan aspek keadilannya.

Menurut peneliti Institute for Essential Services Reform (IESR), Julius Christian, penutupan PLTU batu bara merupakan aspek yang krusial dalam proses transisi pada sistem kelistrikan Indonesia, untuk memberikan ruang bagi bertumbuhnya energi terbarukan. Selain itu, manfaat yang dihasilkan dari penutupan PLTU batu bara jauh melebihi biaya yang perlu dikeluarkan, terutama dari sisi peningkatan kesehatan masyarakat.

Julius mengungkapkan, sekitar 180 ribu kematian akibat polusi PLTU batu bara dapat dihindarkan jika PLTU ditutup mengikuti skenario 1,5°C. Pemilihan prioritas PLTU yang harus ditutup lebih awal juga harus mempertimbangkan berbagai aspek di luar aspek teknis, termasuk aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial.

“Kriteria-kriteria ini harus disampaikan secara transparan, terutama ketika dana publik yang akan dipakai untuk melakukan pensiun dini, untuk memastikan dana tersebut digunakan secara efektif,” kata Julius.

Manajer Portofolio dan Riset Energi Terbarukan Trend Asia, Beyrra Triasdian menuturkan, transisi energi perlu fokus pada percepatan energi terbarukan yang dilakukan dengan prinsip penghormatan hak-hak dan persetujuan masyarakat lokal yang menjamin keterjangkauan akses, penguatan ekonomi, dan energi berkelanjutan. Menurut Beyrra, energi terbarukan berbasis komunitas menjadi pilihan yang nyata, akan tetapi masih terkendala dari kurangnya pengembangan kapasitas, kelembagaan, pendanaan dan ketidakselarasan kebijakan.

"Pilihan yang hadir dalam masa transisi ini nyatanya sarat solusi palsu yang memperpanjang usia batu bara dengan cara co-firing, hilirisasi, maupun pemanfaatan CCUS (Carbon Capture, Utilizaton and Storage) yang tidak juga dapat menyelesaikan masalah krisis iklim tapi malahan sebaliknya," ucap Beyrra.