Kalau Bulan Bisa Ngomong, Ternyata Dia 40 Juta Tahun Lebih Tua

Penulis : Kennial Laia

Lingkungan

Minggu, 29 Oktober 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Rembulan telah menyaksikan seluruh peradaban yang ada di Bumi. Telah sejak awal ikut mempengaruhi pasang surut di perairan, menjadi inspirasi bagi para penyair, serta telah dieksplorasi oleh para astronot, namun usia dan kapan tepatnya bulan terbentuk masih diperdebatkan.

Kini para ilmuwan punya jawabannya. Ternyata bulan berusia lebih tua 40 juta tahun dari perkiraan sebelumnya. Kesimpulan ini diambil setelah para ilmuwan mempelajari kristal dalam debu bulan yang dibawa kembali ke bumi pada 1972 sebagai bagian dari misi Apollo 17. Ini adalah terakhir kalinya astronot menginjakkan kaki di bulan. 

“Sungguh menakjubkan bisa mendapatkan bukti bahwa batu yang kami pegang adalah bagian bulan tertua yang kami temukan sejauh ini,” kata Dr Jennika Greer dari University of Glasgow, penulis utama studi tersebut.

“Ini adalah titik awal bagi banyak pertanyaan tentang Bumi. Sebab ketika Anda mengetahui berapa umur suatu benda, Anda dapat lebih memahami apa yang terjadi pada benda tersebut dalam sejarahnya,” ujarnya. 

Seorang astronot berjalan di bulan dalam misi Apollo 17 pada 1972. Dok NASA/Reuters.

Dalam risetnya, para ilmuwan menulis, sekitar 100 juta tahun setelah pembentukan tata surya, saat planet-planet telah terbentuk, diperkirakan sebuah benda seukuran Mars menghantam Bumi, mengeluarkan sejumlah besar material yang akhirnya menjadi bulan. Energi yang terlibat dalam tumbukan tersebut menyebabkan permukaannya pada awalnya meleleh, namun saat lautan magma bulan mendingin, material tersebut menjadi padat.

Salah satu temuan krusialnya adalah kristal-kristal yang diteliti dalam penelitian ini diperkirakan terbentuk selama proses pendinginan ini. Artinya, komposisinya memberi para peneliti kesempatan untuk menyelidiki usia kristal tersebut, dan juga usia bulan itu sendiri.

Namun menentukan hal ini sangatlah sulit. Beberapa penelitian mengenai material bulan dan pemodelan menunjukkan bahwa usia bulan sekitar 4,42 miliar tahun, namun penelitian terbaru terhadap kristal tersebut menunjukkan bahwa usia bulan mungkin lebih tua lagi.

Kini para peneliti mengatakan teknik analisis baru muncul untuk mengkonfirmasi bahwa kristal tersebut terbentuk jauh di masa lalu.

Pendekatan ini, yang dikenal sebagai tomografi probe atom, melibatkan penggunaan laser untuk menguapkan atom dari kristal yang telah diasah hingga menjadi “ujung nano” yang sangat halus. Massa atom-atom ini kemudian dapat dideteksi dan proporsi berbagai jenis atom uranium dan timbal – yang dikenal sebagai isotop – dapat diukur. Karena uranium berubah menjadi timbal seiring berjalannya waktu melalui peluruhan radioaktif, proporsi ini dapat menjelaskan berapa umur kristal tersebut.

Hasilnya, para ilmuwan mengungkap bahwa kristal tersebut, dan juga satelit kita, tampaknya berusia setidaknya 4,46 miliar tahun. Hasil penelitian ini diterbitkan di jurnal Geochemical Perspectives Letters

“Temuan ini mendorong mundur usia kerak bulan pertama yang terawetkan sebesar 40 juta tahun dan memberikan usia pembentukan minimum bulan dalam 110 juta tahun setelah pembentukan tata surya,” tulis tim tersebut.

Para ilmuwan tersebut berpendapat sampel kristal yang menghasilkan kesimpulan usia yang lebih muda ini bisa jadi disebabkan oleh hilangnya timbal dalam material setelah kristalisasi, sehingga merusak penanggalan yang dihasilkan.

Dr Romain Tartèse dari University of Manchester, yang tidak terlibat dalam penelitian ini, menyambut baik penelitian ini. “Ini menunjukkan bahwa bulan setidaknya berusia 4,46 miliar tahun, yang bertentangan dengan beberapa usulan baru-baru ini mengenai pembentukan bulan muda,” katanya.

Pengungkapan ini, tambahnya, menunjukkan bahwa dampak besar dengan Bumi yang menjadi asal muasal bulan kemungkinan besar terjadi beberapa puluh juta tahun sebelum titik tersebut.

Menurut Tartèse, temuan ini juga menunjukkan bahwa teori tubrukan besar (Giant Impact Hypothesis) antara Bumi dan planet seukuran Mars yang selama ini dipercaya sebagai asal-muasal bulan, kemungkinan besar terjadi beberapa puluh juta tahun sebelum titik tersebut. 

Namun, Tartèse mencatat bahwa penelitian tersebut berasumsi bahwa temuan dari sampel Apollo berlaku untuk seluruh bulan, padahal mungkin tidak demikian.

“Ini menggarisbawahi pentingnya mengembalikan sampel lebih lanjut dari berbagai wilayah di bulan melalui misi masa depan,” katanya.

“Studi ini juga menunjukkan manfaat besar dari misi pengembalian sampel dan kurasi yang tepat,” ucap Tartèse. “Lebih dari 50 tahun setelah sampel ini dikembalikan, kita masih membuat penemuan penting tentang bulan dan bagian dalam tata surya seiring dengan perkembangan teknologi.”