Catatan OMS: Banyuwangi Ibarat Kuburan Keadilan Petani

Penulis : Aryo Bhawono

Hukum

Senin, 30 Oktober 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Pengadilan Negeri Banyuwangi ibarat sudah menjadi kuburan keadilan bagi para petani Banyuwangi, Jawa Timur. Catatan organisasi masyarakat sipil menunjukkan sudah berkali-kali petani diantar ke penjara oleh PN Banyuwangi di tengah konflik agraria.

Pada Kamis lalu (26/2023) majelis hakim PN Banyuwangi yang diketuai oleh  Moehammad Pandji Santoso dengan anggota Ni Luh Putu Pratiwi dan I Made Gede Trisnajaya Susila menjatuhkan vonis penjara 5 tahun 6 bulan kepada tiga petani Desa Pakel, yakni Mulyadi, Suwarno, dan Untung. Ketiga warga itu diputus bersalah atas Pasal 14 ayat (1) UU No 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tentang Keonaran dan dikenai pidana penjara 5 tahun 6 bulan.  

Catatan kelompok masyarakat sipil yang mendampingi warga Pakel menyebutkan putusan serupa bukan pertama kalinya dialami warga desa yang berperkara di tengah konflik agraria. Pada 2021 lalu, tiga warga Alasbuluh, Kecamatan Wongsorejo, yang memprotes dampak tambang harus merasakan bui selama tiga bulan. Aktivitas tambang itu merusak jalan kampung dan menimbulkan debu berlebihan. Bukannya diakui hak- haknya, tiga warga desa itu malah diganjar pidana penjara 3 bulan karena dianggap menghambat dan menghalangi pertambangan. 

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur, Wahyu Eka Setyawan, berpendapat majelis hakim Pengadilan Negeri Banyuwangi tidak mampu melihat konteks persoalan pada kasus warga Pakel. Desa itu merupakan salah satu tapak konflik agraria yang tengah dalam upaya penyelesaian. Sejak awal laporan penyebaran berita bohong oleh sesama warga sangat erat kaitannya dengan konflik agraria yang tengah terjadi. 

Warga Pakel, Banyuwangi, Jawa Timur, memberikan dukungan tiga warga, Mulyadi, Suwarno, dan Untung, yang didakwa atas dugaan menyebarkan berita bohong. Sumber foto: walhi

“Karena menyangkut persoalan perjuangan warga dalam usaha memperoleh hak atas tanah. Karena dalam fakta persidangan, kami menemukan bahwa kasus ini memiliki hubungan yang erat dengan perjuangan warga dalam mengusahakan hak atas tanah,” ucap dia. 

Telaah penguasaan lahan di Pakel melalui overlay peta kawasan menunjukkan desa itu adalah korban ketimpangan penguasaan tanah. Total luas lahan desa Pakel adalah 1.309,7 hektare, sebanyak 2.760 jiwa warga desa hanya berhak mengelola lahan kurang lebih seluas 321,6 ha.

Penguasaan lahan lainnya berada dalam HGU PT Bumi Sari seluas 271,6 ha dan seluas 716,5 ha dikuasai oleh Perhutani KPH Banyuwangi Barat. 

Ketimpangan penguasaan tanah ini, kata Wahyu, mengakibatkan defisit penguasaan tanah oleh warga. 

“Maka dari itu warga berjuang untuk memperoleh hak atas tanah. Seiring berjalannya waktu, kasus ini juga sudah masuk dalam laporan ke ATR/BPN dan menjadi perhatian, terutama masuk dalam salah satu yang akan diselesaikan, meski tidak secara tertulis, tetapi semua ini diabaikan,” ucap dia.

Kepala Divisi Advokasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, Habibus Shalihin, mengungkap pemidanaan terhadap tiga warga Pakel merupakan upaya kriminalisasi. Laporan berita bohong bertendensi menghambat upaya penyelesaian konflik agraria di Desa Pakel. Perjalanan kasus ini pun terbukti menghambat upaya penyelesaian. 

Kriminalisasi tersebut, ucap dia, dapat terlihat sejak dari awal berjalannya kasus ini. Polisi pada awal penindakan melakukan tindakan sewenang-wenang. Aparat hukum itu tidak menunjukkan surat tugas serta tidak memberikan kepada ketiga petani tersebut surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas.

“Mereka ditangkap saat praperadilan sedang berjalan, penetapan tersangka yang tidak sah berdasarkan peraturan perundang-undangan,” ucap dia.

Tetapi majelis hakim PN Banyuwangi menutup mata atas hal itu. Mereka mengabaikan persoalan konflik agraria di Desa Pakel. Padahal dalam kasus lain yang pernah dialami oleh pelapor, saat dia dikriminalisasi oleh perkebunan, ia divonis bebas. Salah satu dalil hakim PN  Banyuwangi saat itu adalah sedang terjadi konflik agraria.

Pendamping warga Pakel yang tergabung dalam Tim Kerja Advokasi Gerakan Rakyat untuk Kedaulatan Agraria (TeKAD GARUDA) beranggapan sejak awal intimidasi aparat keamanan dirasakan di ruang sidang. Aparat membanjiri ruang sidang. Selain itu pengadilan memberikan pembatasan pengunjung sidang. 

Lebih jauh lagi, pertimbangan hakim mengesampingkan adanya konflik agraria  menyisakan banyak kejanggalan dalam putusan. Misalnya saja surat dan keterangan saksi Badan Pertanahan Nasional (BPN) menyebutkan HGU PT Bumisari tidak berada di Desa Pakel. Hal ini menunjukkan bahwa benar ada sengketa atau konflik agraria yang seharusnya diselesaikan terlebih dahulu.

Kemudian lampiran Akta 1929 yang dilegalisir oleh Notaris berdasarkan UU Jabatan Notaris pasal 15 juga tidak dipertimbangkan bahwa faktanya akta tersebut asli meski dasar kepemilikan merupakan kewenangan BPN bukan peradilan pidana yang menentukan. 

“Kemudian keterangan saksi Suparmo yang datang ke Inspektorat Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan diterangkan bahwa Akta 1929 tidak sah, tidak digali lebih jauh. Seharusnya pegawai KLHK pemberi keterangan itu diperiksa di persidangan,” ucap Shalihin. 

Apalagi Inspektorat Jenderal  KLHK tidak memiliki wewenang menyatakan sah atau tidak dokumen pertanahan, termasuk akta. Peraturan Menteri LHK No P.18/MENLHK-II/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan Inspektorat Jenderal mempunyai tugas pokok melaksanakan pengawasan internal.