Greenpeace: Mengecewakan Indonesia Tak Hadiri KTT Tiga Basin

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Hutan

Selasa, 31 Oktober 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Ketidakhadiran Pemerintah Indonesia dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Tiga Basin di Brazzaville, Kongo, pada 26-28 Oktober 2023 disayangkan sejumlah pihak. Pasalnya, KKT tersebut ditujukan untuk membahas upaya penyelamatan hutan hujan tropis dari kerusakan dan kehancuran. Forum itu mempertemukan para pemimpin dari tiga kawasan yang memiliki hutan hujan terluas di dunia, yaitu Amazon, Kongo, dan Borneo-Mekong-Asia Tenggara.

Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, mengatakan negara-negara di tiga basin ini memiliki lebih dari 80 persen hutan hujan dunia dan dua pertiga keanekaragaman hayati global. Upaya menyelamatkan hutan hujan di tiga kawasan ini sangat krusial di tengah krisis iklim dan biodiversitas yang terjadi sekarang.

“Forum KTT Tiga Basin penting untuk merumuskan langkah konkret dan kerja sama global untuk melindungi hutan hujan tropis. Seharusnya pemerintah Indonesia ikut terlibat aktif untuk memperkuat kerja sama ini, karena kita membutuhkan aliansi global, dan negara-negara Selatan harus menjalin kerja sama yang lebih erat untuk melawan krisis iklim,” kata Arie Rompas, Senin (30/10/2023).

Arie menjelaskan, pada November 2022, Pemerintah Indonesia sebenarnya menyepakati kerja sama penyelamatan hutan hujan tropis dengan Brasil dan Republik Demokratik Kongo (DRC). Aliansi itu terbentuk di sela Konferensi Tingkat Tinggi G20 yang berlangsung di Bali. Namun, dibanding Pemerintah Indonesia, Brasil dan DRC tampaknya lebih berperan aktif dalam terbentuknya inisiatif tersebut.

Deforestasi di Kalimantan Tengah./Foto: Ario Tanoto

Menurut informasi yang diperoleh Greenpeace, lanjut Arie, persiapan Pemilu 2024 menjadi salah satu alasan absennya Pemerintah Indonesia dalam KTT Tiga Basin. Kebijakan menyangkut inisiatif global seperti yang dibahas dalam KTT Tiga Basin itu disebut ‘menjadi kewenangan pemerintahan selanjutnya’.

Arie menuturkan, hutan hujan di Amazon, Kongo Basin, dan Indonesia perlu dilindungi dari berbagai ancaman deforestasi untuk keperluan perkebunan monokultur, infrastruktur, penebangan kayu, dan pertambangan. Menurut Atlas Nusantara, Tahun lalu Indonesia kembali mengalami peningkatan laju deforestasi, dengan deforestasi bruto seluas 208.000 hektare, meningkat 19 persen dibandingkan dengan 2021.

Dalam KTT Tiga Basin, perwakilan Greenpeace Indonesia, Brazil, dan Afrika menyampaikan sejumlah usulan untuk penyelamatan hutan hujan tropis. Salah satu poinnya adalah upaya menyelamatkan hutan hujan tropis tak boleh terlepas dari pengakuan atas peran penting masyarakat adat dan komunitas lokal.

Arie mengungkapkan, lebih dari 75 persen hutan dilindungi oleh masyarakat adat dan komunitas lokal. Namun hingga saat ini, peran dan pengetahuan mereka terhadap perlindungan alam dan keanekaragaman hayati masih belum cukup diakui. Selain itu, dari seluruh dana proyek pengelolaan hutan global dalam satu dekade terakhir, hanya 17 persen yang melibatkan partisipasi masyarakat adat atau organisasi masyarakat lokal.

Greenpeace juga mengkritik solusi palsu penyelamatan hutan lewat skema pasar, seperti perdagangan karbon atau tukar-guling karbon (carbon trade/offset). Pasar karbon, kata Arie, memberikan karpet merah kepada para pencemar lingkungan untuk lepas dari tanggung jawab. Skema ini hanya akan memungkinkan mereka terus menghasilkan emisi gas rumah kaca, alih-alih serius berbenah dan mengubah perilaku.

“Para pemimpin harus berhenti memakai pendekatan pasar seperti perdagangan karbon. Sebaliknya, para pemimpin harus fokus dan serius melibatkan Masyarakat Adat dan komunitas lokal, yang dari banyak data dan fakta di lapangan telah terbukti menjadi garda paling depan penjaga alam dan keanekaragaman hayati,” kata Arie Rompas.