Suhu Panas Membuat Bakteri Jinak Sanggup Bunuh Gajah Afrika
Penulis : Kennial Laia
Satwa
Kamis, 02 November 2023
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - sepanjang Mei - Juni 2020, dunia konservasi global gempar karena kematian misterius 350 gajah di Delta Okavano, Botswana. Kematian ini terjadi pada gajah segala usia dan jenis kelamin. Satwa itu berputar-putar dahulu, lalu tersungkur tiba-tiba. Tak lama, yakni Agustus-September, 35 gajah lainnya ditemukan mati di barat laut Zimbabwe.
Dugaan awal kematian tersebut adalah antraks. Namun, biasanya penyakit antraks menyebabkan kematian individu dan tersebar luas. Sementara itu bangkai gajah yang ditemukan semuanya berjarak hanya beberapa kilometer. Perburuan liar juga disingkirkan, karena seluruh gajah masih dengan gading utuh.
Tiga tahun kemudian, para peneliti menemukan penyebabnya. Hasil pengujian terhadap gajah yang mati di Zimbabwe menunjukkan dalangnya adalah bakteri yang tak banyak diketahui bernama Pasteurella Bisgaard taxon 45, yang menyebabkan septikemia, atau keracunan darah.
Chris Foggin, dokter hewan satwa liar dan penulis utama studi tersebut, penyakit ini terutama membunuh gajah-gajah muda yang sudah disapih, karena mereka cenderung lebih stres dan harus berjalan jauh untuk mendapatkan air. Ketika kematian ini terjadi, Afrika sedang mengalami dua musim kering berturut-turut.
“Kelompok usia tersebut paling tertekan dalam kondisi lingkungan seperti ini dan mungkin paling rentan terhadap infeksi septikemia,” kata Foggin, dikutip Guardian.
Dalam artike yang ditebitkan di jurnal ilmiah Nature Communications, para peneliti mengatakan bakteri ini sebelumnya tidak diketahui membunuh gajah.
Ketika bumi memanas, suhu menghangat, dan kondisi kekeringan menjadi lebih sering terjadi, gajah akan lebih sering berada dalam kondisi stres, sehingga membuat wabah penyakit lebih mungkin terjadi.
“Hal yang paling mengkhawatirkan adalah kami yakin Pasteurella Bisgaard taxon 45 berpotensi membunuh gajah dalam jumlah besar,” kata Foggin.
Yang juga mengkhawatirkan adalah betapa sedikitnya pengetahuan para ilmuwan tentang Pasteurella Bisgaard taxon 45, dan seberapa sering ia pernah membunuh sebelumnya. “Pada tahap ini, kami tidak tahu mengapa bakteri ini muncul dan menghilang,” kata Foggin.
Kematian massal mendadak lainnya bisa terjadi
Dalam studinya, para peneliti mengatakan bahwa kematian serupa bisa terjadi di masa depan. Ada preseden untuk hal ini. Bakteri Pasteurella sebelumnya dikaitkan dengan kematian massal sekitar 200.000 kijang saiga di Kazakhstan pada Mei 2015.
Para peneliti meyakini insiden ini dapat menjelaskan apa yang terjadi pada kawanan gajah di Afrika. Makalah tersebut menganalisis strain Zimbabwe menunjukkan bahwa bakteri tersebut sangat mirip dengan bakteri yang membunuh kijang pada 2015.
Mereka percaya bakteri Pasteurella umumnya hidup tidak berbahaya di amandel beberapa hewan seperti kijang. Namun peningkatan suhu yang tidak biasa hingga 37C atau gelombang panas menyebabkan bakteri masuk ke aliran darah dan menyebabkan septikemia fatal.
Dalam kondisi gelombang panas, bakteri serupa telah memasuki aliran darah kijang dan menyebabkan kematian massal. Ketika kondisi bumi memanas dan panas serta kering menjadi lebih umum terjadi, para ilmuwan khawatir hal ini dapat terjadi pada spesies lain, dan menyerukan pengujian lebih lanjut untuk mengetahui skala ancamannya.
Takson Bisgaard 45 juga ditemukan pada harimau dan singa (ditemukan melalui pengujian luka gigitan pada manusia) serta pada tupai dan jenis burung beo psittacines, menurut studi tersebut.
Para ilmuwan khawatir hal ini dapat terjadi pada spesies lain, dan menyerukan pengujian lebih lanjut untuk mengetahui skala ancamannya.
Studi tersebut mengatakan, temuan ini menambah daftar ancaman bagi konservasi gajah savana Afrika. Satwa ini berstatus terancam punah, dan populasinya menurun 8% per tahun akibat perburuan liar. Saat ini sekitar 350.000 gajah Afrika hidup di alam liar.
Dalam studi tersebut, para ilmuwan menyimpulkan enam dari 15 gajah yang diteliti terinfeksi bakteri Pasteurella. Sampel yang digunakan dalam studi ini diambil dari kematian periode Agustus - September 2020 di Botswana. Meskipun jumlah sampel terbatas, studi tersebut meyakini bahwa bakteri tersebut terkait dengan ratusan kematian gajah Afrika lainnya.