Dokumen JETP: Target Baru Bauran Energi Terbarukan 44% Pada 2030

Penulis : Kennial Laia

Energi

Jumat, 03 November 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Pemerintah menaikkan target bauran energi terbarukan secara signifikan. Dalam draf dokumen perencanaan dan kebijakan investasi komprehensif atau comprehensive investment and policy plan (CIPP) untuk kerja sama transisi energi Just Energy Transition Partnership, angkanya menjadi 44% dari sebelumnya 34% pada 2030. Namun dokumen itu dinilai belum sejalan dengan Perjanjian Paris. 

Draf dokumen ini dipublikasikan pemerintah untuk konsultasi publik pada Rabu, 1 November 2023. Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai,  dokumen CIPP yang memuat penetapan pencapaian target niremisi karbon (net zero emissions, NZE) di sektor ketenagalistrikan pada 2050 ini belum selaras dengan Persetujuan Paris yang mendorong pengakhiran penggunaan pembangkit berbahan bakar energi fosil pada 2040. 

Tidak hanya itu, target penurunan emisi hanya difokuskan pada emisi pembangkit listrik pada jaringan PLN, tetapi tidak pada emisi sektor kelistrikan secara menyeluruh,  yang mencapai 250 juta ton karbon dioksida ekuivalen pada 2030. Angka ini belum termasuk target pengurangan emisi dari pembangkit  untuk kebutuhan sendiri (captive power). 

Jika dikombinasikan, maka target puncak emisi total menjadi jauh lebih tinggi daripada yang diproyeksikan pada saat negosiasi Just Energy Transition Partnership (JETP) tahun lalu. Selain itu, rencana pengakhiran operasional PLTU batu bara dengan total kapasitas 5 gigawatt (GW) yang ada di draf sebelumnya dihapuskan karena ketidakjelasan sumber pendanaan dari International Partners Group (IPG) yang menggawangi pendanaan tersebut. 

Ilustrasi energi terbarukan )lpbi-nu.org)

IESR menilai penghapusan rencana pengakhiran operasional PLTU batu bara ini akan menyulitkan Indonesia mencapai target net-zero pada 2050 dan meningkatkan bauran energi terbarukan setelah 2030. Dalam skenario JETP saat ini, penurunan emisi didapatkan dengan penurunan utilisasi PLTU batu bara. Sehingga, pencapaian target baru 44% bauran energi terbarukan pada 2030 dapat tercapai  apabila  adanya peningkatan fleksibilitas operasi PLTU batubara PLN, tinjauan kontrak PLTU batu bara swasta, serta dukungan regulasi untuk percepatan pengembangan energi terbarukan di Indonesia. 

Adapun rencana pembangunan energi terbarukan yang memberikan  porsi besar pada pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) dan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) karena menyesuaikan prioritas PLN, dapat  menjadi risiko dalam mencapai target tersebut. Hal ini mengingat masa pengembangan  proyek PLTP yang mencapai delapan hingga 12 tahun, dan PLTA yang bisa mencapai enam hingga 10 tahun.

“Dihapuskannya  rencana pengakhiran operasional 5 GW pembangkit batu bara sebelum 2030 karena ketiadaan dukungan pendanaan sangat disesalkan. Ini membuat JETP Indonesia semakin jauh dari target Perjanjian Paris,” kata Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, dalam keterangan tertulis, Kamis, 2 November 2023. 

Berdasarkan hasil kajian IESR, untuk mencapai target puncak emisi sebelumnya sebesar 290 juta ton karbon dioksida, Indonesia perlu mengakhiri 8,6 GW pembangkit di jaringan listrik PLN pada 2030. 

Fabby mengatakan, perlu dilakukan dialog lanjutan dengan IPG untuk mengeksplorasi blended finance (pendanaan campuran) dengan skema matching fund (dana padanan) di mana pendanaan pensiun dini PLTU berasal dari tambahan dana di atas komitmen IPG dan disamakan dengan dana dari sumber APBN serta sumber lainnya.

IESR juga menyoroti dokumen CIPP yang belum mempertimbangkan pengakhiran operasional PLTU captive yang dioperasikan oleh perusahaan utilitas di luar PLN. 

“Tantangan PLTU captive memang beragam tergantung dari industri yang disuplai. Namun, sudah ada dasar Peraturan Presiden 112/2022 yang mewajibkan pengurangan emisi sebesar 35% dan pengakhiran operasi maksimal 2050. Sehingga strategi pengurangan emisi maupun pengakhiran operasi lebih awal untuk PLTU captive dan untuk wilayah usaha lainnya perlu segera ditinjau,” kata Manajer Program Transformasi Energi IESR, Deon Arinaldo. 

Analis Senior IESR Raditya Wiranegara mengatakan, reformasi kebijakan dan peningkatan komitmen pembuat kebijakan dan pemangku kepentingan krusial dalam mengimplementasikan CIPP dengan target 44% bauran energi terbarukan pada 2030. Kapasitas energi terbarukan Indonesia sebesar 12,6 GW saat ini perlu ditambah sebesar 62 GW sehingga mencapai sekitar 75 GW kapasitas energi terbarukan pada 2030.

Upaya ini akan menemui sejumlah tantangan, termasuk proses pengadaan pembangkit energi terbarukan. Menurut Raditya, hal ini sering terbentur dengan persiapan proyek, termasuk di dalamnya studi konektivitas jaringan, akuisisi lahan, dan penyelesaian izin-izin terkait sebelum proses lelang. 

“Di Indonesia, hal ini masih menjadi tanggungan di pengembang, membuat prospek investasi terbarukan hanya bisa terjamah oleh ‘pemain-pemain’ tertentu saja,” ujar Raditya. 

“Reformasi kebijakan yang menitikberatkan pada efisiensi dan kemudahan di dalam proses pengadaan pembangkit energi terbarukan mutlak diperlukan jika nantinya target ekspansi kapasitas ingin tercapai,” kata Raditya. 

Upaya penurunan emisi yang tercantum pada dokumen CIPP juga perlu menekankan aspek keadilan dengan mengikutsertakan partisipasi masyarakat. Berdasarkan berbagai kajian IESR tentang mitigasi dampak transisi energi di daerah penghasil batu bara, pemerintah perlu meningkatkan kapasitas institusi pemerintah pusat dan daerah dalam mengimplementasikan transisi energi serta melakukan diversifikasi ekonomi ke ekonomi yang lebih berkelanjutan.