Aktivis Desak Pencabutan Aturan Pemutihan Sawit Ilegal Korporasi
Penulis : Kennial Laia
Sawit
Jumat, 03 November 2023
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Koalisi organisasi masyarakat sipil pemerhati lingkungan hidup kembali mendesak pemerintah untuk membatalkan aturan pemutihan atau pengampunan dosa korporasi sawit yang membuka kebun secara ilegal di dalam kawasan hutan. Pemerintah juga diminta untuk membuka data dan informasi perusahaan yang terlibat dalam proses penyelesaian tersebut.
Pemutihan atau penyelesaian sawit ilegal di dalam kawasan hutan diatur dalam Pasal 110a dan 110b Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja).
Menurut data pemerintah, terdapat 3,3 juta hektare sawit ilegal di dalam kawasan hutan. Dengan mekanisme tersebut, perusahaan atau perorangan dapat mengajukan permohonan pelepasan kawasan hutan. Dengan proses inilah, hutan yang tadinya dibuka secara ilegal, sah menjadi kebun legal milik perusahaan.
Proses ini berlaku tiga tahun sejak undang-undang diterbitkan. Artinya tenggat waktunya jatuh pada Kamis, 2 November 2023. “Melalui surat terbuka ini, kami koalisi organisasi masyarakat sipil menegaskan bahwa pemutihan terhadap sawit ilegal dalam kawasan hutan ini patut untuk dihentikan dan dievaluasi,” demikian pernyataan dalam surat tersebut.
Surat terbuka ini dilayangkan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar dan Menteri Koordinator Ekonomi dan Investasi Luhut Bisar Pandjaitan, Kamis, 2 November 2023. Luhut juga menjabat sebagai ketua pengarah Satuan Tugas (Satgas) Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara. Satgas ini dibentuk sebagai bagian dari penyelesaian sawit dalam kawasan hutan.
Berdasarkan inventarisasi data sawit dalam kawasan hutan milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), luas indikatif perkebunan sawit ilegal ini sebesar 1,68 juta hektare atau 1.679 unit kebun. Dari angka ini, 1.263 unit kebun dimiliki perusahaan atau korporasi dengan total luas 1,47 juta hektare.
Sisanya, 119 unit kebun milik koperasi seluas 99.654,47 hektare, dan 297 unit kebun milik masyarakat atau kelompok tani dengan luas 106.196,90 hektare.
Menurut Wahyu Perdana, kebijakan yang mengampuni kebun sawit ilegal milik perusahaan ini berdampak buruk pada lingkungan hidup serta mencederai komitmen pemerintah untuk menekan laju kenaikan suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celcius.
Analisis Pantau Gambut terhadap lebih dari 407 ribu hektare sawit terletak di Kesatuan Hidrologis Gambut pada area yang diputihkan, dan 84% di antaranya berada di lahan gambut dengan fungsi lindung.
“Aktivitas perkebunan ini akan memicu dan memperparah kebakaran hutan dan lahan gambut,” kata Wahyu saat dihubungi Betahita, Kamis, 2 November 2023.
Menurut Koalisi, kebijakan ini juga menimbulkan ketidapkastian hukum. Ini akan menjadi preseden bahwa investasi di Indonesia dapat dilakukan tanpa izin, karena nantinya mendapatkan pengampunan atau pemutihan dari pemerintah.
Aturan ini juga dinilai berdampak pada pemenuhan target keuangan berkelanjutan, yang melibatkan kewajiban pembukaan atau disclosure perusahaan terkait risiko lingkungan hidup dalam bisnisnya.
Hasil identifikasi dari Greenpeace & TuK Indonesia menunjukkan, banyak korporasi yang masuk dalam skema pemutihan sawit ilegal mendapat pendanaan dari bank-bank besar, nasional maupun global, serta berkorelasi dengan grup korporasi besar yang sebenarnya memiliki kapasitas untuk melakukan penyelesaian administratif tanpa perlu mendapatkan ‘karpet merah’ dari pemerintah.
Pemerintah harus membuka data perusahaan terkait pemutihan sawit ilegal
Terkait proses pengampunan sawit ilegal yang sedang berlangsung, Manajer Kampanye Pelaksana Hutan dan Pertanian Wahana Lingkungan Hidup Indoensia (Walhi) Uli Arta Siagian mengatakan, pemerintah harus membuka daftar perusahaan yang masuk di dalam mekanisme pemutihan sawit ilegal.
Di antaranya adalah daftar nama perusahaan yang beroperasi secara ilegal dan telah memperoleh pelepasan kawasan hutan sebelum tanggal 2 November 2023; serta perusahaan yang beroperasi secara ilegal dalam kawasan hutan yang masih dalam proses pengajuan pelepasan kawasan hutan sebelum tanggal 2 November 2023.
Koalisi juga mendesak pemerintah untuk membuka daftar nama perusahaan yang beroperasi secara ilegal dalam kawasan hutan, dan sama sekali belum mengajukan proses pelepasan kawasan hutan sebelum 2 November 2023.
Berdasarkan data KLHK, dari 1.263 unit kebun ilegal milik perusahaan yang terinventarisasi, yang dinyatakan sudah melengkapi persyaratan untuk permohonan penyelesaiannya adalah 1.131 unit kebun, seluas 1,37 juta hektare. Artinya masih ada 132 unit kebun perusahaan yang belum layak diproses, dengan luas sekitar 100 ribu hektare.
“Kami meminta KLHK untuk membatalkan permohonan pelepasan kawasan hutan bagi perusahaan yang masuk dalam kategori masih dalam proses pengajuan. Ini seharusnya sudah batal demi hukum, karena tenggat waktunya adalah 2 November 2023,” kata Uli.
Menurut Uli, keterbukaan informasi dalam proses pemutihan sawit ilegal korporasi ini sangat penting. “Selama tiga tahun, setelah pasal 110a dan 110b dimandatkan, semua proses tertutup sekali. Masyarakat sipil tidak bisa mengakses proses dan siapa saja perusahaan yang terlibat,” kata Uli.
“Ketertutupan ini membangun diskresi yang besar di pemerintahan, sehingga kebijakan yang dikeluarkan menguntungkan pihak tertentu seperti perusahaan,” kata Uli.
“Tidak akan ada proses yang adil dan baik ketika keterbukaan informasi tidak dijalankan,” ujar Uli.
Koalisi tersebut terdiri dari enam organisasi masyarakat sipil yang bergerak untuk perlindungan lingkungan hidup dan hak asasi manusia, yakni Pantau Gambut, Greenpeace Indonesia, TuK Indonesia, Walhi, YLBHI, dan Satya Bumi.