Kota Medellin Turunkan Suhu dengan Koridor Pohon--Apa cara kita?

Penulis : Kennial Laia

Perubahan Iklim

Sabtu, 04 November 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -   Medellín, kota terbesar kedua di Kolombia setelah Bogotá, memulai program koridor hijau pada 2016. Inisiatif ini didorong oleh kekhawatiran terhadap tingginya polusi udara dan meningkatnya suhu. Urbanisasi dan pembangunan infrastruktur menjadi faktor peningkatan polusi udara tersebut. 

Program itu terdiri lebih dari 30 koridor hijau, yang menghubungkan tepi jalan yang baru dihijaukan, taman vertikal, sungai, taman, dan perbukitan di sekitarnya. Awalnya proyek ini melibatkan penanaman sekitar 120.000 tanaman dan 12.500 pohon di jalan dan taman, dengan 2,5 juta tanaman baru yang lebih kecil dan 880.000 pohon ditanam di seluruh kota pada 2021. 

Idenya adalah untuk menghubungkan ruang hijau di kota melalui jalan raya dan jalan-jalan yang dikelilingi oleh pepohonan dan naungan. Investasi awal untuk membangun proyek ini menelan biaya total $16,3 juta dan biaya pemeliharaan tahunan $625,000 pada 2022, menurut pemerintah setempat.

Kini, proyek ini menjadi terkenal di seluruh dunia karena dampaknya yang luar biasa dalam mendinginkan kota. Selain mengurangi panas, para ahli mengatakan program ini bermanfaat meningkatkan kualitas udara dan membawa kembali satwa liar ke kota. 

Dua dewasa dan satu anak-anak berjalan di tengah air pasca banjir besar melanda Pakistan Juni lalu. Bencana tersebut dipicu curah hujan ekstrem dan mencairnya gletser usai gelombang panas parah, yang semuanya terhubung dengan perubahan iklim. Dok EPA

Dalam pernyataan terbarunya, Direktur Eksekutif Program Lingkungan PBB (UNEP) Inger Andersen mengatakan, memperbanyak dan memulihkan kawasan hijau seperti Medellín di seluruh dunia dapat menjadi salah satu upaya adaptasi yang penting untuk menghadapi krisis iklim. Organisasi tersebut mencatat bahwa koridor hijau di Medellín mampu menurunkan suhu sebesar 2 derajat Celcius di kota tersebut. 

Andersen mengingatkan upaya adaptasi ini bertepatan dengan laporan terbaru UNEP yang terbit Kamis, 2 November 2023. Menurut laporan tersebut, upaya adaptasi sebenarnya sangat hemat biaya. Misalnya, setiap $1 miliar yang diinvestasikan dalam perlindungan terhadap banjir pesisir akan mengurangi kerusakan ekonomi sebesar $14 miliar. Selain itu, langkah-langkah perlindungan akan membatasi kompensasi di masa depan yang harus dibayarkan melalui dana kerugian dan kerusakan baru (loss and damage) yang diminta oleh negara-negara berkembang untuk diterapkan pada COP28.

Meski demikian, laporan tersebut mencatat bahwa upaya adaptasi saat ini cenderung dilupakan. UNEP menilai bahwa dunia “sangat” kurang siap menghadapi dampak krisis iklim yang semakin parah yang telah menimpa miliaran orang di seluruh dunia. 

Hal ini terlihat dari pendanaan internasional untuk melindungi masyarakat dari gelombang panas, banjir, dan kekeringan hanya sebesar 5-10% dari kebutuhan saat ini. Angkanya bahkan menurun dalam beberapa tahun terakhir, seiring dampak cuaca ekstrem yang semakin parah. 

Laporan UNEP ini memperkirakan bahwa dibutuhkan antara $215 miliar dan $387 miliar per tahun untuk adaptasi iklim di negara-negara miskin dan rentan saja pada dekade ini. Namun, pendanaan justru turun sebesar 15% – menjadi hanya $21 miliar – pada 2021, kata laporan itu.

Negara-negara kaya berjanji pada KTT iklim PBB di Glasgow 2021 untuk menyediakan $40 miliar pada 2025. Menyediakan langkah-langkah adaptasi yang diperlukan untuk melindungi masyarakat dari dampak iklim adalah prioritas utama KTT COP28, yang dimulai di Uni Emirat Arab pada 30 November, serta mengurangi emisi karbon.

“Sebagai sebuah peradaban, kita kurang siap. Kita tidak memiliki perencanaan atau investasi yang memadai, dan hal ini membuat kita semua terekspos (pada dampak krisis iklim),” kata Andersen. 

“Pada 2023, perubahan iklim kembali menjadi lebih mengganggu dan mematikan. Kita telah melihat buktinya di depan mata kita dan di layar TV berulang kali,” ujar Andersen. Dia menyoroti banjir di Eropa dan Tiongkok, panas ekstrem dan kebakaran hutan di AS dan Kanada, serta kekeringan di Afrika Timur.

Andersen mengatakan penurunan pendanaan adaptasi sangat mengkhawatirkan. “Hal ini mempunyai implikasi besar bagi masyarakat yang harus menghadapi dampak iklim yang sangat besar tanpa perlindungan apa pun.” 

Terkait membatasi kerugian dan kerusakan, dia berkata: “Semakin lama Anda meninggalkan [adaptasi], semakin besar rasa sakit yang akan Anda rasakan.”

Sekretaris Jenderal PBB António Guterres mengatakan, kehidupan dan penghidupan di bumi hilang dan hancur, dan kelompok rentanlah yang paling menderita. Di sisi lain, aksi bantuan justru terhenti ketika kebutuhan kelompok rentan ini meningkat di tengah krisis. 

“Dunia harus mengambil tindakan untuk menutup kesenjangan adaptasi dan mewujudkan keadilan iklim,” kata Guterres. 

“Para raja bahan bakar fosil dan pendukungnya telah membantu menciptakan kekacauan ini; mereka harus mendukung pihak yang menderita akibat dampaknya [jadi] saya menyerukan kepada pemerintah untuk mengenakan pajak atas keuntungan industri bahan bakar fosil,” kata Guterres. 

Tom Evans dari lembaga penelitian iklim E3G mengatakan: “Adaptasi adalah masalah kelangsungan hidup dalam menghadapi dampak iklim yang semakin parah dan sering terjadi. Sudah terlalu lama tugas-tugas rumit dan sulit ini diabaikan.”

“Tetapi dengan bencana iklim yang terjadi lebih cepat dan lebih parah dari yang diperkirakan, pemikiran jangka pendek ini perlu dihentikan. Kemampuan miliaran orang untuk mengatasi kerusakan iklim bergantung pada para pemimpin politik yang menanggapi agenda ini dengan lebih serius,” ujarnya. 

Dalam laporannya, Unep menyimpulkan bahwa “Tindakan iklim saat ini sangat tidak memadai untuk memenuhi tujuan suhu dan adaptasi dalam perjanjian Paris.” 

Laporan itu menyebut bahwa 55 negara yang paling rentan terhadap perubahan iklim telah menderita kerugian lebih dari $500 miliar dalam dua dekade terakhir. “Biaya ini akan meningkat tajam dalam beberapa dekade mendatang, terutama jika tidak ada [pengurangan emisi] yang tegas,” tulis laporan tersebut. 

Langkah-langkah perlindungan yang diperlukan mencakup pertahanan pesisir, dengan naiknya air laut yang mengancam jutaan orang, dan pencegahan banjir perkotaan, dengan curah hujan yang semakin deras. Kota-kota perlu beradaptasi lebih baik terhadap gelombang panas, kata Andersen, dan pertanian juga perlu beradaptasi terhadap lebih banyak kekeringan.

Laporan tersebut menemukan bahwa lebih dari 80% negara memiliki setidaknya satu rencana adaptasi nasional. Namun Anderson mengatakan kuncinya adalah memobilisasi investasi untuk mendanai rencana tersebut. Reformasi di Bank Dunia dan lembaga keuangan internasional lainnya untuk menyediakan lebih banyak pendanaan iklim adalah hal yang penting, kata laporan itu, serta peningkatan belanja pemerintah dan dunia usaha.

Laporan tersebut juga mengatakan biaya kerugian dan kerusakan kemungkinan akan meningkat secara signifikan. Artinya, sumber pendanaan inovatif, seperti pungutan penerbangan dan pelayaran serta keringanan utang, perlu dijajaki. 

“Beberapa di antaranya sangat kontroversial di kalangan tertentu, namun kenyataannya biayanya semakin meningkat dan oleh karena itu kita perlu melihat semua peluang,” kata Andersen. 

Ayo Pohonisasi Halaman Rumah

Kita juga bisa meniru program koridor hijau Kota Medellin secara mandiri. Caranya: pohonisasi halaman dan setiap tanah kosong.

Pakar pohon, Tukirin, menyebutkan pohon sangat efektif untuk menekan suhu di cuaca terik. Pohon, ujarnya, memberikan dua perlindungan terhadap cuaca terik.

Pertama, tutupan kanopi pohon dapat melindungi kawasan di sekitar pohon dari matahari langsung. Maka, ia merekomendasikan pohon dengan tutupan tajuk rindang dan tidak gugur ketika musim kemarau sehingga dapat melindungi lingkungan sekitar dari terik matahari.

Untuk kawasan rumah yang memiliki halaman terbatas, berbagai pohon lokal berukuran tak terlalu besar bisa menjadi pilihan, seperti pohon nagasari (Mesua ferrea), kayu gading gajah (Diospyros buxifolia).

Perlindungan kedua adalah proses stomata ketika mengatur suhu dan kelembaban. Tumbuhan, termasuk pohon, menjaga suhu agar tidak terlalu panas sehingga proses fotosintesis dapat berjalan efektif. Ketika stomata terbuka, uap air keluar melalui transpirasi.

Hal ini membantu menjaga kelembaban di dalam tumbuhan dan mengangkut air dan nutrisi dari akar ke bagian atas tumbuhan.

“Kalau kita bayangkan, stomata itu semacam menyemprotkan uap air melalui kipas ketika di Padang Arafah ketika musim haji. Jadi uap air itu menjaga suhu agar tidak terlalu panas,” ucap dia.