Pengabaian Asas Kumulasi Eksternal Sawit dalam Kawasan Hutan

Penulis : Ifziwarti, Peneliti Bidang Hukum Auriga Nusantara

Opini

Senin, 06 November 2023

Editor : Yosep Suprayogi

LANGKAH pemerintah dalam penyelesaian 3,3 juta hektare sawit ilegal di kawasan hutan yang akan jatuh tempo pada 2 November merupakan bentuk keberpihakan pemerintah kepada para pelanggar di bidang kehutanan. Dengan menggunakan UU Ciptq Kerja, pelanggaran tersebut hanya dikenai sanksi administrasi, padahal sanksi pidana juga dapat diterapkan secara bersamaan. Pengenaan sanksi pidana penting sebagai bentuk pengakuan negara bahwa negara bertanggung jawab mencegah terjadinya kerusakan lingkungan.

Sebelum era UU Cipta Kerja, korporasi yang memiliki kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin dapat dipidana penjara paling singkat 8 tahun, paling lama 20 tahun, serta pidana denda paling sedikit Rp 2 miliar dan paling banyak Rp 50 miliar, seperti disebutkan dalam Pasal 92 ayat 2, UU Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan. Setelah berlakunya UU Cipta Kerja, seperti disebutkan dalam Pasal 110A dan Pasal 110B, keberadaan sawit ilegal dalam kawasan hutan itu dianggap sebagai bentuk keterlanjuran.  Penyelesaiannya berupa sanksi administrasi yang berprinsipkan ultimum remedium.

Korporasi oleh negara diberikan kesempatan untuk mengurus dan menyelesaikan segala bentuk perizinan hingga 3 November 2023. Apabila dalam jangka waktu tersebut korporasi tidak menyelesaikan segala urusan perizinan maka sanksi administrasi saja yang akan diberlakukan.

Penerapan Kurang Pas Ultimum Remedium

Pemerintah mengklaim UU Cipta Kerja merupakan terobosan baru penyelesaian sawit dalam kawasan hutan. Dengan mengedepankan prinsip ultimum remedium, pengenaan sanksi administrasi dikedepankan sebelum sanksi pidana, terhadap pelanggaran yang bersifat administratif dan tidak menimbulkan dampak terhadap kesehatan, keselamatan, atau lingkungan. Pemerintah menerapkan prinsip ini dengan pertimbangan bahwa pemberlakukan sanksi pidana dalam peraturan yang sifatnya administratif tidak efektif, karena pidana berfokus pada pemberian efek jera kepada pelaku. Sedangkan, yang perlu dilihat dalam penyelesaian sawit dalam kawasan hutan, adalah upaya untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan pelanggaran.

Enam organisasi masyarakat sipil melayangkan surat terbuka ke KLHK pada Kamis, 2 November 2023. Mereka mendesak agar pemerintah mencabut mekanisme pemutihan sawit ilegal dalam kawasan hutan dalam UU Cipta Kerja, serta transparansi data dan informasi korporasi yang terlibat dalam proses penyelesaian tersebut. Dok Istimewa

Prinsip ultimum remedium merupakan salah satu asas hukum pidana yang menerapkan sanksi pidana sebagai upaya terakhir dalam penegakan hukum, setelah upaya lain dilakukan atau upaya lain tidak memadai. Upaya lain yang dimaksud adalah upaya penyelesaian melalui  jalur perdata dan administrasi. Asas ultimum remedium jika dikaitkan dengan penegakan hukum pidana bidang lingkungan dapat dilaksanakan jika upaya hukum administrasi tidak berhasil, sebagai upaya terakhir dalam memperbaiki kerusakan lingkungan.

Namun prinsip ultimum remedium dalam pemberlakuan keterlanjuran sawit dalam kawasan hutan tidak sejalan dengan norma pasal dalam UU Cipta Kerja. Soalnya, tak ada satu pun pasal dalam Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H) yang kemudian ditambah dengan Pasal 110A dan Pasal 110B dalam UU Cipta Kerja yang secara eksplisit menyebutkan pemberlakuan prinsip ultimum remedium.

Contoh baik pemberlakuan prinsip ultimum remedium dalam suatu norma adalah UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pada Pasal 100 Ayat 1 dan 2. Ayat 1 pasal itu menyebutkan, setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi atau baku mutu gangguan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak 3 miliar rupiah. Kemudian, ayat duanya menyatakan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat satu hanya dapat dikenakan apabila sanksi administrasi yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali.

Jika saja dalam UU Cipta Kerja dan UU P3H terdapat pasal yang menyebutkan tindak pidana dapat dilakukan apabila sanksi administrasi tidak dilaksanakan, maka penerapan prinsip ultimum remedium dapat diterapkan. Karena tak ada pasal yang menegaskan perihal tindak pidana itulah, penegak hukum dapat menerapkan secara bersamaan sanksi administrasi dan sanksi pidana, berdasarkan asas kumulasi eksternal dalam hukum pidana administrasi.

Penerapan Asas Kumulasi Eksternal

Dalam penegakan hukum administrasi ada empat hal pokok yang menjadi dasar penggunaan wewenang penegakan hukum administrasi, yaitu legitimasi, instrument yuridis, norma hukum administrasi, dan kumulasi sanksi. Kumulasi sanksiterdiri dari kumulasi eksternal dan kumulasi internal.

Dalam kasus penyelesaian sawit dalam kawasan hutan yang berizin, penerapan asas kumulasi eksternal menunjukkan ketegasan negara dalam melindungi lingkungan hidup dari kerusakan dan eksploitasi yang berlebihan. Dalam penyelesaian persoalan sawit dalam kawasan hutan yang tidak memiliki perizinan kehutanan maupun perizinan berusaha seharusnya pengenaan sanksinya juga dapat menggunakan asas kumulasi eksternal.

Menurut asas kumulasi eksternal, jika dalam suatu undang-undang terdapat sanksi administrasi dan sanksi pidana, maka kedua sanksi ini dapat berlaku secara bersamaan. Adapun pengenaan sanksi administrasi tersebut tidak serta merta menghapus sanksi pidananya, begitu pun sebaliknya.

Tidak ada larangan menerapkan sanksi administrasi bersama dengan sanksi pidana ini. Philipus M. Hadjon (1995) dalam Jurnal Penegakan Hukum Administrasi dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan penerapan asas kumulasi eksternal dapat diterapkan sebab antara sanksi administrasi dan sanksi pidana dalam penegakan hukum lingkungan terdapat perbedaan, baik dalam sifat maupun tujuannya. Demi perlindungan lingkungan hidup harusnya segala upaya dikerahkan agar ada tak satu pihak pun berani semena-mena memanfaatkan alam lalu merusaknya tanpa diberi efek jera.

Asas kumulasi eksternal inilah yang oleh pemerintah terkesan diabaikan. Alasannya, pemerintah lebih memilih mengejar pelaku usaha untuk segera melapor dan menyelesaikan persyaratan perizinan kehutanan, sehingga 3.3 juta hektare sawit dalam kawasan hutan tanpa perizinan dapat dituntaskan. Padahal, jika dalam proses penyelesaian administrasi ini ada indikasi tindak pidana, harusnya sanksi pidana tetap dapat dikenakan.

Penerapan Pasal 110 A dan Pasal 110 B UU Cipta Kerja tentang pengenaan sanksi administrasi atas perbuatan yang dilarang dalam Pasal 17 UU P3H, yang kemudian dianggap sebagai keterlanjuran, seharusnya tidak menghapus pengenaan sanksi pidana terhadap pelaku usaha yang melakukan kegiatan perkebunan di kawasan hutan tanpa izin kehutanan dan izin berusaha, yang memiliki dampak kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan dan/atau lingkungan. Untuk perbuatan yang dilarang dalam Pasal 17 UU P3H itu dapat dikenakan sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 110 A dan 110 B UU Cipta Kerja, kemudian pengenaan sanksi pidana dapat pula dikenakan, merujuk ke dalam Pasal 92 dan Pasal 93 UU P3H. Sehingga, prinsip ultimum remediun dalam penyelesaian sawit di kawasan hutan tidaklah tepat dan asas kumulasi eksternal mestinya dapat dipakai.

Pengenaan sanksi dengan menerapkan asas kumulasi eksternal ini diharapkan membuat pelaku usaha yang memiliki kegiatan usaha perkebunan sawit dalam kawasan hutan, tapi tidak memiliki izin kehutanan maupun izin usaha, tidak hanya diberi sanksi administrasi, namun jika terindikasi ada tindak pidana tetap dikenakan sanksi pidana. Apalagi, pada kenyataannya pelaku usaha ini merupakan korporasi yang memiliki modal dan keuntungan yang besar, sehingga membayar denda administratif bukanlah masalah besar dibandingkan keuntungan yang akan didapat dari persetujuan pelepasan kawasan dan keuntungan bebas dari pengenaan sanksi pidana.

Seyogyanyalah, demi perlindungan sumber daya alam dan lingkungan dilakukan segala daya dan upaya untuk mengejar para pelaku pengrusakan alam.