UU Cipta Kerja Rampas Ruang Laut via Privatisasi - Ocean For Sale

Penulis : Gilang Helindro

Kelautan

Selasa, 07 November 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Visi poros maritim dunia di era Pemerintahan Jokowi jadi sorotan. Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia dalam kajiannya menyatakan, melalui UU Cipta Kerja, perampasan ruang laut justru terjadi. "Melalui privatisasi," kata 
Felicia Nugroho, Manajer Riset DFW dalam konferensi pers Ocean For Sale: Potret Kebijakan Maritim di 4 Tahun Era Jokowi-Amin, Jum’at, 3 November 2023. 

Felicia menyatakan perampasan adalah apabila tidak ada pelibatan publik, transparansi dari pemerintah, dan akuntabilitas dari pembuat kebijakan.

“Keterlibatan publik yang substansial juga menentukan kepada siapa kebijakan maritim berpihak. Nyatanya, yang terlihat dari Pemerintahan Jokowi adalah pemerintah membuka ruang privatisasi melalui perubahan kebijakan, zonasi, dan kuota, mengorbankan kesehatan laut dan perlindungan HAM, dan membiarkan carut marut dalam pengawasan laut,” jelasnya.

Felicia menegaskan pemerintah bisa saja mengklaim kebijakan yang dikeluarkan ditujukan untuk kesejahteraan, tetapi nyatanya masyarakat pesisir dan nelayanlah yang tergusur, terpinggirkan, dan dipaksa untuk bertanggung jawab atas kerusakan ekologi laut.

Potret udara rencana lanjutan pembangunan permukiman di Pulau G, tampak sampah berserakan di bibir Pulau. Kamis, 3 Agustus 2023. Foto: Gilang/Betahita

Menurut Felicia, pemerintah pusat membagi laut menjadi Rencana Zona Kawasan Nasional Strategis, Kawasan Nasional Strategis Tertentu, dan Kawasan Pemanfaatan Umum di tingkat nasional. Lalu, di tingkat provinsi Pemerintah Daerah mendapat mandat untuk merumuskan Perencanaan Zonasi Wilayah Pulau-Pulau Terkecil (RPZWP3K). “Zonasi seharusnya dapat menjamin ruang bagi masyarakat pesisir dan nelayan. Nyatanya, perumusan zonasi kehilangan syarat terpentingnya yaitu pelibatan masyarakat-masyarakat terdampak,” kata Felicia.

Pihak yang dilibatkan dalam kebijakan zonasi, ujar Felicia, justru korporasi. Izin zonasi ini menjamin kebutuhan pariwisata, industri, dan pertambangan untuk mengeksploitasi sumber daya pesisir dan mengusir nelayan dan masyarakat pesisir yang mencoba merebut kembali tanah mereka. "Perampasan yang disponsori oleh zonasi juga terlihat dari pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus, Destinasi Wisata Premium yang sarat akan pelanggaran HAM," katanya.

Di Mandalika, Komisi HAM PBB menyatakan terdapat pelanggaran HAM setelah adanya penggusuran paksa dan pengerahan aparat. Contoh lain, di Pulau Pari, kata Felicia, nelayan lokal mengeluhkan kualitas air yang memburuk dan penangkapan ikan yang semakin sulit. “Juga tidak dapat dilupakan kasus Rempang yang merupakan akibat dari RZWP3K yang memberikan ruang bagi pertambangan,” ungkap Felicia.

Kebijakan Kelautan Indonesia (KKI) sebagai rencana aksi pencapaian visi poros maritim dunia, ujar Felicia, memiliki ambisi meningkatkan hilirisasi industri perikanan. Ambisi ini tidak bercermin pada kenyataan bahwa pasar-pasar Eropa dan Amerika Utara melacak indikasi kerja paksa dan perdagangan orang dalam rantai suplai perikanan tangkap Indonesia.

"Sehingga tidak mengherankan Indonesia kalah dengan negara tetangga seperti Thailand dalam ekspor perikanan, mengingat negara tersebut sudah memiliki kepatuhan terhadap HAM perikanan," kata dia.

Mengutip data National Fishers Center dari 2019 hingga 2023, terdapat 112 kasus dan 316 korban pelanggaran hak pekerja seperti kerja paksa, intimidasi, dan kekerasan.

“Penelusuran yang dilakukan DFW di Nizam Zachman, Benoa, Bitung dan Dobo juga menunjukan fenomena yang sama. Jika Indonesia tidak dapat menyelesaikan HAM di laut, ambisi hilirisasi produk perikanan tidak akan tercapai,” katanya.