Visi Misi Capres Menyoal Isu Lingkungan Belum Cukup Kuat

Penulis : Gilang Helindro

Lingkungan

Kamis, 09 November 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Wali Lingkungan yang tergabung dalam Koalisi Keadilan Iklim melihat dokumen visi-misi kandidat capres yang beredar ke publik belum cukup kuat sebagai pondasi kebijakan jangka panjang dalam menangani dampak perubahan iklim. 

Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan menilai, agenda iklim dan lingkungan hidup dalam dokumen visi-misi para capres tidak tegas meletakkan pondasi serta mengubah haluan ekonomi yang memastikan bahwa kondisi iklim atau krisis iklim bisa teratasi. 

“Dokumen visi-misi mereka (capres) tidak ngoming jangka panjang untuk generasi masa depan. Jadi mikirnya itu masih dengan pola ekonomi yang sekarang, pola ekonomi yang ekstraktif, sangat tergantung pada energi fosil, belum ada ketegasan untuk mencegah deforestasi dan mempertahan sisa hutan yang ada,” kata Nadia dalam keterangan resminya Rabu, 8 November 2023.

Dari sekian banyak janji, sejumlah klaster kebijakan di dalamnya yang terkait langsung dengan perubahan iklim dan lingkungan hidup masih menyisakan banyak catatan bahkan kekurangan. “Misalnya pada klaster perubahan iklim, belum ada paslon yang tegas berkomitmen mencegah kenaikan suhu bumi di atas 1,5 derajat sesuai dengan arahan ilmu pengetahuan terbaru,” kata Nadia 

Deforestasi di Kalimantan Tengah./Foto: Ario Tanoto

Nadia menyebut, klaster kebijakan transisi energi, penggunaan bahan bakar fosil ternyata masih juga didorong melalui eksplorasi dan pembangunan kilang minyak bumi baru dan hilirisasi batubara. “Atau rambu pengaman supaya transisi energi tidak bertolak-belakang dengan upaya menjaga hutan dan hak-hak masyarakat. Jangan sampai hutan gundul dan hak masyarakat terlindas demi proyek-proyek transisi energi” lanjutnya. 

Lalu, kata Nadia, kebijakan hutan dan deforestasi. Masa depan hutan masih akan dihadang oleh ambisi pembangunan haus lahan yang juga didorong oleh Paslon, seperti ekspansi pertambangan untuk transisi energi, bioenergi, ekstensifikasi lahan perkebunan, food estate, hingga IKN.  “Komitmen perlindungan dan restorasi lahan gambut juga masih minim,” katanya. 

Senada dengan kesimpulan Koalisi, Ika Idris, Chair Monash Climate Change Communication Research Hub (MCCCRH) - Indonesia Node menyebut, dalam risetnya, dokumen visi-misi pasangan calon presiden dan calon wakil presiden 2024, fokus pada perubahan iklim dan pelestarian lingkungan sangat kecil. 

Menurut Ika, dengan menggunakan empat kata kunci lingkungan, iklim, ekologi, dan energi, ternyata dokumen visi-misi ketiga pasang capres hanya memuat sekitar satu persen kata-kata yang terafiliasi dengan kebijakan perubahan iklim dan lingkungan.

Pasangan Ganjar-Mahfud paling banyak mencantumkan keempat kata tersebut yakni sebanyak 47 kata atau sekitar 1,09 persen, diikuti oleh pasangan Anies-Muhaimin sebanyak 44 kata atau 0,6 persen dan pasangan Prabowo-Gibran sebanyak 44 kata atau 0,58 persen. 

“Lagi-lagi isu perubahan iklim dan lingkungan bukan menjadi prioritas, meski ancaman dan dampak perubahan iklim sangat nyata kita rasakan,” ungkapnya.

Menurutnya, pemanasan global dan mengatasi perubahan iklim sebenarnya agenda global yang berdampaknya ke semua orang, dari desa ke kota. Di kota kita terdampak oleh polusi udara, sementara di pelosok kita merasakan dampak kekeringan dan gagal panen. 

“Karenanya pemilu inilah saatnya untuk kita menilai mana kandidat yang memang komitmen terhadap isu perubahan iklim yang berdampak pada kita semua,” tegas Ika. 

Sementara masa kampanye hanya 75 hari, dianggap waktu yang sangat singkat bagi para kandidat menyampaikan gagasan politiknya terkait iklim dan lingkungan hidup. 

Apalagi sasasarannya anak muda milenial dan generasi Z yang merupakan pemilih mayoritas pada pemilu 2024 sebanyak 56,45 persen dari total keseluruhan pemilih. Dalam berbagai survei, yang paling banyak bersuara dan paling berkepentingan untuk masa depannya ialah anak-anak muda. Mereka menempatkan masalah perubahan iklim dan lingkungan hidup menjadi masalah pentinng dan teratas yang harus ditangani. 

Realitas itu pun tercermin dari penelitian Center of Economic and Law Studies (CELIOS) dan Unity of Trend (UniTrend). Survei terhadap 1.245 responden pada rentang tanggal 31 Maret 2023 – 15 April 2023, menemukan bahwa secara umum, 81 persen masyarakat Indonesia setuju bahwa pemerintah perlu mendeklarasikan kondisi darurat iklim. 

“Jika dilihat dari daerah tempat tinggalnya, masyarakat yang tinggal di lingkungan perkotaan 89 persen dan pinggiran kota 88 persen cenderung lebih setuju jika pemerintah mendeklarasikan kondisi darurat iklim dibandingkan dengan masyarakat di pedesaan 74 persen,” kata Ika. 

“Studi ini menemukan bahwa Generasi Z dan Millenial dengan rentang usia 15-34 tahun paling banyak berpersepsi bahwa krisis iklim adalah hal yang nyata. Dan 60 persen masyarakat menilai pemerintah belum mampu merumuskan kebijakan yang dapat mencegah krisis iklim di Indonesia,” kata Ika.