Beda Tenggat Pemutihan Sawit Dalam Kawasan Hutan dengan UU CK

Penulis : Aryo Bhawono

Sawit

Kamis, 09 November 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Proses pemutihan sawit dalam kawasan hutan ditengarai melanggar UU Cipta Kerja. Frasa soal tenggat waktu pemutihan pada Pasal 110 yang berbeda antara UU No 11 Tahun 2020 dengan UU No 6 Tahun 2023 Tentang Cipta Kerja menjadi biang masalah keabsahan waktu pemenuhan syarat pemutihan.

Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Bambang Hendroyono, menyatakan tenggat waktu pemutihan sawit yang ditetapkan oleh UU No 6 Tahun 2023 Tentang Cipta Kerja adalah sebatas pendaftaran pelaku usaha yang lahan sawitnya teridentifikasi masuk di kawasan hutan. Ia mengaku lembaganya telah menyurati para pelaku usaha itu.

“(Tanggal 2 November 2023) itu tenggat subyek hukum untuk pendaftaran. Dan dia kan sudah kita surati  untuk melengkapi persyaratan. Rata-rata  subyek hukumnya itu, punya  legalitas,” ucapnya ketika diwawancarai pada Selasa (31/10/2023).

Pernyataan ini dianggap kontroversial. Direktur Penegakan Hukum Auriga Nusantara, Roni Saputra, menyatakan jika selama ini penetapan tenggat untuk pemutihan sawit pada 2 November 2023 adalah sebatas pendaftaran pelaku usaha maka diduga pemerintah  telah melanggar UU Cipta Kerja.

Foto udara hutan lindung Desa Anak Talang di Riau, yang ditanami sawit. Foto: Betahita/Robby

“Ya itu dugaannya melanggar UU Cipta Kerja karena dalam pasal 110 A UU Cipta Kerja itu sudah jelas 2 November 2023 itu tenggat apa,” ucap dia. 

Pasal 110 A UU No 6 Tahun 2023 Tentang Cipta Kerja menyebutkan:

‘Setiap Orang yang melakukan kegiatan usaha yang telah terbangun dan memiliki Perizinan Berusaha di dalam Kawasan Hutan sebelum berlakunya Undang-Undang ini yang belum memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan, wajib menyelesaikan persyaratan paling lambat tanggal 2 November 2023’

Tenggat dan pemenuhan syarat pemutihan sawit dituliskan jelas pada pasal ini. Artinya terhitung setelah tanggal 2 November 2023, semua persyaratan pemutihan sudah harus dipenuhi. Tidak ada lagi perbaikan dari para pemohon.  

“Jadi tahapannya bukan permohonan tetapi verifikasi harus sudah selesai. Artinya syarat harus sudah penuh, tidak ada lagi perbaikan,” kata dia. 

Mekanisme tahapan pemutihan sawit dalam kawasan hutan diatur melalui PP No 24 Tahun 2021 Tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara PNBP Yang Berasal dari Denda Administratif Kehutanan yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 21 Februari 2021.

Mekanisme penyelesaian dilakukan dengan beberapa tahap. Pertama didahului dengan inventarisasi data dan informasi usaha dalam kawasan hutan. Hasil inventarisasi ini kemudian diklasifikasi dan ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup (LHK).   

Kedua, SK ini ditindaklanjuti dengan pemberitahuan kepada para pelaku usaha yang terdata untuk memenuhi persyaratan serta pelunasan Provisi Sumber Daya Hutan dan Dana Reboisasi (PSDH dan DR). UU No 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja memberikan jangka waktu maksimal tiga tahun untuk pengajuan permohonan ini.

Ketiga, para pelaku usaha mengajukan permohonan dengan memberikan persyaratan administratif dan teknis. 

Keempat, pemerintah lantas menindaklanjuti dengan verifikasi lapangan. Pada tahap ini  pemerintah dapat menerima ataupun menolak permohonan. Jika ditolak maka pemohon dapat mengajukan perbaikan dengan jangka waktu 180 hari. 

Kelima, jika berlanjut maka pemerintah memberikan surat tagihan dan pelaku usaha melakukan pembayaran PSDH dan DR. Keenam, jika pembayaran tagihan sudah dipenuhi lantas pemerintah akan menerbitkan persetujuan. 

PP 24 Tahun 2021 merupakan aturan turunan UU Cipta Kerja. Namun peraturan ini masih merujuk pada UU No 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja. Frasa soal tenggat waktu dalam UU ini berbeda dengan Pasal 110 A UU No 6 Tahun 2023 Tentang Cipta Kerja. UU itu menyebutkan tenggat waktu penyelesaian persyaratan usaha tanpa perizinan berusaha di kawasan hutan paling lambat tiga tahun sejak UU berlaku. 

Beleid yang diputus inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi pada 25 November 2021 ini kemudian diganti setelah pada 2022 Presiden Joko Widodo mengeluarkan Perppu No 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja. DPR pun telah mengesahkan perppu ini menjadi UU dan dicatatkan menjadi UU No 6 Tahun 2023 Tentang Cipta Kerja. 

Secara keabsahan, PP 24 Tahun 2021 tidak bermasalah karena Ketentuan Penutup UU No 6 Tahun 2023 menyebutkan peraturan pelaksana maupun turunan UU ini tetap berlaku sepanjang tak bertentangan. 

Bahkan Presiden Jokowi membentuk Satgas Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara untuk menyelesaikan pemutihan sawit ini. Sekjen KLHK, Bambang Hendroyono, turut duduk di dalamnya.  

Namun lagi-lagi, soal tenggat waktu ini menjadi masalah. Roni menjelaskan, jika mengacu pada Pasal 22 Poin 6 PP 24 Tahun 2021, ketika permohonan ditolak oleh pemerintah maka pelaku usaha masih diberi waktu 180 hari mengembalikan perbaikan persyaratan administratif dan teknis kepada menteri. 

Sedangkan perintah UU No 6 Tahun 2023, kata dia, cukup jelas bahwa kelengkapan harus dipenuhi pada tanggal 2 November 2023. 

“Artinya tidak ada perbaikan lagi, maka kalau lewat dari itu sudah masuk sanksi administratif. Kalau satgas maupun KLHK memberikan waktu perbaikan, di situ pelanggaran terhadap UU No 6 Tahun 2023 Tentang Cipta Kerja,” ucapnya. 

Ketidakmampuan Pemerintah Menyelesaikan Pemutihan

Sengkarut pemutihan sawit juga terjadi pada proses inventarisasi. Tambahan Lembar Negara No 6636 Tentang Penjelasan PP 24 Tahun 2021 menyebutkan perkebunan kelapa sawit dalam kawasan hutan mencapai lebih kurang 3,3 juta hektare. Penelusuran dokumen yang dilakukan Betahita menyebutkan bahwa SK Menteri LHK mengenai inventarisasi dan identifikasi kebun sawit dalam kawasan hutan kini sudah mencapai tahap 15. 

Redaksi sendiri mendapatkan informasi 15 tahap SK Menteri LHK mencatat luas indikatif perkebunan sawit ilegal dalam kawasan hutan baru mencapai 1.679.797 hektare. Jumlah ini belum mencapai perkiraan luas dari Penjelasan PP 24 Tahun 2021. 

Selain itu proses pemutihan yang diperoleh redaksi menunjukkan hingga September lalu baru terdapat 162 perusahaan yang berproses dalam tiga tahap, yakni 78 perusahaan mendapatkan Surat Keputusan Penetapan Penataan Areal kerja (SK PAK), sebanyak 29 perusahaan mendapatkan SK Prinsip Persetujuan Pelepasan, dan 55 perusahaan masih berproses di tim terpadu. 

Jumlah ini menunjukkan perkembangan pemutihan sawit dalam kawasan hutan masih lambat pada September 2023 lalu.

Pengampanye Hutan dan Kebun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Uli Arta Siagian, merasa heran dengan laku pemerintah. Mereka tak bersikap terbuka meski menemukan kendala kelambatan. Ia curiga pemutihan sawit ini berbasis pada kepentingan perusahaan belaka. Padahal sawit masyarakat seharusnya mendapatkan perilaku yang sama.

“Pemutihan ini dugaan saya memang sarat kepentingan pengusaha saja. Tidak ada peninjauan aspek lingkungan maupun masyarakat di sana,” keluhnya.