Mabes Polri Tolak Laporan Penembakan Masyarakat Adat Bangkal

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Hukum

Sabtu, 11 November 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Tim Advokasi Solidaritas untuk Masyarakat Adat Bangkal dan keluarga korban kasus penembakan warga Desa Bangkal, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah (Kalteng), mengaku kecewa karena laporan mereka kepada Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Markas Besar Polri ditolak.

Tim Advokasi dan keluarga mendatangi Mabes Polti untuk melaporkan penembakan yang menewaskan Gijik dan melukai Taufik di perkebunan sawit PT Hamparan Massawit Bangun Persada (HMBP) pada 7 Oktober 2023. 

Aryo Nugroho, dari Tim Advokasi menjelaskan, sejak semula pihak kepolisian memberikan kesan tidak mau menerima laporan dari pihak keluarga korban, dengan alasan yang dibuat-buat, seperti tidak cukup bukti. Setelah terjadi perdebatan antara Tim Advokasi dan penyidik terkait kewenangan penerimaan laporan polisi, pihak penyidik kemudian terlihat melakukan koordinasi dengan pihak pimpinan untuk mendapatkan keputusan.

"Akhirnya sekitar pada pukul 16.00 WIB, pihak keluarga korban bersama Tim Advokasi diajak menemui penyidik Bareskrim piket konsultasi pelaporan di lantai 4. Dalam pertemuan tersebut, pihak keluarga korban bersama tim advokasi menyampaikan maksud kedatangan mereka yang jauh-jauh dari Kalimantan Tengah," kata Aryo, Jumat (10/11/2023).

Ratusan warga melakukan aksi demo menutup pabrik dan menghentikan operasional PT HMBP I di Desa Bangkal, Sabtu (16/9/2023) lalu. Aksi tersebut dilakukan untuk menuntut realisasi plasma 20 persen perusahaan. Foto: Istimewa/Tabengan.

Aryo menjelaskan, maksud kedatangan Tim Advokasi dan keluarga korban adalah untuk membuat laporan mengenai meninggalnya Gijik dan terlikanya Taufik yang diduga kuat akibat peluru tajam yang ditembakkan aparat kepolisian saat melakukan pengamanan aksi. Mereka juga menjelaskan alasan mengapa mengajukan laporan ke Mabes Polri, yakni karena sebelumnya pada 30 Oktober 2023, pihak keluarga korban telah melaporkan peristiwa tersebut ke pihak Polda Kalteng, namun tidak mendapatkan respon.

Alasan lainnya, lanjut Aryo, karena alih-alih proses penegakan hukum berjalan untuk mengusut peristiwa penembakan yang menyebabkan kematian, pihak Polda Kalteng malah memanggil para warga Desa Bangkal dan sekitarnya, total 35 orang, untuk memberikan kesaksian soal peristiwa 7 Oktober 2023 dengan pasal melawan aparat yang sedang bertugas dan membawa senjata tajam tanpa izin.

"Setelah terjadi diskusi dan tanya jawab, pada akhirnya penyidik Bareskrim piket konsultasi pelaporan menyatakan menolak laporan dari keluarga korban dengan alasan bahwa proses penyidikan telah berjalan di Polda Kalteng," ujar Aryo.

Aryo mengungkapkan, keluarga korban hanya diminta percaya kepada penyidik dan menunggu pengumuman resmi dari pihak Polda Kalteng. Proses penolakan dari Mabes Polri yang diwakili oleh penyidik Bareskrim piket konsultasi pelaporan atas adanya laporan dari pihak keluarga korban ini, menurut Aryo, sangatlah mencederai rasa keadilan bagi pihak keluarga.

"Kemudian, pihak Mabes Polri meminta keluarga korban untuk percaya kepada proses penegakkan hukum yang dijalankan Polda Kalteng, yang sangat berpotensi adanya konflik kepentingan, karena dugaan kuat pelaku penembakan adalah satuan mereka," ucap Aryo.

Fakta lainnya, peristiwanya telah 1 bulan lebih berlalu, namun belum menetapkan satupun ada tersangka dari peristiwa pembunuhan 7 Oktober 2023 di Desa Bangkal.

Pihak Mabes Polri, masih kata Aryo, meminta keluarga korban untuk percaya kepada proses penegakan hukum di Polda Kalteng,  walaupun pada faktanya yang diproses adalah warga sebanyak 35 orang. Tim Advokasi menduga kuat penanganan kasus diarahkan kepada skenario: warga Bangkal melawan aparat saat bertugas dan membawa senjata tajam - pihak kepolisian melakukan tembakan karena massa tidak bisa ditenangkan - pelaku penembakan diproses hukum - pelaku penembakan bebas dari jeratan hukum karena sedang menjalankan tugas sebagaimana diatur dalam Pasal 48, 49, 50 dan 51 KUHP.

Aryo menuturkan, pihak Mabes Polri telah menghalang-halangi pihak keluarga korban maupun saksi untuk mendapatkan perlindungan dari lembaga negara seperti lembaga perlindungan saksi dan korban (LPSK) yang mensyaratkan adanya laporan polisi untuk dapat memberikan perlindungan.

Padahal, kata Aryo, Polri telah diberikan amanat sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, termasuk ketika warga negara memberikan informasi mengenai adanya peristiwa tindak pidana yang terjadi dengan dan dibuatkannya laporan polisi.

Selain itu, dalam tataran teknis, setiap anggota Polri dilarang menolak laporan atau pengaduan dari masyarakat tanpa alasan  sebagaimana ditegaskan dalam 13 Ayat (2) huruf a Peraturan Kapolri Nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas kepolisian Negara Republik Indonesia.

Tim Advokasi, ujar Aryo, menganggap penolakan laporan soal peristiwa Bangkal ini mengakibatkan ketidakpercayaan keluarga korban terhadap proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh pihak kepolisian, sehingga patut diduga terjadi rekayasa hasil atas peristiwa terbunuhnya mendiang Gijik, serta kekerasan dengan menggunakan senjata. Penolakan tersebut, katanya, merupakan potret pengingkaran Polri terhadap komitmen transparansi serta integritas.

"Kami dari Tim Advokasi Solidaritas untuk Masyarakat Adat Bangkal mengajak semua elemen masyarakat untuk menyatakan ketidakpercayaan kepada institusi kepolisian khususnya Polda Kalteng karena dugaan kuat penembak yang menyebabkan gugurnya Gijik dan terlukanya Taufik adalah berasal dari kesatuan dari mereka," katanya.

"Masyarakat Desa Bangkal dan sekitarnya yang terlibat dalam peristiwa ini untuk meningkatkan persatuan kesatuan dalam menghadapi segala kemungkinan yang terjadi ke depan," ujar Aryo.

Tim Advokasi Solidaritas untuk Masyarakat Adat Bangkal merupakan gabungan dari sejumlah organisasi masyarakat sipil di antaranya Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Perkumpulan Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK Indonesia), PW AMAN Kalteng, Walhi Kalteng, Progress, YBBI, SOB, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Greenpeace Indonesia, Sawit Watch, LBH Palangkaraya, dan LBH Genta Keadilan.