Setelah PLTS Terapung Cirata, 27 Bendungan PLTA Siap Di-PLTS-kan 

Penulis : Kennial Laia

Energi

Minggu, 12 November 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Pemerintah meresmikan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) terapung Cirata yang berlokasi di Waduk Cirata, Purwakarta, Jawa Barat, pada Kamis, 9 November 2023. 

PLTS terapung Cirata memiliki kapasitas 192 megawatt peak (MWp), yang terbentang di area seluas 200 hektare. Terdiri dari 13 blok dengan lebih dari 340.000 solar panel, PLTS Cirata menjadi yang terbesar di Asia Tenggara, menggeser PLTS terapung Tengeh di Singapura. 

“Di Cirata ini sudah ada PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air) dengan kapasitas 1.000 MW dan sekarang ditambah dengan PLTS terapung sebesar 192 MWp. Ke depan, kalau dimaksimalkan bisa menambah kurang lebih 1.000 MWp. Jadi, nanti tenaga airnya bisa untuk energi hijau juga,” kata Presiden Joko Widodo pada saat peresmian di Purwakarta, Kamis, 9 November 2023.

Menurut rilis resmi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pembangkit ini dapat memproduksi 245 juta kWh energi bersih setiap tahun, serta melistriki setara 50.000 rumah. PTLS Cirata diproyeksikan menekan emisi karbon lebih dari 200.000 ton per tahun. Adapun tarif listrik yang dipatok dari pembangkit surya ini cukup kompetitif dengan harga US$5,8 sen per kilowatt hour (kWh). 

PLTS terapung Cirata di Purwakarta, Bandung Barat. Dok BKPM

PLTS Cirata akan dioperasikan oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan merupakan kerja sama antara subholding PLN Nusantara Power dengan perusahaan energi asal Uni Emirat Arab, Masdar. 

Sementara itu investasinya ditopang oleh pembiayaan sindikasi tiga bank internasional, Sumitomo Mitsui Banking Corporation (SMBC), Societe Generale, dan Standar Chartered dengan nilai sekitar US$140 juta.

PLTS Terapung Cirata akan dijalankan oleh Pembangkitan Jawa Bali Masdar Solar Energi atau PMSE. Ini merupakan usaha patungan bentukan konsorsium anak usaha PLN, PT PJB Investasi (PJBI) dengan porsi saham 51% dan Masdar dengan porsi saham 49%. 

Tonggak pengembangan PLTS terapung di Indonesia

Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai, pengoperasian PLTS terapung Cirata menjadi tonggak akselerasi pengembangan pembangkit listrik tenaga surya berskala besar di Indonesia yang mati suri sejak 2020. 

Indonesia harus mengoptimalkan potensi teknis PLTS yang mencapai 3,7 TWp sampai dengan 20 TWp untuk mendukung tercapainya target puncak emisi sektor kelistrikan di 2030, dengan biaya termurah,” kata Direktur Esekutif IESR, Fabby Tumiwa, Jumat, 10 November 2023. 

IESR mencatat, biaya investasi energi terbarukan PLTS saat ini semakin turun, sehingga menjadikannya sebagai pembangkit energi terbarukan termurah saat ini. Karena itu, IESR mendorong pemerintah dan PLN untuk memanfaatkan potensi teknis PLTS terapung yang mencapai 28,4 GW dari 783 lokasi badan air di Indonesia. 

Data Kementerian ESDM menunjukkan adanya potensi PLTS terapung skala besar yang dapat dikembangkan setidaknya di 27 lokasi badan air yang memiliki Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), dengan total potensi mencapai 4,8 GW dan setara dengan investasi sebesar USD 3,84 miliar (Rp55,15 triliun). Pemanfaatan potensi PLTS terapung ini akan mempercepat pencapaian target bauran energi terbarukan dan meraih target net zero emission lebih cepat dari tahun 2060. 

Pemerintah dan PLN harus mengoptimalkan potensi PLTS terapung dengan menciptakan kerangka regulasi yang menarik minat pelaku usaha untuk berinvestasi di pembangkit ini. Salah satunya, dengan memberikan tingkat pengembalian investasi sesuai profil risiko, tetapi menarik dan mengurangi beban tambahan dalam mengelola investasi. 

Selain itu, pemerintah perlu memperhatikan skema penugasan PLN kepada anak perusahaannya, yang selama ini menjadi opsi prioritas pengembangan PLTS terapung. Melalui skema ini, anak perusahaan mencari pihak yang bersedia untuk berinvestasi atau equity investor untuk kepemilikan minoritas tetapi harus mau menanggung porsi equity yang lebih besar melalui pinjaman pemegang saham (shareholder loan).  

“Skema ini menguntungkan PLN, tetapi memangkas pengembalian investasi bagi investor dan berisiko pada bankability proyek dan minat pemberi pinjaman. Skema ini juga dapat menciptakan persaingan usaha yang tidak sehat di antara para pelaku usaha, karena hanya mereka yang punya ekuitas besar saja yang bisa bermitra dengan PLN, dan mayoritas investor asing. Hal ini dapat berdampak pada minat investasi secara keseluruhan,” kata Fabby.  

Solusinya, menurut Fabby, membutuhkan dukungan pemerintah dengan cara pemerintah memperkuat permodalan PLN dan anak perusahaannya melalui penyertaan modal negara (PMN) khusus untuk pengembangan energi terbarukan. Cara lainnya dengan memberi pinjaman konsesi kepada PLN melalui PT SMI yang kemudian dapat dikonversi sebagai kepemilikan saham pada proyek PLTS terapung.  

Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan IESR, Marlistya Citraningrum, mengatakan Indonesia dapat meraup potensi investasi dan listrik yang rendah emisi dari PLTS terapung. Indonesia telah menerbitkan regulasi yang dapat mendukung hal ini, yakni Permen Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 27/PRT/M/2015 Tentang Bendungan. Aturan ini tidak lagi membatasi luasan badan air di waduk yang dapat dimanfaatkan untuk PLTS terapung di angka 5%. 

Peraturan tersebut membuka peluang pengembangan PLTS terapung dengan skala yang lebih besar, dengan catatan bila menggunakan luasan badan air lebih dari 20%, perlu mendapatkan rekomendasi dari Komisi Keamanan Bendungan.

Marlistya mengatakan, hal ini menjadi salah satu peluang untuk mengatasi permasalahan lahan dalam pengembangan PLTS. “Ketersediaan lahan kerap menjadi hambatan dalam pengembangan PLTS, terutama di wilayah yang sudah padat dengan harga lahan tinggi, juga tutupan lahan yang bisa jadi tidak sesuai untuk PLTS, misalnya terlalu curam atau merupakan lahan pertanian produktif,” kata Marlistya.

“Indonesia juga memiliki cukup banyak bendungan, baik dengan PLTA atau tidak, yang bisa digunakan sebagai lokasi potensial. Proyek Hijaunesia 2023, misalnya, pengembangan PLTS terapung di Gajah Mungkur, Kedung Ombo, dan Jatigede dengan kapasitas masing-masing 100 MW,” kata Marlistya. 

Meski demikian, keseluruhan proses perencanaan, pelelangan, hingga pembangunan PLTS terapung di Indonesia masih perlu ditingkatkan efektivitasnya. Marlistya mengatakan, meski menjadi flagship project dan bentuk kerjasama antar pemerintah, lini masa penyelesaian PLTS terapung Cirata cukup panjang - diawali dengan nota kesepahaman Indonesia dan Uni Emirat Arab pada 2017 dan pembentukan joint venture PJB Investasi dengan Masdar pada tahun yang sama. Penandatanganan PJBL baru dilakukan pada 2020 dan financial closing di 2021. 

“Panjangnya proses ini mengurangi daya tarik investasi PLTS terapung di Indonesia,” kata Marlistya. 

Pengembangan rantai pasok komponen PLTS dan PLTS terapung di Indonesia juga terbuka lebar, termasuk untuk sel dan modul surya. Tidak hanya untuk pasar dalam negeri yang saat ini belum mencapai 1 GW, sel dan modul surya dengan kriteria tier 1 yang diproduksi di Indonesia juga ditujukan untuk pasar mancanegara. Pabrikan sel dan modul surya tier 1 asal Tiongkok, Trina Solar, telah bekerja sama dengan Sinarmas untuk membangun pabrik sel dan modul surya terintegrasi di Kawasan Industri Kendal, Jawa Tengah, dengan kapasitas produksi 1 GW/tahun.