Koalisi Wali Lingkungan Soal Draft JETP: Besar PLTU dari Ambisi
Penulis : Gilang Helindro
Energi
Sabtu, 18 November 2023
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Koalisi Masyarakat Sipil menilai rancangan Rencana Investasi dan Kebijakan Komprehensif atau Comprehensive Investment Plan and Policy (CIPP) kesepakatan kemitraan JETP masih berpihak setengah hati pada upaya transisi energi yang berkeadilan. Pasalnya, menurut Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif dan Ekonom CELIOS, target JETP dalam draf rencana ini masih minim. "Ini berpotensi memperlambat langkah reformasi sistem energi Indonesia menjadi lebih hijau dan ambisius," kata dia.
Bhima mengatakan, dokumen CIPP JETP masih cukup kontradiktif. Target bauran energi terbarukan dalam CIPP cukup ambisius, yakni mencapai 44 persen pada 2030. Namun, di sisi lain, hanya dua PLTU yang masuk daftar pensiun dini dalam skema ini, yaitu PLTU Pelabuhan Ratu dan PLTU Cirebon.
Menurut Bhima, sebagian PLTU yang masuk pensiun dini, yakni PLTU Cirebon-1, sebenarnya sudah masuk dalam skema mekanisme transisi energi (energy transition mechanism/ETM). Jadi, kata dia, seolah tidak ada niatan untuk benar-benar melakukan penutupan PLTU batu bara.
“JETP menjadi tidak jelas, yang awalnya mau pensiun PLTU batu bara justru tidak dilakukan dengan serius,” katanya dalam konferensi pers Transisi Energi Setengah Hati, Rabu, 15 November 2023.
Harryadin Mahardika, Direktur Program Transisi Bersih mencontohkan, hal yang sama pernah dilakukan Indonesia dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang diterbitkan pada 2014. Indonesia menargetkan bauran energi terbarukan 23 persen pada 2023 dan 31 persen pada 2050. Namun pada saat yang sama, Indonesia juga memulai Program 35 Gigawatt (GW) yang mayoritas adalah PLTU batu bara. Penambahan PLTU ini, kata Harryadin, akhirnya justru menggerus ruang pengembangan energi terbarukan, sehingga target bauran energi hijau tidak tercapai.
Harryadin menyebut, dalam dokumen CIPP, PLTU captive tidak dimasukkan. Padahal, pertumbuhannya sangat tinggi dari 1,3 GW pada 2013 menjadi 10,8 GW pada 2023, dan masih terus bertambah.
“Hal ini akan menjadi penghalang besar yang dapat menggagalkan target nol emisi Indonesia, seperti sebelumnya. Meski target CIPP tercapai 100 persen, target nol emisi Indonesia tidak akan pernah tercapai lantaran PLTU captive akan tetap hasilkan emisi dalam jumlah besar,” ungkap Harryadin.
Leonard Simanjuntak, Kepala Greenpeace Indonesia mengungkapkan, sekalipun tetap perlu dihargai sebagai salah satu inisiatif transisi energi, dokumen CIPP masih kompromistis dan sangat jauh dari trayektori untuk menahan kenaikan suhu pada 1,5 derajat Celcius. Pensiun dini PLTU yang hanya 1,6 GW dan PLTU captive yang tidak dihitung dalam dokumen CIPP, akan jadi ganjalan skenario menuju net zero emission.
Leonard menyebut, belum lagi kita bicara rencana pemerintah dan sektor migas untuk menaikkan produksi minyak bumi menjadi 1 juta barel per hari (bph) dan gas bumi menjadi 12 miliar kaki kubik per hari pada 2030. Juga berbagai solusi palsu berbasis batu bara yang difasilitasi oleh RUU EBET. Semuanya itu berpotensi melumpuhkan skenario transisi energi Indonesia secara keseluruhan.
“Saya khawatir JETP bisa berakhir menjadi sebuah boutique project saja, tidak signifikan atau bahkan menjadi kosmetik dalam kompleksitas transisi energi Indonesia,” tegas Leonard.
Dian Sunardi, Arise! Indonesia, juga mengaku kecewa dengan adanya usulan teknologi solusi palsu dalam dokumen CIPP, seperti co-firing biomassa. Pasalnya, solusi palsu terbukti tidak akan efektif dalam mengurangi emisi. Bahkan, adanya solusi palsu justru memperkaya segelintir individu-oligarki, mempromosikan privatisasi dan komodifikasi sumberdaya ekologis, dan membebaskan korporasi yang berkontribusi terhadap krisis iklim (polluters) dari tanggung jawabnya.
“Dan yang paling penting, malah akan memperparah krisis iklim dan merusak masa depan transisi energi Indonesia. Indonesia harus mengambil sikap tegas, menyatakan tidak pada solusi palsu dan mengeluarkannya dari CIPP,” ungkap Dian.