PT Kallista Alam Lunasi Cicilan, Mengapa Ini Jadi Contoh Buruk?

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Hukum

Selasa, 21 November 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - PT Kallista Alam dilaporkan telah melunasi cicilan ganti rugi lingkungan atas kasus kebakaran lahan seluas 1.000 hektare di Rawa Tripa, Suak Bohong, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya, Aceh, dalam rentang waktu 2009-2012. Diterimanya pembayaran ganti rugi lingkungan dari PT Kallista Alam secara mencicil ini dinilai sebagai preseden buruk penegakan hukum lingkungan di Indonesia.

Direktur Penegakan Hukum, Yayasan Auriga Nusantara, Roni Saputra, menuturkan keputusan KLHK yang menerima tawaran cicilan pembayaran dari PT Kallista Alam justru membuktikan ketidakberdayaan KLHK pada korporasi. Sebab, tawaran pembayaran ganti rugi lingkungan secara mencicil itu seharusnya selesai pada proses mediasi persidangan, bukan setelah kasus ini inkracht (berkekuatan hukum tetap).

"Pelaksanaan putusan pengadilan yang dilakukan PT Kallista Alam ini sama sekali tidak patut ditiru, karena ini merupakan bentuk penghinaan terhadap putusan pengadilan," kata Roni, Senin (20/11/2023).

Roni menyebut, dalam kasus karhutla PT Kallista Alam ini, KLHK terkesan hanya mengejar penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Padahal negara tidak hanya rugi atas perbuatan hukum perusahaan sawit tersebut. Tapi, negara juga dirugikan atas adanya biaya sosial yang keluar dalam penanganan kasus. Biaya sosial dimaksud, termasuk biaya pendaftaran kasus, biaya pelibatan tim ahli, biaya penghitungan nilai aset PT Kallista Alam, dan lain sebagainya, yang harus ditanggung oleh negara.

Kebakaran terus berkobar di hutan gambut Tripa yang berada dalam areal izin PT Kallista Alam, Provinsi Aceh, 12 Juni 2012./Foto: Rainforest Action Network/Paul Hilton.

"Kalau ini kemudian ditiru oleh perusahaan lain yang melakukan perbuatan hukum serupa, penanganan kasus yang seperti ini hanya akan menyebabkan kerugian lebih bagi negara. Mestinya, KLHK tidak boleh melihat kasus ini hanya sekedar mendapatkan PNBP saja," ujarnya.

Roni kemudian menyoroti kewajiban pembayaran uang paksa atau dwangsom yang juga harus dibayar oleh PT Kallista Alam, sebesar Rp5 juta per hari atas keterlambatan pelaksanaan eksekusi. Menurut ketentuan, dwangsom itu harus dihitung sejak kasus tersebut berkekuatan hukum tetap, hingga eksekusi putusan dilaksanakan.

"Harusnya dwangsom itu dihitung sejak 18 April 2027, sejak Majelis Hakim Mahkamah Agung mengeluarkan mengeluarkan Putusan Nomor 1 PK/Pdt/2017, yang pada intinya menolak permohonan peninjauan kembali yang diajukan PT Kallista Alam," ucap Roni.

Roni mengatakan, PT Kallista Alam bukanlah subjek hukum orang perorangan, melainkan korporasi yang berbasis di Malaysia. Dengan kata lain, perusahaan tersebut memiliki modal yang cukup untuk membayar seluruh kerugian termasuk pemulihan terhadap lingkungan hidup.

Roni mengungkapkan, sejak putusan dinyatakan berkekuatan hukum tetap, PT Kallista telah melakukan berbagai perlawanan hukum, termasuk berkali-kali menghalang-halangi proses penghitungan oleh kantor jasa penilai publik (KJPP). Bahkan sejak putusan inkracht, kata Roni, PT Kallista masih mengambil buah tandan sawit dari areal yang dinyatakan disita oleh pengadilan.

"Persoalan lain muncul kalau PT Kallista tidak membayarkan biaya pemulihan, maka aset yang disebutkan oleh pengadilan untuk disita, harusnya diambil oleh negara," ujar Roni.

Dalam keterangan resmi Direktorat Jenderal (Ditjen) Penegakan Hukum (Gakkum) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Ganti rugi lingkungan yang telah dibayarkan oleh PT Kallista sebesar Rp57.151.709.500 pada 15 November 2023 merupakan pelunasan atas nilai ganti rugi lingkungan sebagaimana bunyi amar putusan pengadilan sebesar Rp114.303.419.000.

Menurut Gakkum LHK, PT Kallista juga telah menyanggupi untuk melakukan tindakan pemulihan lingkungan hidup secara mandiri terhadap lahan bekas terbakar seluas kurang lebih 1.000 hektare. Langkah pemulihan lingkungan hidup dimulai dengan mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK pada 7 Agustus 2023. Sedangkan uang paksa (dwangsom) setiap hari atas keterlambatan pelaksanaan tindakan pemulihan lingkungan hidup akan dibayarkan oleh PT Kallista pada 19 Januari 2023 yang penghitungannya didasarkan atas kebijakan dan arahan dari Ketua Pengadilan Suka Makmue.

Pembayaran ganti rugi lingkungan oleh PT Kallista Alam dilakukan setelah melalui rangkaian proses panjang di Pengadilan Negeri Meulaboh yang kemudian didelegasikan ke Pengadilan Suka Makmue mulai dari permohonan eksekusi, pemberian tegoran (aanmaning), pelaksanaan penilaian asset (appraisal) oleh Kantor Jasa Penilai Publik (KJJP) dan koordinasi intensif dengan Ketua Pengadilan Negeri Meulaboh maupun Ketua Pengadilan Negeri Suka Makmue.

Dirjen Gakkum LHK, Rasio Ridho Sani menuturkan, pelunasan pembayaran ganti rugi lingkungan oleh PT Kallista Alam sebesar Rp57.151.709.500 ini dilakukan pada 15 November 2023. Pembayaran Ganti Rugi lingkungan tersebut telah disetor ke Penerimaan Negara, Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan melalui Sistem Informasi PNBP online (SIMPONI) dengan kode billing 820231112302961, tanggal billing 12-11-2023 dan tanggal pembayaran 15-11-2023 merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) KLHK.

Pelaksanaan putusan pengadilan yang dilakukan PT Kallista ini, menurut Rasio, harus menjadi contoh bagi perusahaan lain untuk segera melaksanakan amar putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Rasio mengingatkan, Gakkum KLHK akan terus mendorong proses eksekusi putusan yang menjadi kewenangan Ketua Pengadilan Negeri (PN).

"Untuk mendukung percepatan eksekusi putusan pengadilan perkara perdata yang telah berkekuatan hukum tetap lainnya, kami saat ini sedang menyiapkan langkah-langkah untuk penyitaan aset tergugat," ujar Rasio Ridho Sani, Jumat (17/11/2023) lalu.

Sementara itu, Direktur Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup, sekaligus Kuasa Menteri LHK, Jasmin Ragil Utomo, mengatakan KLHK akan mengawal proses pemulihan lingkungan hidup terhadap lahan bekas terbakar yang dilakukan secara mandiri oleh PT Kallista Alam dengan melibatkan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Nagan Raya.

Jasmin menambahkan, saat ini KLHK telah menggugat 22 perusahaan, yang mana 14 perusahaan di antaranya telah berkekuatan hukum tetap dengan total nilai putusan sebesar Rp5,6 triliun yang terdiri dari 7 perusahaan proses eksekusi sebesar Rp3,05 triliun dan 7 perusahaan persiapan eksekusi sebesar Rp2,55 triliun.