Koalisi Masyarakat Sipil Desak Negara Susun UU Keadilan Iklim

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Iklim

Jumat, 24 November 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Keadilan Iklim mendesak pemerintah untuk segera menyusun Undang-Undang (UU) tentang Keadilan Iklim. Undang-undang itu, menurut mereka, akan menjadi instrumen hukum tertinggi, yang dapat mendorong harmonisasi kebijakan dan kolaborasi antarpihak secara komprehensif.

Desakan itu disampaikan Koalisi Keadilan Iklim yang terdiri dari 14 organisasi masyarakat sipil dalam sebuah kertas posisi yang menguraikan pendapatnya dan latar belakang serta alasan kebutuhan Undang-Undang Keadilan Iklim.

Mereka mengatakan, laporan sintesa IPCC 2023 menyatakan kenaikan suhu bumi sudah mencapai titik 1.1°C sejak 1850-1900. Laporan IPCC juga menggarisbawahi kebutuhan untuk menurunkan emisi secara signifikan untuk mencapai net nol emisi pada 2050. Akan tetapi, komitmen dan rencana penurunan emisi di tingkat global diproyeksikan akan melampaui suhu 1.5°C.

Selanjutnya, laporan sintesa IPCC 2023 juga menyatakan dampak perubahan iklim tidak terhindarkan. Oleh karenanya, tindakan mitigasi dan adaptasi secara simultan serta mendalam saat ini dan masa depan bukanlah pilihan melainkan sebuah tindakan imperatif.

Empat Warga Pulau Pari Menggugat Holcim Atas Krisis Iklim. Foto: CallForClimateJustice

Koalisi menyebut, Presiden Joko Widodo dalam sambutannya di Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Penanggulangan Bencana pernah menyampaikan, saat ini semua negara tengah mewaspadai perubahan iklim yang berpotensi meningkatkan frekuensi bencana. Indonesia sendiri mengalami kenaikan frekuensi bencana sebesar 81%, dari 1.945 bencana pada 2010 menjadi 3.544 bencana di 2022. Wakil Presiden Maruf Amin dalam pidatonya di COP 27 juga menegaskan, saat ini Indonesia sedang menghadapi triple planetary crisis, yang salah satunya adalah krisis iklim.

Kemudian, Laporan Asesmen IPCC ke-6 Tahun 2023 menegaskan, dampak perubahan iklim berkaitan erat dengan ketimpangan baik antar negara, antar wilayah, gender, usia. Kelompok-kelompok miskin, rentan dan terpinggirkan akan mengalami dampak yang lebih buruk dibanding kelompok-kelompok kaya dan memiliki kondisi ekonomi dan akses yang lebih baik (previlege).

Dalam laporannya, IPCC juga menekankan pentingnya mewujudkan keadilan iklim yang termuat dalam Perjanjian Paris 2015 pada setiap tindakan mitigasi, adaptasi, penanganan dan pemulihan atas kehilangan dan kerusakan, serta pembiayaan perubahan iklim. Keadilan iklim adalah hal yang amat penting untuk menghindari ketimpangan yang dapat menguat sebagai implikasi dari tindakan mitigasi dan adaptasi yang tidak tepat.

Untuk memastikan terwujudnya keadilan iklim dalam implementasi kebijakan, prinsip-prinsip keadilan iklim perlu tercantum dan tercermin dalam pengaturan terkait perubahan iklim khususnya di level perundangundangan tertinggi. Sayangnya, hingga saat ini belum ada regulasi di level undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai perubahan iklim dan memastikan perwujudan keadilan iklim tercermin di dalam pelaksanaan pencegahan dan pengendalian iklim.

"Oleh karena itu, kami menuntut isu perubahan iklim untuk masuk ke dalam kerangka peraturan Indonesia, dalam bentuk konkret sebagai sebuah peraturan yang memuat prinsip perwujudan keadilan iklim. Prinsip ini harus tercermin dalam setiap aksi penanganan perubahan iklim mencakup namun tidak terbatas pada mitigasi, adaptasi, maupun pendanaan iklim," tulis Koalisi.

Koalisi menyebutkan, kebijakan yang merespon perubahan iklim juga telah dimiliki sejumlah negara, di antaranya Inggris, Jerman, Finlandia, Fiji, Chili, Taiwan, Uganda, Filipina, dan banyak negara lain di dunia. Pembentukan legislasi iklim juga diamini oleh IPCC untuk mendorong penurunan emisi dan mengintegrasikan upaya-upaya yang diperlukan untuk meningkatkan kemampuan adaptif. Oleh karena itu, penyusunan legislasi iklim yang berbasis prinsip keadilan iklim merupakan suatu inisiatif yang harus didorong dan menjadi prioritas bersama baik pembuat kebijakan maupun masyarakat sipil.

"Bahwa pemikiran mengenai bentuk konkret dan langkah operasional dari peraturan ini perlu ditelaah lebih jauh sehingga tidak hanya sekedar menjadi UU yang akhirnya lemah dalam implementasinya," kata Koalisi.

Dengan adanya kekosongan peraturan perundang-undangan yang dapat menjadi payung hukum terhadap respon perubahan iklim yang berkeadilan, Koalisi berpandangan, penting agar Indonesia memiliki sebuah payung hukum berbentuk UU Keadilan Iklim yang memastikan prinsip-prinsip keadilan iklim.

Untuk itu, Koalisi merekomendasikan kepada DPR-RI dan Pemerintah untuk segera menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) Keadilan Iklim dengan mengedepankan prinsip, nilai-nilai serta materi muatan yang diuraikan Koalisi dalam Kertas Posisi itu, lalu memasukkan RUU Keadilan Iklim di dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) di 2024.

Terakhir, Koalisi juga merekomendasikan pengembangan mekanisme penyusunan naskah akademik maupun RUU yang memastikan partisipasi bermakna yang melibatkan pemangku kepentingan, diantaranya akademisi, organisasi masyarakat sipil, masyarakat terdampak, dengan mengutamakan partisipasi pada kelompok rentan yaitu perempuan, anak-anak, penyandang disabilitas, masyarakat adat dan kelompok marjinal lainnya.