Tindakan Aparat Terhadap Masyarakat Adat Poco Leok Dikecam
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Masyarakat Adat
Kamis, 30 November 2023
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Masyarakat adat Poco Leok Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT), dilaporkan mendapat perlakuan semena-mena oleh aparat Polri dan TNI yang bertugas mengamankan PT PLN dan tim Padiatapa (Persetujuan di Awal Tanpa Paksaan) yang mendatangi Poco Leok, wilayah yang menjadi target pengembangan industri penambangan geothermal. Peristiwa ini terjadi pada Sabtu, 25 November 2023.
Judianto Simanjuntak, dari Koalisi Advokasi Poco Leok, mengatakan saat itu masyarakat adat Poco Leok melakukan aksi menolak kedatangan rombongan PLN. Pihak PLN sendiri, ujarnya, Selasa (28/11/2023), datang ke Poco Leok dikawal aparat bersenjata berseragam Polri maupun TNI. Tidak kurang tujuh unit mobil dan sejumlah kendaraan roda dua dikerahkan melakukan pengamanan tersebut.
Aksi warga ini, lanjut Judianto, kemudian dibalas dengan tindakan represif oleh aparat. Aparat mendorong bahkan memukul warga yang menghalangi kedatangan rombongan. "Berlindung dibalik Proyek Strategis Nasional (PSN) dalam upaya liberalisasi tenaga listrik, PLN dengan menggunakan tangan aparat tak segan melukai warga," ujar Judianto.
Menurut Judianto, masyarakat adat Poco Leok menolak kehadiran PLN geothermal dan tim Padiapatapa, karena masyarakat adat tidak ingin wilayah adatnya dirampas untuk kepentingan pembangunan pembangkit listrik tenaga (PLTP) atau geothermal.
"Ruang hidup masyarakat adat Poco Leok akan hilang demi pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi (geothermal) ini," kata Judianto.
Tindakan represif aparat kepada masyarakat adat Poco Leok ini, menurut Judianto, merupakan pelanggaran dan pengingkaran terhadap hak atas kebebasan mengeluarkan dan menyampaikan pendapat sebagaimana yang dijamin dalam UUD 1945, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant On Civil And Political Rights/ICCPR).
Judianto berpendapat prinsip "persetujuan di awal tanpa paksaan" oleh pihak PLN hanyalah jargon usang sebagai pelengkap persyaratan memuluskan pinjaman dari bank untuk pembiayaan proyek geothermal. Berkali-kali masyarakat menolak, tetapi tidak diindahkan. Jawaban atas penolakan adalah popor senjata, pitingan dan terjangan sepatu lapangan petugas.
Penolakan masyarakat adat Poco Leok, Manggarai, terkait pembangunan pembangkit listrik geothermal di Poco Leok, merupakan upaya mempertahankan wilayah adatnya, sebagaimana dijamin dalam instrumen hukum nasional dan Hukum Internasional yang mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat, yaitu Pasal 18B ayat (2) UUD Tahun 1945 Jo. Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 Jo. Pasal 6 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Jo. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-X/2012, Tanggal 16 Mei 2013 Jo Deklarasi Perserikatan Bangsa bangsa Tentang Hak-Hak masyarakat adat (United Nations Declaration On The Rights Of Indigenous Peoples) Jo Konvensi ILO No. 169 Tahun 1989 Mengenai Masyarakat Hukum Adat.
Judianto menuturkan, atas berulangnya peristiwa kekerasan aparat terhadap masyarakat adat Poco Leok, Koalisi Advokasi Poco Leok menegaskan mengutuk tindakan kekerasan yang dilakukan oleh PLN melalui aparat keamanan (TNI dan Polri), mendesak Kapolri mencopot Kapolda NUSA Tenggra Timur dan Kapolres Manggarai karena melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Kemudian mendesak Kapolri dan Panglima TNI untuk memerintahkan penarikan aparat keamanan yang bertugas di Poco Leok, mendesak Kapolri, Kapolda Nusa Tenggara Timur, dan Kapolres Manggarai agar menghentikan kriminalisasi kepada masyarakat adat Poco Leok, dengan cara menghentikan pemanggilan dalam bentuk apapun kepada masyarakat adat Poco Leok, dan mendesak Menteri BUMN melakukan evaluasi terhadap jajaran Direksi PT PLN atas peristiwa di Poco Leok.
"Terakhir mendesak Pemerintah Indonesia dan PT PLN menghentikan sementara aktivitas apapun terkait pembangunan geothermal di Poco Leok hingga ada pernyataan resmi akan mengikuti prinsip-prinsip yang tertuang di dalam free, prior, informed, consent (FPIC) sesuai panduan Deklarasi PBB tentang Hak-Hak masyarakat adat (UNDRIP)," tutur Judianto.
Koalisi Advokasi Poco Leok sendiri merupakan gabungan dari sejumlah organisasi masyarakat sipil, yakni Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Trend Asia, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, JPIC OFM, Justice, Peace and Integrity of Creation- Societas Verbi Divini (JPIC-SVD), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nusa Tenggara Timur, Sunspirit for Justice and Peace, Labuan Bajo, dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Labuan Bajo.
Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu yang menyasar wilayah adat Poco Leok, Manggarai, NTT, bermula dari penetapan Menteri ESDM di 2017 atas wilayah Flores sebagai Pulau Panas Bumi.
Penetapan tersebut termuat di dalam SK Menteri ESDM No.2268 K/MEM/2017. Kemudian, melihat potensi wilayah, PT PLN sebagai pemilik PLTP Ulumbu berniat mengembangkan kapasitas dari 7,5 MW menjadi 40 MW. Terpilih wilayah Poco Leok yang terdiri dari 14 Kampung adat di 3 Desa.
Perluasan proyek panas bumi PLTP Ulumbu ini berdasarkan pada SK Nomor HK/417/2022 tentang Penetapan Lokasi Perluasan PLTP Unit 5-6 di Poco Leok yang diteken Bupati Manggarai. Poco Leok juga telah ditetapkan sebagai bagian dari PSN, dan didanai oleh Bank Pembangunan Jerman Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW) melalui PT PLN (Persero).
Terdapat 60 titik rencana pemboran yang dapat berakibat pada kerusakan lingkungan serta hilangnya ruang hidup masyarakat adat Poco Leok. Masalah terjadi ketika proyek tersebut tidak melibatkan partisipasi dan pendapat warga adat Poco Leok. "Pemerintah tidak mengakui adanya masyarakat adat Poco Leok," kata Judianto.