Transisi Energi versi Walhi Jatim: Satu Kampung, Satu Pembangkit
Penulis : Gilang Helindro
Energi
Jumat, 01 Desember 2023
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur (Jatim) menyebut ada tiga poin dalam mendorong transisi energi berkeadilan di Jatim. Wahyu Eka Styawan, Direktur Walhi Jatim mengatakan, merujuk pada Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) terbaru, pada 2025 energi terbarukan (ET) diproyeksikan meningkat dari 7 persen menjadi 23 persen, batubara dari 26 persen menjadi 30 persen, dan bahan bakar minyak bumi turun dari 46 persen menjadi 25 persen.
“Sementara gas relatif turun menjadi 22 persen dari sebelumnya 23 persen dalam bauran energi primer nasional,” kata Wahyu saat dihubungi Selasa, 28 November 2023.
Poin pertama, kata Wahyu, mulai memprioritaskan transisi energi sebagai sebuah skema yang benar-benar akan diimplementasikan.
Kedua, mendorong lahirnya Undang-Undang Perubahan Iklim dan melakukan revisi Rancangan Undang- undang EBT dengan menghapus nuklir, co-firing, LNG, geothermal sebagai sebuah solusi realistis, karena risiko bencananya tinggi dan sangat tidak berkelanjutan.
Ketiga, perlu melakukan evaluasi serta membuat Rencana Umum Energi Nasional dan Daerah yang mengutamakan EBT yang minim resiko, serta mendorong bentuk energi skala kecil dalam hal ini desentralisasi atau mengupayakan satu kampung satu pembangkit.
Masyarakat memiliki hak untuk dapat mengelola energi sendiri, memilih energi yang lebih aman dan tidak menganggu kehidupannya.
Lagi-lagi yang tak kalah penting kata Wahyu, dari tawaran atau rekomendasi tersebut adalah terjaminnya keterbukaan informasi publik.
Menurut Wahyu, dalam partisipasi penuh masyarakat dalam transisi energi, hak-hak masyarakat perlu dipenuhi dalam transisi energi seperti hak dapat mengelola energi sendiri atau memilih energi yang lebih aman dan tidak menganggu kehidupannya.
“Selain itu pemenuhan hak asasi manusia juga menjadi sangat penting dalam pembangunan infrastruktur EBT seperti adanya mekanisme Free Prior Informed Consent (FPIC) sebagai pemenuhan hak terlibat dalam sebuah proyek pembangunan. Political will semacam ini sangat dibutuhkan dalam menjalankan prinsip transisi energi yang adil, sebagai pengejahwantahan keadilan ekologis,” ungkap Wahyu.