Deforestasi Industri Pulp dan Kertas Meningkat Signifikan

Penulis : Kennial Laia

Deforestasi

Kamis, 30 November 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Deforestasi di sektor industri bubur kayu (pulp) dan kertas meningkat signifikan selama delapan tahun terakhir. Kehilangan tutupan hutan akibat aktivitas industri ini juga diprediksi akan terus naik, sehingga mengancam keberadaan hutan alam dan kelestarian lahan gambut. 

Hal tersebut terungkap dalam analisis terbaru Trase.Earth, yang merupakan inisiatif transparansi berbasis data rantai pasok perdagangan komoditas pertanian dan deforestasi di seluruh dunia. Kali ini platform daring tersebut merilis data kayu pulp, serta mengungkap bahwa terjadi peningkatan deforestasi hingga lima kali lipat antara 2017 dan 2022 di konsesi-konsesi hutan tanaman industri (HTI) atau kebun kayu di Indonesia. 

Menurut Pengkampanye Auriga Nusantara, Hilman Afif, deforestasi ini terjadi akibat operasi produksi pabrik pulp dan pengembangan kebun kayu baru. Sebagai catatan per 2022 terdapat 311 konsesi HTI di Indonesia dengan total luas 11,4 juta hektare. Sebanyak 230 di antaranya non-aktif atau belum mulai memasok ke pabrik pulp. 

Sebagian besar kasus deforestasi baru ini terjadi di area konsesi serat kayu yang bahkan belum mulai memasok kayu ke pabrik pulp.

Foto udara deforestasi di konsesi PT Mayawana Persada, Blok RKTPH, Ketapang, Kalimantan Barat, Mei 2023. Dok Auriga Nusantara/Fajar Sandhika

“Selama delapan tahun terakhir, produksi pulp secara keseluruhan telah mengalami peningkatan sebesar 46%, sebagian besar karena Sinar Mas mulai mengoperasikan salah satu pabrik pulp-nya di Sumatra Selatan pada akhir 2016,” kata Hilman pada peluncuran data terbaru Trase.Earth data kayu pulp di Jakarta, Selasa, 28 November 2023. 

“Analisis Trase juga menunjukkan bahwa sebagian besar kasus deforestasi baru ini terjadi di area konsesi serat kayu yang bahkan belum mulai memasok kayu ke pabrik pulp,” ujarnya.

Trase.Earth untuk data kayu pulp ini merupakan kerja sama organisasi nasional dan internasional, yakni The Conservation Economics Lab, Woods & Wayside International, TheTreeMap, Auriga Nusantara, Stockholm Environment Institute, dan Global Canopy. 

Data terbaru Trase menunjukkan, total deforestasi 2015-2022 di kebun kayu non-aktif seluas 271.849 hektare. Sementara itu total deforestasi yang terkonversi menjadi tanaman kebun kayu di konsesi non-aktif selama periode tersebut mencapai 82.489 hektare. 

Hampir seluruh atau 98% deforestasi baru ini terjadi di konsesi-konsesi non-aktif di pulau Kalimantan sejak 2015. Angkanya lalu meningkat drastis pada 2022. Deforestasi juga terjadi di konsesi non-aktif di Tanah Papua, namun jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan Kalimantan.

Peningkatan drastis di pulau ini salah satunya dipicu oleh pembukaan hutan secara masif untuk konversi kebun kayu di konsesi perusahaan HTI, PT Mayawana Persada di Kalimantan Barat, seluas 21.000 hektare antara 2015 dan 2022. Berdasarkan analisis citra satelit Nusantara Atlas, lebih dari separuhnya terjadi tahun lalu, yang sebagian besar berlokasi di hutan rawa gambut. 

Pada tahun yang sama, PT Industrial Forest Plantation juga membuka hutan untuk konversi kebun kayu seluas 7.084 hektare di Kalimantan Tengah. Laporan-laporan masyarakat sipil mengaitkan kedua perusahaan HTI ini dengan Royal Golden Eagle Group, yang disanggah oleh grup raksasa tersebut. 

Menurut Hilman, kemungkinan besar deforestasi di konsesi non-aktif ini juga terkait dengan rencana peningkatan kapasitas pabrik-pabrik pulp Sumatera milik kedua raksasa tersebut. Sinar Mas Group memiliki tiga pabrik, yakni PT Indah Kiat Pulp & Paper  Tbk. Mills berkapasitas 3,01 juta ton di Riau, PT OKI Pulp and Paper Mills berkapasitas 2,26 juta ton di Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, dan PT Lontar Papyrus Pulp & Paper Industry berkapasitas 1,04 juta ton di Jambi. Sementara itu pabrik APRIL milik Royal Golden Eagle/Tanoto memproduksi pulp sebesar 2,96 juta ton. 

Data deforestasi terbaru di sektor industri pulp Indonesia periode 2015-2022. Grafik Trase/Auriga Nusantara via Betahita/Handout

“Deforestasi itu kemudian didorong untuk mempersiapkan pasokan bahan baku untuk pabrik-pabrik pulp yang ingin menambah kapasitasnya,” kata Hilman. 

Hilman mengatakan, lonjakan deforestasi ini juga mengakhiri kemajuan sektor pulp Indonesia terkait deforestasi. Dikembangkan sejak awal dekade 1990, industri pulp telah menyebabkan degradasi hutan dan lahan gambut, yang memicu kebakaran hutan. Pada 2010, industri ini juga menjadi salah satu pemicu utama deforestasi pada awal 2010 karena produsen besar pulp mengandalkan kayu rimba campuran dari hutan alam.  

Setelah berbagai investigasi dan kritik panjang dari organisasi masyarakat sipil, pelaku industri mulai memperbaiki praktik bisnisnya. Sinar Mas, Royal Golden Eagle, dan Marubeni mengadopsi komitmen untuk mengakhiri deforestasi pada rantai pasoknya. Sepanjang 2010-2020, deforestasi tahunan di konsesi HTI menurun secara drastis sebesar 85%. 

"Namun data yang ada saat ini sepertinya hendak mengulang kesalahan di masa lalu," kata Hilman.

Ke mana pulp pergi?

Indonesia menempati peringkat ke-delapan untuk industri pulp dan kertas terbesar di dunia. Jumlah tenaga kerjanya mencapai lebih dari 160 ribu orang dan menghasilkan pendapatan ekspor sebesar USD 7,5 miliar pada 2021. 

Menurut data Trase, saat ini sektor pulp dikendalikan oleh tiga grup perusahaan yakni Sinar Mas dan anak perusahaannya Asia Pulp & Paper (APP), Royal Golden Eagle dan anak perusahaannya Asia Pacific Resources International Ltd (APRIL), dan Marubeni. Dari ketiga grup ini, Trase menemukan bahwa APP dan APRIL mendominasi industri ini, dengan angka ekspor pulp masing-masing mencapai 95% dan 96% dari produksi pulp secara keseluruhan.

Data Trase menunjukkan produksi pulp meningkat 46% sepanjang 2015-2022. Sebagian besar atau 53% produksinya dikonsumsi pasar luar negeri. 

Tahun lalu, produksi kayu pulp Indonesia mencapai 9,9 juta ton, dan lebih dari setengahnya diperuntukkan untuk ekspor. Sisanya diolah di dalam negeri untuk memproduksi kertas, tisu, viscose, dan produk lainnya. 

Tujuan ekspor pulp Indonesia di antaranya India, Korea Selatan, Bangladesh, Vietnam, dan Turki. Namun, Cina merupakan eksportir terbesar, yang membeli tiga perempat atau 70% dari total volume ekspor pada 2022, 

Menurut Hilman, sebagian besar ekspor ke Cina ini ditujukan untuk operasi terpadu dari kedua grup perusahaan besar. Royal Golden Eagle, yang merupakan produsen viscose atau rayon (bahan pakaian paling populer di industri fesyen) terbesar di dunia, memiliki sejumlah pabrik viscose di Cina melalui anak perusahaannya Sateri. Sementara Sinar Mas bergerak dalam bidang produksi kertas dan tisu di Cina yang sangat bergantung pada pasokan pulp Indonesia. 

Grafik Trase/Auriga via Betahita/Handout

Ancaman deforestasi di masa depan 

Data Trase menunjukkan bahwa saat ini terdapat 2,9 juta hektare hutan alam pada konsesi kebun kayu Indonesia. Sebagian besar berada di Kalimantan seluas 1,3 juta hektare. Sementara itu hutan alam dalam konsesi kayu di Sumatera sebagian besar atau 57% berada dalam konsesi aktif atau yang sudah memasok kayu ke pabrik pulp. 

Sebanyak 85% hutan alam dalam konsesi kebun kayu di Kalimantan berada di konsesi non-aktif, sementara di Tanah Papua bahkan 100%. 

Sementara itu ditemukan konsesi kebun kayu di Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Maluku. Dalam 23 konsesi di regio ini, 162 ribu hektare merupakan hutan alam. 

Hotspot (deforestasi, red) ke depan ada di Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara.

Ketua Auriga Nusantara Timer Manurung mengatakan, provinsi-provinsi dengan sisa hutan alam menjadi wilayah dengan ancaman deforestasi paling nyata dalam lima tahun ke depan. “Hotspot (deforestasi, red) ke depan ada di provinsi tersebut. Ancamannya di sana,” kata Timer. 

Secara khusus Timer menyoroti Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara. Mengutip laporan masyarakat sipil “Babat Kalimantan”, Timer mengatakan saat ini sedang dibangun sebuah pabrik pulp raksasa di Tarakan, Kalimantan Utara, bernama PT Phoenix Resources International. 

Dirancang untuk memproduksi pulp semi-kimia,  pabrik ini akan memiliki dua lini produksi dengan kapasitas terpasang 1,7 juta ton/tahun. Bila beroperasi penuh, pabrik ini diperkirakan akan mengkonsumsi setidaknya 3,3 juta green metric ton (GMT) serat kayu setiap tahun.

Pada Mei 2023, laporan masyarakat sipil mengungkapkan adanya afiliasi antara PT Phoenix Resources International dengan Royal Golden Eagle. Hal ini disangkal oleh grup tersebut. 

Rencana penambahan kapasitas pabrik secara besar-besaran oleh raksasa pulp seperti Sinar Mas dan Royal Golden Eagle juga patut diwaspadai. Pasalnya peningkatan produksi pulp hampir sejalan dengan penggunaan bahan baku kayu yang turut bertambah. Selama delapan tahun terakhir, produksi kayu pulp secara keseluruhan meningkat sebesar 46%, sebagian besar karena Sinar Mas mulai mengoperasikan salah satu pabrik pulp terbesarnya di dunia di Sumatra Selatan pada akhir 2016. 

Menurut Trase, bahan baku kayu yang digunakan oleh pabrik-pabrik pulp ini lebih dari 46 juta meter kubik pada 2022. Bahan baku kayu ini bersumber dari jaringan pemasok kayu yang membudidayakan tanaman eukaliptus dan akasia yang cepat tumbuh di lahan seluas 2,63 juta hektare di Sumatra dan Kalimantan. 

Fasilitas produksi pulp di pabrik OKI milik Sinar Mas, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Dok Oki Mill and Paper

Analisis Trase menemukan bahwa area hutan tanaman industri (HTI) ini telah mengalami perkembangan selama delapan tahun terakhir sebesar hampir 30% dari 2,05 juta hektare pada 2015. 

Hilman mengatakan, konversi hutan alam menjadi kebun kayu akan melepaskan emisi karbon yang besar ke atmosfer. Sebab banyak izin-izin HTI diberikan di lahan gambut. Dari total 2,6 juta hektare area tertanam konsesi kebun kayu, hampir setengahnya atau 46% berada di lahan gambut. 

“Ketika gambut dibuka dan dikeringkan, akan terjadi penurunan permukaan air gambut. Dan selama ini proses ini melepaskan emisi karbon yang besar. Jika hutan alam tersisa dibuka dan dikonversi, akan menjadi ancaman buat perubahan iklim,” ujar Hilman. 

“Data-data yang ada ini seharusnya menjadi peluang juga bagi pemerintah maupun pihak terkait lainnya untuk memperbaiki regulasi dan melakukan praktik berkelanjutan,” kata Hilman.